Move Forward Menang Pemilu, Selamat Tinggal Politik Militer Thailand?

0

Ketua Partai Move Forward Pita Limjaroenrat dalam kampanye pemilu di Bangkok. Foto: Reuters

Lanskap politik Thailand selangkah menuju perubahan baru pasca gelaran pemilihan umum pada bulan Mei tahun 2023. Hasilnya, Partai Move Forward (MFP) secara resmi menduduki peringkat pertama dalam pemungutan suara dengan total 14 juta pemilih yang mana mampu mempengaruhi perolehan 152 dari 500 kursi parlemen (BBC Indonesia, 2023). Walaupun telah memenangi dukungan suara, namun nyatanya Move Forward masih ketinggalan suara yang cukup jauh untuk menjadikan Ketua Umum Pita Limjaroenrat sebagai perdana menteri baru. Pita perlu menggenjot setidaknya 376 dukungan suara lagi dari parlemen terpilih. Untuk mewujudkan hal tersebut, selepas pengumuman kemenangan, Pita kemudian langsung melancarkan lobi koalisi dengan partai lain. Diketahui tujuh partai lainnya, termasuk Partai Pheu Thai besutan keluarga Shinawatra telah sepakat menyatukan kekuatan bersama untuk menyokong pemerintahan baru dari dominasi militer. 

Kadung terpukul mundur, Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha memilih bungkam mengenai kemenangan telak partai oposisi. Di bawah Partai United Thai Nation (UTN), Prayut hanya mampu mengumpulkan 36 suara dari jumlah keseluruhan sehingga hal tersebut merupakan momok terbesar bagi politik militer yang sedang bertengger dalam pemerintahan Thailand (CNA, 2023). Terlebih kemenangan pemilu secara resmi telah disandang oleh kelompok-kelompok pro-demokrasi yang sangat menentang rezim saat ini. Adalah sebuah bencana besar bagi militer terkait keberhasilan koalisi progresif menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Bahkan senator pro militer secara tegas menolak penunjukan Pita Limjaroenrat sebagai perdana menteri karena dianggap anti-monarki. Demokrasi Thailand kembali diselimuti mimpi buruk, lantas akankah Calon Perdana Menteri Pita mampu tangguh di tengah ancaman kudeta militer?

Pro-Demokrasi, Partai Move Forward Dicintai Masyarakat Thailand

Pemilu Thailand 2023 dimaknai sebagai sesuatu yang sakral bagi masyarakat lokal karena disinyalir akan membuka jalannya demokrasi di negeri gajah putih tersebut. Salah satunya yakni kemunculan Partai Move Forward dalam deretan partai pemilu yang terlihat aktif menyuarakan visi misi progresif untuk menanggalkan langgengnya pemerintahan militer di Thailand. 

Adapun sosok Pita Limjaroenrat sebagai pemimpin partai tak luput dari perhatian masyarakat. Sebelumnya, Pita sempat mencoba peruntungan karir politiknya dengan bergabung ke Partai Future Forward (FFP) pada pemilu 2019. Pita pada saat itu terpilih menjadi salah satu anggota parlemen, namun naas partai yang menaunginya harus dibredel Mahkamah Konstitusi lantaran dugaan kecurangan pemilu. Pembubaran sepihak FFP memancing masyarakat terutama anak muda untuk melangsungkan aksi protes dan demonstrasi besar-besaran di tahun yang sama. Para demonstran yakin bahwa dakwaan terhadap FPP hanya berdasar pada kepentingan politik saja. Perjuangan FFP pun tidak berhenti sampai di situ, tak berselang lama terbentuklah Partai Move Forward dengan Pita sebagai ketua yang memiliki nilai dan pemahaman serupa. Meskipun menjadi partai yang tergolong muda, Move Forward nyatanya telah digandrungi anak-anak muda pendukung FFP sebelum dibubarkan. Gagasan Move Forward yang anti-militer dirasa mampu mewakili aspirasi masyarakat yang sudah dibuat gerah oleh rezim Prayut pada saat itu. 

Hal ini juga selaras dengan figur Pita yang dengan lantang menawarkan kebijakan kontroversial apabila ia terpilih, seperti yang paling populer ialah melakukan amandemen terhadap undang-undang lese majeste. Hukum tersebut mengatur bahwa penghinaan terhadap keluarga kerajaan dapat dikategorikan sebagai tindak kriminal yang sepadan dengan hukuman pidana minimal 15 tahun penjara. Hal ini jelas merupakan bias dari adanya demokrasi dan menghambat kebebasan berpendapat individu sehingga muncul pertentangan dari masyarakat. Lese majeste dan apapun yang menyinggung keluarga monarki tak lain merupakan sesuatu hal yang tabu di Thailand. Oleh karenanya, hampir seluruh politisi menghindari isu tersebut untuk ‘digoreng’ sebagai kepentingan politiknya, bahkan partai sebesar Pheu Thai dibawah pimpinan Shinawatra saja memilih untuk tutup mata. Terobosan baru Move Forward dalam arena kontestasi politik menjadi semacam angin segar menuju iklim politik Thailand yang sehat. Sebab bentuk-bentuk penyalahgunaan kuasa seperti lese majeste patut ditinjau berkenaan dengan hak asasi masyarakat. 

Selama periode kampanye, Pita terus berkomitmen akan melakukan reformasi tatanan politik yang dalam artian menggulingkan pengaruh militer pada dinding-dinding pemerintahan Thailand. Melalui wawancara Bloomberg (2023), Pita berjanji akan melaksanakan tiga prioritas berupa demiliterisasi, demonopolisasi, dan desentralisasi. Ketiga pendekatan tersebut juga termasuk menghapus kebijakan wajib militer, restrukturisasi militer, mengatur monopoli bisnis, hingga mengembangkan kualitas pendidikan. Reformasi struktural ini dipercaya mampu mengantarkan Thailand menuju transformasi global. Janji-janji dan program yang ditawarkan Pita dan Move Forward sukses merebut dukungan masyarakat yang haus akan gagasan kebebasan dan modernisasi. 

Kemenangan Pita Limjaroenrat Bisa Saja Kena Jegal 

Meskipun sudah resmi memenangkan pemilu, Partai Move Forward kini dihadapkan persoalan serius dengan kubu militer. Aksi kudeta masih lazim digerakan dan nampaknya telah menjadi budaya di Thailand untuk merobohkan kekuasaan oposisi. Pemerintah di bawah kendali militer memiliki karakter yang cenderung otoritarianisme, di tambah terdapat relasi khusus dengan keluarga kerajaan. Naiknya pemimpin baru dari oposisi sangat memungkinkan peristiwa kudeta 2006 dan 2014 terulang. Pada 2014 misalnya, ketika itu Perdana Menteri Yingluck Shinawatra diringkus junta militer dengan dalih praktik korupsi pada rezim tersebut. Kudeta ini pada akhirnya memaksa Yingluck untuk mundur dari jabatan dan digantikan oleh pemerintahan militer yang dipimpin oleh Jenderal Prayut Chan-o-cha. Keluarga kerajaan diketahui memiliki andil dalam keberhasilan kudeta 2014. Melalui pernyataan resmi Istana, kenaikan Prayut sebagai Perdana Menteri baru telah direstui secara penuh oleh raja. Dengan demikian sudah jelas terpampang pola kedekatan antara militer dengan kerajaan yang saling melindungi satu sama lain.

Baik Pita maupun koalisi oposisi lainnya mungkin telah disasar oleh kubu militer untuk menjadi target jegal selanjutnya. Gembar-gembor amandemen lese majeste membuat militer dan keluarga kerajaan semakin panas. Pita dinilai terlampau visioner untuk menggeser pengaruh konservatif dalam pengambilan kebijakan negara. Pencalonan Pita sebagai perdana menteri baru sudah pasti diperdebatkan oleh senator utusan militer. 

Baru-baru ini, upaya terang-terangan untuk membatalkan hasil pemilu mulai terendus. Komisi Pemilihan Umum Thailand mendadak melakukan investigasi terkait kepemilikan saham pita di perusahaan media ITV. Faktanya memang konstitusi Thailand telah mengatur larangan bagi calon parlemen untuk memiliki saham di perusahaan media. Namun, dugaan ini dapat disangkal oleh Pita karena kepemilikan saham ini merupakan warisan ayahnya dan perusahaan tersebut pun sudah tidak lagi aktif sejak Maret 2007. Menanggapi hal ini, para aktivis menduga kuat bahwa aduan kasus saham media berasal dari senator militer yang dijadikannya sebagai skenario menggagalkan kenaikan oposisi sebagai perdana menteri.

Perkembangan paling baru terjadi minggu lalu. Meski sudah memiliki mayoritas di DPR, tetapi Perdana Menteri harus dipilih oleh Parlemen Thailand secara keseluruhan, yang terdiri dari 500 anggota DPR yang dipilih dan 250 anggota Senat yang ditunjuk militer. Alhasil, Pita hanya mendapat 324 suara, masih kurang dari 375 yang dibutuhkan untuk mencapai mayoritas sederhana. Keengganan para anggota Senat yang ditunjuk oleh militer menjadi halangan utama bagi Pita untuk menjadi Perdana Menteri.

Setidaknya Masih Ada Harapan

Berbagai arah melintangi Pita dan MFP untuk memerintah, bahkan sebelum mereka dapat menduduki posisi Perdana Menteri. Sementara itu, potensi kudeta, diskualifikasi, dan lainnya juga masih terasa amat nyata. Meski begitu, Pita mengaku siap untuk menghadapi risiko kedepannya dan terus optimis menuju jalan sebagai pemimpin negara baru. Tidak mengherankan apabila tiba-tiba hasil pemungutan suara dianggap tidak sah dan dilakukan pemilu ulang, semuanya tentu bisa saja terjadi. Bagaimanapun, junta militer masih memiliki kedaulatan paling besar dalam struktur pemerintahan Thailand. 

Jika yang terburuk terjadi dengan lengsernya oposisi dan Pita terpaksa harus pulang dengan tangan kosong. Paling tidak kemunculan Partai Move Forward dan kelompok-kelompok pro-demokrasi lainnya telah mengilhami rangsangan demokratisasi kepada sebagian besar masyarakat yang notabene mendukung penuh dalam pemilu. Dengan begini, munculah dorongan people power yang kekuatannya bisa saja melampaui legitimasi militer dan monarki. Naiknya Move Forward juga telah menginspirasi berbagai kelompok oposan yang termarjinalkan di Thailand untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Apapun yang terjadi, perubahan yang terlihat di Pemilu 2023 ini menjadi dorongan untuk terus memperbaiki demokrasi Thailand di masa depan.

Savinka Putri Andini merupakan mahasiswa Hubungan Internasional di UPN Veteran Jakarta. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @savinkand

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *