Rivalitas AS-Tiongkok: Perang Dingin Baru atau Sesuatu yang Lain?

0

Ilustrasi bendera milik Tiongkok dan Amerika Serikat. Foto: Aly Song/Reuters

Pada tahun 2009, pidato Presiden Tiongkok Hu Jintao memberikan suatu arah kebijakan luar negeri yang masih terasa hingga hari ini. Di dalam pidatonya, Hu menyatakan bahwa Tiongkok harus “mencapai sesuatu” yang menandakan perubahan strategi Tiongkok menjadi lebih aktif di dalam dunia internasional. Pidato tersebut kerap dimaknai  sebagai penanda dimulainya rivalitas Tiongkok dengan Amerika Serikat (AS).

Berkaca dari pengalaman di abad ke-20, Persaingan ini kemudian dianalogikan banyak orang sebagai suatu perang dingin baru. Diskursus “perang dingin baru” sendiri sepertinya menarik minat banyak orang terhadap rivalitas ini. Terdapat kesamaan antara persaingan AS-Tiongkok dengan AS-Soviet, yakni suatu persaingan antara dua kekuatan besar dalam memperebutkan hegemoni. 

Wacana persaingan AS-Tiongkok sebagai perang dingin baru menimbulkan pertanyaan, apakah rivalitas ini memang perang dingin baru, atau kita terlalu menggeneralisasi fenomena ini?

Apa itu Perang Dingin?

Membicarakan perdebatan mengenai apakah rivalitas AS-Tiongkok adalah perang dingin, kita harus kembali kepada definisi dari fenomena itu sendiri. Salah satu definisi dari perang dingin dikemukakan akademisi Hubungan Internasional dari Tiongkok, yakni Yan Xuetong. Konsep perang dingin dari Yan Xuetong sendiri menarik untuk dibahas karena dapat menggambarkan bagaimana Tiongkok memandang fenomena ini.

Menurut Xuetong (2019) perang dingin mengacu pada persaingan ideologi melalui penggunaan militer dengan perang proksi sebagai sarana utamanya. Xuetong melihat terdapat tiga syarat suatu rivalitas dapat dikatakan sebagai perang dingin: (1) kepemilikan senjata nuklir; (2) rivalitas ideologi sebagai inti persaingan; dan (3) sedikitnya kontak ekonomi dan sosial di antara kompetitor.

Berkaca dari perspektif tersebut, apakah persaingan AS-Tiongkok memenuhi syarat tersebut seperti dengan Uni Soviet dulu?

Persaingan Amerika-Tiongkok Sebagai Perang Dingin Baru?

1. Kepemilikan Senjata Nuklir

Dalam rivalitas AS-Soviet, kedua negara memiliki senjata nuklir. Pada puncak persaingan kedua negara pada tahun 1950 Amerika Serikat memiliki 299 senjata nuklir atau 98% dari total yang ada di dunia. Uni Soviet berada pada urutan kedua dengan 5 senjata nuklir atau 2% pada tahun 1950. Monopoli senjata nuklir oleh kedua negara ini ditandai dengan ketakutan akan terjadinya perang nuklir, suatu hal yang mengkarakteristikan perang dingin dibandingkan persaingan-persaingan sebelumnya.

Pada rivalitas AS-Tiongkok, kedua negara turut memiliki senjata nuklir. Data terakhir pada tahun 2022 menunjukan Amerika Serikat mempunyai 5428 senjata nuklir atau 43% dari stok nuklir yang ada di dunia. Sementara Tiongkok hanya memiliki 350 senjata nuklir atau 3% saja.

Berdasarkan hal tersebut, rivalitas ini memenuhi syarat pertama untuk disebut sebagai perang dingin.

2. Rivalitas Ideologi

Hal yang kedua menandakan terjadinya perang dingin adalah rivalitas ideologi. Perang dingin antara AS-Soviet ditandai dengan benturan ideologi antara kapitalisme melawan komunisme. 

Melalui bentrokan ideologi tersebut, kedua negara melaksanakan perang proksi dengan mendukung sekutu-sekutu mereka di berbagai kawasan di dunia. Sebut saja Perang Vietnam di Asia Tenggara, Perang Korea di Asia Timur, Perang Saudara Yaman di Timur Tengah, dan Krisis Amerika Tengah, adalah beberapa contoh dari persaingan ideologi kedua negara.

Namun, ketika membicarakan rivalitas AS-Tiongkok, persaingan ideologi ini tidak terjadi. Secara resmi Tiongkok menganut “sosialisme dengan karakteristik Tiongkok”, tetapi Negara Tirai Bambu ini tidak berniat untuk mengekspor ideologi mereka ke negara lain dengan mendukung revolusi atau pemberontakan. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas perang proksi mereka di konflik Myanmar yang cenderung untuk meningkatkan pengaruh dibandingkan ideologi.

Dalam kasus Myanmar, dukungan terhadap junta militer pasca kudeta merupakan bagian dari strategi Tiongkok untuk mendapatkan akses ke Samudera Hindia dalam rangka mengurangi dependensi terhadap impor gas yang saat ini sebesar 80% berasal dari Selat Malaka. Ketika negara-negara lain mundur dari Myanmar akibat kudeta, Tiongkok mengambil kesempatan untuk melanjutkan investasi pembangunan infrastruktur sebagai cara meningkatkan pengaruh mereka di negara tersebut.

Dengan kata lain, terdapat perbedaan signifikan antara pola persaingan ideologi pada rivalitas ini, sehingga pertentangan antara kedua negara saat ini tidak dapat memenuhi syarat kedua ini.

3. Sedikitnya Kontak Ekonomi dan Sosial

Terdapat perbedaan besar dalam kategori kontak ekonomi dan sosial dalam kedua persaingan ini. Pada kontak sosial, persaingan AS-Soviet ditandai dengan pembatasan terhadap warga untuk mengunjungi negara rival. Amerika Serikat melakukan hal tersebut karena ketakutan akan infiltrasi mata-mata dari negara komunis tersebut, dengan Uni Soviet juga turut melakukan kebijakan yang serupa. Selain itu, terdapat hubungan ekonomi yang juga sangat minim antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Ekonomi kedua negara tersebut hampir tidak berhubungan. Hal ini tidak mengherankan, mengingat bagaimana kedua negara ini juga memiliki sistem ekonomi yang sangat berbeda.

Perbandingan Perdagangan Amerika Serikat dengan Uni Soviet dan Tiongkok. Sumber: Betson (2019)

Pada bidang ekonomi, Amerika Serikat memberlakukan sanksi kepada Uni Soviet dan sekutunya melalui UU Kontrol Ekspor 1949 dan UU Pertempuran 1951 yang menyebabkan sedikitnya perdagangan kedua negara. Akan tetapi, pada tahun 1970-an hubungan kedua negara mulai membaik akibat terjadinya détente dengan perundingan persenjataan strategis atau lebih dikenal dengan SALT. Hal ini mengakibatkan mulai meningkatnya perdagangan kedua negara.

Sementara jika melihat perdagangan antara Tiongkok dan Amerika Serikat, terdapat kontak ekonomi yang sangat besar antara keduanya jika dibandingkan dengan Uni Soviet. Fenomena perang dagang antara kedua negara, justru menunjukan interdependensi kedua negara satu sama lain. Kedua negara tetap merupakan mitra penting, dengan Tiongkok sebagai mitra dagang terbesar ketiga bagi Amerika Serikat.

Jika Bukan Perang Dingin Lalu Apa?

Melihat pembahasan sebelumnya, perang dingin tidak bisa mendefinisikan rivalitas AS-Tiongkok. Oleh karena itu kita perlu memunculkan konsep selain perang dingin, yaitu konfigurasi sistem internasional. Pada dasarnya, konfigurasi sistem internasional dibagi menjadi tiga: (1) unipolar; (2) bipolar; dan (3) multipolar.

Unipolar merupakan suatu kondisi ketika terdapat satu negara yang kapabilitas jauh melebihi negara-negara lain. Bipolar merujuk kepada dua negara yang memiliki kapabilitas seimbang. Sementara multipolar adalah keadaan di mana terdapat lebih dari dua negara yang memiliki kapabilitas seimbang.

Persaingan antara AS-Tiongkok yang kita lihat saat ini berasal dari konfigurasi sistem internasional bipolar. Oleh karena itu, rivalitas kedua negara ini tidak bisa disebut sebagai perang dingin.

Lalu bagaimana stabilitas hubungan kedua persaingan ini jika dibandingkan?

Stabilitas Persaingan AS-Tiongkok vs AS-Soviet

Persaingan Amerika Serikat dengan Tiongkok akan berbeda dengan pola rivalitas sebelumnya dengan Uni Soviet.

Stabilitas Hubungan AS-Soviet (1946-1960). Gambar: Diolah penulis

Pola stabilitas hubungan AS-Soviet pada 14 tahun pertama sejak pidato Iron Curtain dari Winston Churchil cenderung berada pada tren kompetisi dengan beberapa tahun hampir mencapai dan bahkan berada pada titik krisis. Hal ini dapat dipahami dikarenakan pada periode tersebut terdapat persaingan perang proksi dan bahkan konfrontasi langsung antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet seperti pada Berlin Airlift, Perang Korea dan U-2 Incident.

Stabilitas Hubungan AS-Tiongkok (2009-sekarang). Sumber: Laboratorium Indonesia 2045

Sementara jika melihat hubungan AS-Tiongkok, mereka berada pada posisi yang lebih stabil ketimbang rivalitas dengan Soviet. Polanya cenderung berada pada kategori kompetisi, tetapi lebih mendekati kompromi. Sebagai contoh, meskipun pada tahun 2022 ditandai dengan krisis Taiwan, sebenarnya terdapat peningkatan hubungan kedua negara dengan melonggarkan perang dagang dan pertemuan kedua pemimpin negara pada saat G20.

Strategi persaingan ini juga berbeda. Dibandingkan dengan mendukung pemberontakan atau negara berbasis ideologi, saat ini kedua negara berusaha memperebutkan pengaruh tanpa memandang hal tersebut. Dapat dikatakan persaingan bersifat lebih pragmatis.

Hal ini dapat dilihat dari peran Tiongkok dengan dalam menormalisasikan hubungan Iran dan Saudi Arabia. Usaha serupa juga sedang dilakukan Tiongkok pada Perang Rusia-Ukraina. Tiongkok ingin memperlihatkan dirinya lebih mampu sebagai mediator yang kredibel dan reliabel dibandingkan dengan Amerika Serikat yang akan meningkatkan pengaruh mereka di dalam sistem internasional.

Kesimpulan

Rivalitas AS-Tiongkok tidak bisa kita sebut sebagai perang dingin, tetapi lebih kepada kompetisi akibat konfigurasi sistem internasional bipolar. Pengistilahan perang dingin pada persaingan saat ini akan membuat kita luput pada inti persaingan sebenarnya antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Dengan studi kasus yang sedikit dalam kondisi sistem internasional bipolar, tentu tidak dapat diambil suatu generalisasi yang berlebihan antara rivalitas AS-Soviet dan AS-Tiongkok. Sebaliknya, masing-masing kasus rivalitas tersebut harus dianalisis dengan keunikannya masing-masing. Berdasarkan tiga faktor sebelumnya saja, dapat diketahui bahwa rivalitas AS-Tiongkok menjadi sesuatu yang unik dengan perbedaan ideologis yang terealisasi dan hubungan dagang yang justru tinggi. Dalam hal ini, tentu rivalitas AS-Tiongkok perlu dipahami tidak dengan kerangka Perang Dingin yang kaku, melainkan sebagai sesuatu yang baru.

Muhammad Gilang Rasyid merupakan mahasiswa di Universitas Padjadjaran. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @gilang_rasyid

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *