Rekrut Perawat dari Dunia Ketiga untuk Hadapi Omicron, Negara Maju Perbesar Ketimpangan

0

Ilustrasi tenaga medis dan perawat COVID-19. Foto: AP

Menghadapi gelombang baru Omicron, awal tahun 2022 ini negara-negara maju seperti Inggris, Jerman, Kanada, dan Amerika Serikat meningkatkan perekrutan tenaga perawat. Tenaga perawat menjadi kritikal dalam sistem kesehatan banyak negara, terlebih dalam konteks pandemi. Namun, sebagian besar pekerja migran tersebut tidak berasal dari negaranya sendiri, melainkan dari negara berkembang di Asia dan Amerika Selatan. 

Mengutip Howard Catton dalam Channel News Asia, representatif dari 27 juta perawat di seluruh dunia, motivasi perpindahan perawat seringkali adalah permasalahan struktural yang menekan mereka di negara asal. Dengan beremigrasi ke negara yang lebih kaya, mereka mengharapkan kesempatan gaji serta kondisi kerja yang lebih layak, juga status migran yang dijanjikan akan mudah didapat.

Dengan merebaknya pandemi COVID-19 dan varian Omicron baru-baru ini, tendensi negara kaya untuk merekrut perawat dari negara berkembang semakin menguat, sebagaimana digambarkan laporan OECD pada Mei 2020. Satu dari enam perawat di negara paling kaya di dunia itu justru berasal dari luar negeri, sementara negara berkembang di benua Asia dan Amerika Selatan terus mengirim lebih dari 50% tenaga kesehatannya untuk bekerja di negara-negara maju alih-alih di negaranya sendiri.

Sebelum pandemi COVID-19, negara-negara berkembang memang sudah menjadi penyuplai perawat bagi banyak negara maju, tetapi dalam skala yang lebih kecil.

Dilansir dari The Guardian, pada tahun 2020 Inggris bahkan meluncurkan trek cepat Health and Care Visa untuk menarik perawat dari negara dunia ketiga, terlepas dari anggaran bantuan luar negeri mereka yang turun sebesar 0.2%. Praktik sedemikian juga eksis di Jepang, AS, dan negara maju lainnya untuk menarik sebanyak mungkin perawat dan tenaga kesehatan lainnya.

Menghadapi permintaan masif negara kaya akan perawat, negara berkembang menemui lapisan kerentanan baru mengingat sistem kesehatan mereka yang juga masih jauh dari kata mumpuni, termasuk Indonesia. Studi Center for Health and Policy Management UGM misalnya, menyatakan bahwa rasio perawat di Indonesia hanyalah 0.38 pekerja per 1000 populasi, jauh dari proporsi yang ideal. 

Maka, terdapat kebutuhan untuk menambah tenaga perawat di banyak negara berkembang. Alih-alih, sejumlah perawat kini justru ditarik dari Indonesia dan negara berkembang lainnya untuk bekerja di negara-negara maju. 

Perekrutan perawat dan tenaga kesehatan secara disproporsional akan menyebabkan ketimpangan dalam sistem kesehatan antarnegara. Negara maju akan dapat memiliki SDM kesehatan yang banyak dan unggul, sementara itu negara berkembang harus menghadapi gelombang baru pandemi dengan infrastruktur fisik dan manusia yang terbatas. Ketimpangan ini menjadi perihal yang harus diselesaikan oleh dunia kedepannya untuk menghadapi bencana kesehatan dengan lebih baik lagi.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *