Proliferasi Senjata Nuklir: Sumber Utama Insekuritas Global yang Semakin Mengkhawatirkan

0

Prajurit Israel di depan roket-roket M302. Israel adalah salah satu negara nuklir. Foto: Amir Cohen/Reuters

Kemunculan nuklir sebagai senjata perang telah membawa perubahan signifikan dalam tatanan politik global. Perubahan ini tepatnya dimulai pasca pengeboman Hiroshima dan Nagasaki yang menggambarkan dahsyat dan berbahayanya senjata ini. Senjata nuklir kemudian beralih menjadi instrumen keamanan utama sekaligus memberikan power bagi negara pemiliknya karena dapat menjadi ancaman bagi negara lain yang menentang kepentingan negara tersebut. Tatanan dunia baru pun muncul menghasilkan perlombaan senjata nuklir dua negara adidaya dalam Perang Dingin sebagai upaya defensif dan counter terhadap kemampuan pihak lawannya, mengesampingkan bahaya besar yang kemungkinan akan ditimbulkan oleh senjata ini. Setelah Perang Dingin berakhir, perkembangan senjata nuklir semakin mengalami proliferasi menghasilkan tatanan dunia saat ini, di mana nuklir menjadi sumber insekuritas terbesar bagi masyarakat global. Negara-negara cenderung untuk bersikap hati-hati di tengah situasi internasional yang diliputi ketegangan dan kerentanan terhadap serangan senjata nuklir. Melalui tulisan ini, akan dibahas sejauh mana insekuritas yang diciptakan oleh senjata nuklir dan bagaimana upaya pelucutannya sejauh ini telah dilakukan.

Nuklir saat ini menjadi senjata paling mematikan sekaligus berbahaya di dunia. Banyak negara yang menginginkan kepemilikan senjata nuklir, baik untuk prestise, upaya defensif hingga untuk tujuan ofensif, menghasilkan proliferasi senjata nuklir yang semakin tidak terbendung. Kepemilikan nuklir oleh sembilan negara, yaitu Tiongkok, Prancis, India, Israel, Korea Utara, Pakistan, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat—yang memiliki sekitar 13,000 senjata nuklir secara keseluruhan—telah menimbulkan insekuritas global dengan potensi konflik nuklirnya (Arms Control Association, 2022). Tidak hanya kemungkinan konflik antarnegara pemilik nuklir yang akan berakibat besar pada kemanusiaan dan konstelasi politik global, tetapi juga semakin tingginya potensi proliferasi horizontal yang membuat ketakutan terhadap senjata ini semakin nyata. Oleh karena itu, berbagai upaya internasional telah dilakukan untuk mencegah proliferasi dan perkembangan senjata nuklir serta untuk mewujudkan pelucutan senjata ini.

Proliferation Begets Proliferation

Sebelum membahas mengenai insekuritas global yang diciptakan oleh senjata nuklir, kita akan terlebih dahulu membahas mengenai bagaimana senjata nuklir bisa sampai sejauh ini. Dalam perspektif realisme, negara merupakan aktor tunggal dan sentral dalam tatanan politik internasional yang berjalan secara anarki. Hal ini berarti tidak ada otoritas yang lebih tinggi daripada negara. Kondisi anarki ini mengharuskan negara-negara untuk dapat memikirkan nasibnya sendiri—baik yang berkaitan dengan upaya pencapaian kepentingan nasional atau dalam menjamin keamanannya—sehingga gagasan self-help kemudian muncul dalam hubungan internasional (Heywood, 2011; Baylis et al., 2014). Self-help diwujudkan melalui berbagai instrumen, salah satunya dengan penguatan kapasitas militer menggunakan senjata nuklir. Kepemilikan nuklir oleh satu negara akan direspon oleh negara lain dengan mengembangkan kekuatan nuklir atau yang setara dengan nuklir untuk mencegah negara tersebut menjadi dominan dalam tatanan anarki global sehingga balance of power dapat dipertahankan—proliferation begets proliferation.

Mekanisme proliferation begets proliferation mulai gencar dilakukan pada saat Perang Dingin. Tatanan dunia yang bipolar pada saat itu, mendorong Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk saling berlomba-lomba memperkuat dirinya, salah satunya melalui pengembangan senjata nuklir. Hal ini tidak hanya terbatas pada kedua negara adidaya. Nyatanya, perlombaan senjata nuklir ini juga kemudian menyebar ke negara-negara sekutu dari Amerika Serikat (Prancis, Inggris, dan Israel) dan negara penganut paham sosialis (Tiongkok dan Korea Utara). Meski terjadi dalam konteks besar Perang Dingin, tetapi proliferasi ini juga melayani keamanan negara masing-masing. Proliferasi juga masih terjadi pasca Perang Dingin berakhir dengan kepemilikan senjata nuklir oleh India dan Pakistan sebagai bentuk counter atas kepemilikan senjata nuklir Tiongkok dan negara-negara besar lainnya.

Akhir-akhir ini, proliferasi senjata nuklir semakin mengkhawatirkan dengan adanya modernisasi nuklir oleh negara-negara pemiliknya. Dengan menggabungkan teknologi dan senjata nuklir, tren modernisasi ini menciptakan “dinamika senjata” yang mendorong negara untuk mengikuti satu sama lain (Zala, 2019). Ketika negara-negara mencoba untuk mencocokkan kemajuan kecil dan kualitatif lawannya untuk memastikan keseimbangan dan menghindari kerentanan terhadap serangan. Selain itu, pemikiran bahwa senjata nuklir merupakan alternatif yang lebih murah dan lebih aman untuk menjalankan perlombaan senjata konvensional yang merusak ekonomi dan berbahaya secara militer juga semakin berkembang. Waltz (1995) juga berpendapat bahwa senjata nuklir menjanjikan keamanan dan kemerdekaan dengan harga yang lebih terjangkau. Hal ini semakin meningkatkan keinginan terhadap kepemilikan nuklir dan potensi proliferasi horizontal yang lebih besar. Meskipun saat ini belum ada negara lain yang menyusul kepemilikan senjata nuklir, tetapi potensi proliferasi senjata ini masih tetap ada, misalnya dengan pengembangan program nuklir Iran dan Syria.

Konflik Nuklir Baru-Baru Ini

Berkaca dari berbagai peristiwa selama dekade terakhir, konflik antara negara-negara pemilik nuklir semakin memicu insekuritas global. Invasi Rusia ke Ukraina menjadi salah satunya. Meskipun Ukraina tidak memiliki senjata nuklir tetapi latar belakang konflik yang terjadi karena ekspansi pengaruh NATO di Eropa Timur menciptakan insekuritas yang lebih besar. Banyak pihak yang mengkhawatirkan keterlibatan NATO dalam konflik ini, yang berarti turun tangannya Amerika Serikat dan sekutu nuklirnya. Kemungkinan keterlibatan Amerika Serikat tersebut dinilai akan memicu penggunaan nuklir dalam konflik yang digadang-gadang akan menjadi Perang Dunia Ketiga ini. Jauh sebelum konflik Ukraina-Rusia, kekhawatiran akan pecahnya Perang Dunia Ketiga juga muncul pada Januari 2020, dimulai dengan serangan pesawat tak berawak Amerika Serikat yang menewaskan jenderal paling berpengaruh di Iran—Qasem Soleimani—dan berakhir dengan serangan rudal balistik Iran terhadap pasukan Amerika Serikat di Irak (Martin, 2021). Serangan ini memicu insekuritas masyarakat internasional pada kemungkinan terjadinya aksi saling balas yang dapat berujung pada konflik nuklir.

Di sisi lain, sikap pemimpin negara pemilik nuklir yang ‘nekat’ juga tidak luput dalam menciptakan insekuritas global akibat senjata nuklir. Hal ini terjadi pada tahun 2016, di mana saat itu Presiden Donald Trump dan Kim Jong Un terlibat ‘adu mulut’ mengenai kekuatan nuklir mereka. Trump yang menyatakan bahwa Korea Utara, “akan dihadapkan dengan api dan amarah seperti yang tidak pernah dilihat oleh dunia,” diindikasikan sebagai penggunaan senjata nuklir Amerika Serikat dalam menanggapi aktivitas uji coba nuklir Korea Utara yang semakin meningkat (Tannenwald, 2018). Meskipun tidak terjadi serangan langsung, panasnya hubungan antara dua pemimpin ini menyebabkan ketegangan yang menyebar ke seluruh dunia. Kedua pemimpin “nekat” ini dikhawatirkan akan menggunakan senjata nuklirnya karena kekesalan mereka.

Selain itu, kesalahan kecil dari negara pemilik nuklir terhadap negara pemilik nuklir lainnya juga dapat menimbulkan ancaman keamanan dan kestabilan global yang signifikan. Baru-baru ini, India secara tidak sengaja meluncurkan rudalnya ke Pakistan dikarenakan “kerusakan teknis” selama pemeliharaan rutin (Aljazeera, 2022). Meskipun tidak ada korban jiwa dan kerusakan yang berarti, peristiwa ini berhasil membuat waswas masyarakat dunia terkait intensi sebenarnya dari India dan peringatan yang diberikan oleh Pakistan bahwa insiden itu dapat menyebabkan “konsekuensi yang tidak menyenangkan.”

Upaya Non-Proliferasi

Ketegangan antara negara-negara bersenjata nuklir meningkat, melibatkan retorika yang mengancam terkait dengan senjata nuklir dan program modernisasi nuklir sedang berjalan dengan cepat. Hal ini tentunya semakin memperkuat penolakan masyarakat internasional terhadap senjata nuklir yang pada dasarnya tidak manusiawi dan tidak pandang bulu sehingga penggunaanya bertentangan dengan hukum humaniter internasional (Sauer, 2017). Penggunaan senjata nuklir di daerah berpenduduk, dalam jangka pendek, akan segera membunuh puluhan hingga ribuan orang, dengan lebih banyak lagi yang terluka. Sedangkan dalam jangka panjang, dampak senjata ini akan sangat merugikan para penyintas dan keturunan mereka selama beberapa dekade mendatang (Fihn, 2017). Di samping itu, ketegangan nuklir yang dijelaskan sebelumnya telah melemahkan pendapat mereka yang mengklaim bahwa nuklir adalah “senjata untuk mencegah perang dan penjaga keseimbangan” karena pada akhirnya pencegahan tersebut terancam gagal dengan semakin meningkatnya agresifitas negara-negara pemilik senjata nuklir. Oleh karena itu, berbagai inisiatif muncul untuk mencegah bencana kemanusiaan dahsyat yang dapat ditimbulkan oleh senjata ini.

Perjanjian internasional pertama yang berusaha untuk mengontrol senjata nuklir ialah Limited Nuclear Test Ban Treaty (LTBT) yang ditandatangani oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet pada tahun 1963. Perjanjian ini melarang ledakan uji coba nuklir di atmosfer, di luar angkasa, atau di bawah laut karena meningkatkan risiko perkembangan kanker tiroid. Pasca implementasi LTBT, tes senjata nuklir terus berlanjut tetapi dilakukan di bawah tanah atau dengan simulasi (Sidel & Levy, 2007). Pada tahun 1968, Nuclear Weapons Non-Proliferation Treaty (NPT) pertama kali ditandatangani yang menjadi perjanjian kontrol senjata nuklir yang paling banyak diterima hingga saat ini. Perjanjian ini mewajibkan lima negara pemilik senjata nuklir asli (Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Prancis, dan Tiongkok) untuk tidak mentransfer senjata nuklir, alat peledak nuklir lain, atau teknologi nuklirnya ke negara non-senjata nuklir mana pun. Meskipun NPT telah berperan penting dalam mencegah penyebaran senjata nuklir, tetapi perjanjian ini dianggap kurang efektif dalam meredam ketegangan negara-negara pemilik nuklir. Ditambah dengan beberapa negara pemilik nuklir, seperti Korea Utara, Israel, India, dan Pakistan yang menolak bergabung ke NPT sehingga tetap menyebabkan tingginya insekuritas global. Ketidakefektifan NPT ini antara lain disebabkan karena perjanjian tersebut diskriminatif. Williams (2016) mengakui bahwa NPT tidak seimbang dengan lima negara pemilik senjata nuklir asli diizinkan untuk memelihara senjata nuklir sementara yang lain tidak.

Kesimpulan

Insekuritas global akibat senjata nuklir tidak akan mereda sebelum upaya pelucutan total terhadap senjata mematikan ini dilakukan. Meskipun saat ini perkembangan senjata nuklir melambat akibat berbagai inisiatif kontrol, tetapi potensi proliferasi horizontal senjata ini masih menjadi prospek yang menakutkan. Hal ini semakin diperparah dengan kurangnya kemajuan menuju “pelucutan senjata umum dan lengkap” oleh NPT dan berbagai inisiatif lainnya. Oleh karena itu, diperlukan beberapa perubahan untuk memperbaiki inisiatif-inisiatif tersebut, mencegah proliferasi, dan mempercepat pelucutan senjata nuklir. Perbaikan tersebut salah satunya dengan memfokuskan pada perjanjian pelarangan kepemilikan senjata nuklir oleh semua negara alih-alih membuat negara-negara berkomitmen untuk tidak menggunakan dan tidak pernah mengakuisisi senjata nuklir dalam keadaan apa pun. Perjanjian pelarangan kepemilikan ini juga harus didukung dengan penguatan norma global terkait penolakan secara jelas terhadap senjata nuklir. Norma global ini dapat memperkuat kepercayaan di antara pemerintah bahwa negara lain, terutama negara-negara non-senjata nuklir tidak akan keluar dari rezim non-proliferasi. Meskipun larangan senjata nuklir tidak akan secara langsung membuat negara-negara pemilik dan negara-negara aliansi melepaskan senjata nuklirnya, tetapi ini akan menjadikan senjata nuklir kurang menarik untuk dipertahankan atau dikejar, serta memberikan lebih banyak insentif kepada negara-negara untuk tidak melakukan proliferasi horizontal hingga akhirnya akan mengarah pada eliminasi total terhadap senjata ini.

REFERENSI

Aljazeera. India Says It Accidentally Fired Missile into Pakistan. (2022, March 11). Aljazeera. Diakses pada 15 Mei 2022, melalui https://www.aljazeera.com/news/2022/3/11/india-says-it-accidentally-fired-missile-into-pakistan.

Arms Control Association. Nuclear Weapons: Who Has What at a Glance. (2022, January). Arms Control Association. Diakses pada 15 Mei 2022, melalui https://www.armscontrol.org/factsheets/Nuclearweaponswhohaswhat.

Baylis, J., Smith, S., & Owens, P. (2014). The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations (6th ed.). Oxford University Press.

Fihn, B. (2017). The Logic of Banning Nuclear Weapons. Survival, 59(1), 43-50. DOI: 10.1080/00396338.2017.1282671.

Heywood, A. (2011). Global Politics. Palgrave Macmillan.

Martin, D. (2021, August 8). Inside the Attack That Almost Sent the U.S. To War with Iran. CBS News. Diakses pada 15 Mei 2022, melalui https://www.cbsnews.com/news/iran-missle-strike-al-asad-airbase-60-minutes-2021-08-08/.

Arms Control Association. Nuclear Weapons: Who Has What at a Glance. (2022, January). Arms Control Association. Diakses pada 15 Mei 2022, dari https://www.armscontrol.org/factsheets/Nuclearweaponswhohaswhat.

Sauer, T. (2017). How Will NATO’s Non-Nuclear Members Handle the UN’s Ban on Nuclear Weapons? Bulletin of the Atomic Scientists, 73(3), 177-181. Diakses melalui https://doi.org/10.1080/00963402.2017.1315039.

Sidel, V. & Levy, B. (2007). Proliferation of Nuclear Weapons: Opportunities for Control and Abolition. American Journal of Public Health, 97(9), 1589-1594. Diakses melalui https://www.proquest.com/scholarly-journals/proliferation-nuclear-weapons-opportunities/docview/215097882/se-2.

Tannenwald, N. (2018). How Strong Is the Nuclear Taboo Today? The Washington Quarterly, 41(3), 89-109. DOI: 10.1080/0163660X.2018.1520553.

Waltz, K. (1995). Peace, Stability, and Nuclear Weapons. Policy Paper, 15(171), 5-14. Diakses melalui https://escholarship.org/uc/item/4cj4z5g2.

Williams, H. (2016). Why a Nuclear Weapons Ban is Unethical (For Now): NATO and the Humanitarian Impacts of Nuclear Weapons Initiative. The RUSI Journal, 161(2), 38-47. https://doi.org/10.1080/03071847.2016.1174481.

Zala, B. (2019) How the Next Nuclear Arms Race Will Be Different from The Last One. Bulletin of the Atomic Scientists, 75(1), 36-43. DOI: 10.1080/00963402.2019.1555999.


Tsalsa Aulia Rahmadani adalah mahasiswi Hubungan Internasional di Universitas Gajah Mada, dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @tsalsaaulia_

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *