RUU EBET: Wujud Kegagalan Peralihan Energi Indonesia

0

Alternatif peralihan energi. Foto: Ofiskita.com

Isu perubahan iklim dan lingkungan hidup menjadi suatu isu yang intens dibicarakan oleh dunia internasional. Hal ini tentunya juga terjadi di Indonesia. Urgensi terhadap kebijakan pencegahan perubahan iklim telah menjadi komitmen Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Indonesia telah menetapkan target untuk mengurangi emisi sebesar 31,89% secara mandiri serta 43,2% dengan bantuan internasional pada 2030.

Selain itu, melalui ratifikasi Perjanjian Paris dan target net zero emissions pada 2060, Indonesia jelas mengambil langkah besar dalam aksi pencegahan perubahan iklim. Salah satu bagian dari pencegahan perubahan iklim tersebut adalah peralihan dari energi konvensional menjadi energi baru dan energi terbarukan (EBET). Ketergantungan Indonesia terhadap penggunaan energi yang berasal dari sumber energi fosil, seperti batu bara, masih sangatlah tinggi. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan sebuah perubahan besar dalam peralihan energi. Perjanjian Just Energy Transition Partnership (JETP) yang merupakan dekarbonisasi penggunaan batu bara untuk ekonomi menjadi contoh nyata komitmen Indonesia dalam penghentian penggunaan batu bara serta peralihan energi.

Namun, berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Indonesia tidak selaras dengan komitmen peralihan penggunaan energi. Misalnya saja pada target produksi batu bara yang naik dari 663 juta ton menjadi 694,5 juta ton pada tahun 2023. Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Cipta Kerja juga membebaskan iuran produksi batu bara hingga 0%. Selain itu, RUU EBET yang menjadi salah satu bentuk komitmen penggunaan EBET di Indonesia juga tidak memberikan titik terang bagi peralihan energi. Sebaliknya, RUU EBET malah memberikan ruang bagi energi fosil, khususnya turunan batu bara, untuk terus berkembang. Dari pandangan penulis, terdapat dua faktor gagalnya UU EBET memprioritaskan energi berkelanjutan pada pembahasannya: kelompok masyarakat yang tidak dilibatkan dan langgengnya oligarki pada bisnis batu bara di Indonesia. Maka dari itu, tulisan ini akan fokus pada gagalnya RUU EBET dalam misinya melaksanakan komitmen peralihan energi yang dimiliki Indonesia.

Ketergantungan Indonesia dalam Penggunaan Batu Bara

Naiknya target produksi batu bara yang dibuat oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menunjukkan ketergantungan besar Indonesia dalam penggunaan batu bara. Pangsa penggunaan batu bara juga telah berkembang berkali-kali lipat telah terjadi di Indonesia. Dari yang hanya 13% pada 2004, pangsa batu bara telah naik hingga 61% pada tahun 2021. Akhirnya, ekspansi batu bara besar-besaran ini telah mengakibatkan berbagai dampak negatif. Penambangan dan penggunaan batu bara telah menempati posisi kedua dalam sumber emisi gas rumah kaca di Indonesia. Kerusakan tanah, lingkungan sekitar yang tercemar, perubahan ekosistem sekitar, serta keamanan masyarakat yang tidak terjamin juga terjadi dalam lokasi tambang di Indonesia.

Lalu, mengapa Indonesia sangat tergantung terhadap penggunaan batu bara? Gencarnya elektrifikasi menjadi salah satu alasan utama penggunaan batu bara di Indonesia. Keberhasilan elektrifikasi yang tampak pada pencapaian rasio elektrifikasi hingga 99,63% menunjukkan usaha Indonesia agar seluruh masyarakat mendapatkan akses listrik. Akhirnya, batu bara digunakan sebagai sumber utama elektrifikasi karena batu bara adalah akses yang paling cepat untuk memenuhi tujuan tersebut. Batu bara dan energi-energi fosil lainnya juga memberikan efek positif bagi nilai ekspor Indonesia. Batu bara memberikan dampak terbesar dalam nilai positif perdagangan energi fosil hingga 6,8 triliun pada tahun 2022.

Dampak sosial ekonomi juga dirasakan oleh masyarakat sekitar penambangan batu bara. Meningkatnya peluang usaha milik masyarakat, peluang tenaga kerja yang semakin meluas, serta subsidi terhadap masyarakat sekitar telah dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar penambangan batu bara. Namun, hal-hal di atas tidak dapat menjustifikasi kerusakan lingkungan dan emisi karbon yang dihasilkan dari penambangan batu bara. Maka dari itu, sebuah pengaturan terhadap pelaksanaan dan penggunaan energi fosil serta dukungan pada EBET perlu dilakukan.

Perancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan: Bentuk Kepentingan Ekonomi Para Elite Politik

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi masih menjadi dasar dalam pengaturan penggunaan energi di Indonesia. UU ini mengatur pengelolaan energi yang memegang prinsip berkeadilan, berkelanjutan optimal, dan terpadu. Selain itu, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 mengatur tentang kelistrikan yang menjamin kualitas dan kuantitas listrik bagi publik. Lalu, dengan adanya komitmen Indonesia terhadap pencegahan perubahan iklim dan peralihan energi, Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) menjadi agenda utama untuk pengaturan energi saat ini. Pengaturan dan peralihan terhadap energi terbarukan serta pencarian energi baru yang dapat menggantikan energi fosil menjadi inti dari RUU EBET.

Namun, sejak RUU ini masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2019, RUU EBET tidak kunjung menemukan titik cerah. Menurut analisis penulis, berbagai kepentingan dari negara, para pebisnis dan politisi yang berkomplotan, serta masyarakat yang tidak dapat diampu dalam RUU ini mengakibatkan terhambatnya pembahasan dan pengesahan RUU EBET serta gagalnya komitmen Indonesia dalam peralihan energi. Tanpa disadari, oligarki pada sistem energi, khususnya batu bara, terjadi di Indonesia. Sebut saja Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, yang memiliki tugas koordinasi untuk 7 kementerian dan lembaga sekaligus, termasuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Walaupun memegang peran penting dalam aksi peralihan energi di Indonesia, sejak 2004, Luhut masih mengembangkan PT Toba Sejahtra, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang energi dan pertambangan batu bara, yang memiliki luas pertambangan baru bara hingga 14.019 hektar di Kalimantan Timur. Tidak hanya Luhut, berbagai nama terkenal, seperti Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno hingga pebisnis-pebisnis batu bara yang memiliki dukungan dari para politisi juga mewarnai pelanggengan bisnis batu bara di Indonesia. Konflik kepentingan antara mencari keuntungan ekonomi dan melancarkan aksi peralihan energi terjadi dalam lingkup pembahasan RUU EBET. Kepentingan-kepentingan para pemangku inilah yang menghambat RUU EBET untuk sesuai dengan peralihan energi menuju energi yang berkelanjutan.

Kelompok masyarakat yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam produksi dan pengelolaan EBET juga seakan tidak dilibatkan dalam prosesnya. Masyarakat seakan hanya digunakan sebagai konsumen energi saja. Bagaimana tidak? Partisipasi masyarakat yang diatur dalam RUU EBET terbatas pada pemberian masukan, pengajuan keberatan, inisiatif perorangan, dan pengawasan evaluasi terhadap kebijakan EBET. RUU EBET juga berfokus hanya pada perizinan dan pengusahaan serta penyediaan dan pemanfaatan EBET melalui pemerintahan dan bukan partisipasi masyarakat. Hal tersebut menyebabkan RUU EBET tidak melihat masyarakat sebagai aktor utama dalam penyediaan dan pengelolaan EBET.

RUU EBET: Bentuk Pelanggengan Energi Fosil di Indonesia

Selain minimnya partisipasi masyarakat dan langgengnya oligarki bisnis batu bara di Indonesia, RUU EBET juga memberikan wadah bagi energi fosil untuk terus digunakan dalam masa peralihan energi. Dari analisis penulis, berbagai produk turunan batu bara, seperti batu bara tergaskan, batu bara tercairkan, dan gas metana batu bara, tidak sesuai dengan komitmen peralihan energi yang dimiliki Indonesia.

Produk-produk turunan batu bara yang terdapat pada RUU EBET hanya akan terus melanggengkan pengerukan dan penggunaan batu bara sebagai sumber energi. Hal ini mengartikan bahwa kerusakan lingkungan hingga naiknya gas emisi rumah kaca akan terus terjadi pada praktik RUU EBET kedepannya. Maka dari itu, transisi energi pada RUU EBET seharusnya melibatkan energi-energi baru dan terbarukan yang berkepanjangan dan ramah lingkungan serta menghapuskan energi-energi berbasis fosil untuk terus berkembang dalam pelaksanaan RUU EBET.

Penggunaan Energi Baru dan Energi Terbarukan: Solusi Peralihan Energi

Konsep transisi energi yang dirancang oleh Indonesia masih terpusat pada kepentingan pemerintahan. Padahal, konsep energi baru dan energi terbarukan (EBET) sangatlah simpel: melihat potensi energi di sekeliling kita. Potensi EBET yang sangatlah besar memerlukan pengoptimalan dari sumber energi melalui partisipasi masyarakat yang masif karena menunjukkan berbagai keuntungan. Biaya pembangunan dan pemeliharaan yang lebih murah, sumber yang dapat ditemukan sehari-hari, serta ramah lingkungan menjadikan EBET sesuai dengan komitmen Indonesia dalam pencegahan perubahan iklim dan peralihan energi.

Transformasi dan peralihan menuju EBET memerlukan kerja sama dari berbagai pihak yang terlibat. Pemerintah yang mengatur regulasi dapat mengakomodasi penggunaan EBET secara menyeluruh. Penyediaan teknologi serta kemampuan finansial dan pengetahuan dalam pengembangan inovasi EBET juga dapat menjadi tanggung jawab pemerintah. Masyarakat yang memiliki sumber daya dalam pengelolaan EBET memerlukan pengetahuan mengenai pengelolaan EBET itu sendiri. Masyarakat juga perlu mengambil bagian dalam perubahan budaya konsumsi yang selama ini sangat bergantung pada energi fosil. Industri-industri juga harus ikut dalam komitmen penggunaan energi terbarukan tersebut. Dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan EBET, seluruh instrumen yang ada harus memiliki kemauan yang kuat serta kerja sama untuk menciptakan dan menggunakan EBET dan lingkungan yang lebih baik.

RUU EBET sebagai sebuah wadah bagi EBET untuk terus berkembang seharusnya berpihak pada komitmen dasar pembentukan UU ini, yaitu komitmen peralihan energi di Indonesia. RUU EBET seharusnya menjadi kerangka peraturan yang dapat meningkatkan partisipasi berbagai aktor yang terlibat, termasuk pemerintahan, pebisnis, dan masyarakat, untuk mendukung peralihan energi. Untuk itu, prioritas pengembangan energi terbarukan yang berkelanjutan harus menjadi agenda utama dalam RUU EBET. Energi fosil, khususnya batu bara, yang masih dilanggengkan oleh RUU ini harus ditinjau kembali melihat hal tersebut tidak sesuai dengan komitmen yang ada. Jadi, RUU EBET harus menjadi tempat bagi kepentingan peralihan energi terbarukan dan bukan kepentingan para aktor untuk meraih keuntungan ekonomi yang dimiliki.

Jefferson Davids Soasa merupakan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @jdsoasa

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *