SALAH KAPRAH POSISI YORDANIA DI TENGAH PERSETERUAN IRAN-ISRAEL

0

Al Urdun Awwalan (Jordan First)/© Norig Neveu, August 2021

Pada 13 April 2024, Iran melancarkan serangan pesawat nirawak (drone) dan rudal ke sejumlah pangkalan militer di Israel. Serangan tersebut merupakan balasan atas pengeboman konsulat di kompleks Kedutaan Besar Iran di Damaskus oleh Israel yang menewaskan 16 orang.

Dalam mencegat serangan udara Iran, Israel mendapat bantuan langsung dari Amerika Serikat–sekutu terbesarnya–diikuti Britania Raya, Prancis, dan uniknya, Yordania. Posisi Yordania dalam situasi ini terkesan membela Israel, demikian juga pembahasaan dari beberapa media, sehingga menimbulkan sentimen negatif terhadap Yordania sebagai negara Arab dan muslim yang secara konvensional seharusnya berpihak kepada Palestina. 

Meski begitu, persoalan keterlibatan Yordania dalam penyegatan serangan Iran ini tidak dapat dilihat secara hitam-putih sebagai pro-Israel dan anti-Palestina. Terdapat banyak motif dan kondisi geopolitik yang mendorong Yordania kepada keputusan yang barangkali kurang populer tersebut.

Negara Yang Terjepit

Secara geografis, Yordania adalah negara yang terjepit. Meski terletak di Semenanjung Arab, tetapi Yordania adalah satu-satunya negara yang tidak memiliki wilayah laut. Di sisi lain, Yordania berbatasan langsung dengan Arab Saudi, Israel, Suriah, Irak, dan wilayah Tepi Barat Palestina membuatnya rentan terkena getah konflik apabila terjadi eskalasi di wilayah tersebut.

Serangan Israel ke Kedutaan Besar Iran di Damaskus berpeluang membuka front baru dalam Perang Israel–Hamas. Serangan tersebut berpotensi memicu keterlibatan Iran secara langsung dalam perang, setelah sebelumnya hanya menggunakan proksi-proksi milisi yang tersebar di Palestina, Suriah, dan Iran untuk menghantam Israel.

Iran, yang tidak berbatasan langsung dengan Israel, mau tak mau harus meluncurkan rudal dan drone-nya melalui wilayah udara negara lain, yang meliputi Yordania, Irak, dan Suriah. Yordania yang memiliki perbatasan langsung dan terpanjang dengan Israel, akan rentan terkena rudal yang menyasar ke wilayahnya, seperti diungkapkan Menteri Luar Negeri Yordania Ayman al-Safadi.

Pasang Surut Hubungan Israel dan Yordania

Meskipun Yordania terlibat dalam perang tahun 1948 bersama koalisi Arab melawan Israel yang baru dibentuk, Yordania pada akhirnya menjalin hubungan diplomatik resmi negara Israel setelah menandatangani perjanjian damai tahun 1994. Perjanjian damai tersebut, dalam konteks, ditandatangani di tengah menurunnya tensi antara Israel dan Palestina pasca-Perjanjian Oslo.

Namun, pembunuhan Yitzhak Rabin tahun 1995 dan sejumlah serangan oleh Hamas di tahun 1996 berdampak pada naiknya ketegangan di wilayah tersebut. Puncaknya, pada Intifada Al-Aqsa atau Intifadah Kedua, di tahun 2000–2005, demonstrasi pecah di Yordania yang menyalahkan Kerajaan Yordania atas normalisasi hubungan dengan Israel. Sebagai respons, Raja Abdullah II yang baru naik takhta saat itu mengeluarkan kebijakan untuk meredam aksi demo.

Terlepas dari itu, Yordania dan Israel boleh dibilang mempunyai hubungan yang stabil setelahnya, walaupun rasa was-was terus ada. Keduanya merupakan sekutu Amerika Serikat di Timur Tengah, dan mempunyai kepentingan yang sama dalam ekonomi, energi, dan keamanan di wilayah negara mereka.

Kendati demikian, Yordania rutin mengkritik perlakuan pemerintah Israel terhadap warga Palestina. Puncaknya setelah meletusnya perang Israel–Hamas, ketika Yordania mengutuk keras keputusan Israel untuk melakukan pengepungan total terhadap Gaza, yang berdampak pada krisis humaniter yang berlangsung hingga sekarang. Yordania juga menarik Duta Besarnya dari Israel, serta melarang Duta Besar Israel untuk Yordania yang telah bertolak pascaperang untuk kembali ke Amman, ibu kota Yordania.

Yordania Harga Mati

Di tengah Intifadah Kedua yang berkecamuk, Raja Abdullah II juga mengeluarkan slogan baru dalam menyongsong masa depan Yordania: Al-Urdun Awalan atau “Yordania yang Utama”. Slogan ini menjadi fondasi kebijakan-kebijakan yang mengutamakan kepentingan domestik, dan mempersatukan Yordania di bawah naungan nilai dan tujuan yang mempersatukan negara yang pecah akibat perbedaan pandangan politik dan ideologi. Menurut Joseph Nevo, sejarawan Universitas Haifa, secara tidak langsung Yordania juga menyatakan bahwa negara ini tidak akan ikut terlibat dalam mendukung gerakan politik atau militer di luar negeri.

Prinsip Al-Urddun Awalan ini juga tercermin dalam respons al-Safadi terhadap peluncuran rudal Iran. Melalui pernyataan persnya, al-Safadi mengatakan bahwa pencegatan tersebut dilakukan sebagai upaya melindungi Yordania dan warga negaranya dari risiko rudal yang akan jatuh di wilayahnya. Al-Safadi juga mengungkap bahwa negaranya akan melakukan hal yang sama terhadap Israel apabila ada ancaman udara yang masuk ke wilayah Yordania. Respons al-Safadi juga diamini Raja Abdullah II, yang menyatakan bahwa Yordania tidak akan menjadi medan perang bagi semua pihak, dan ia akan mengutamakan perlindungan warga negara Yordania di atas segalanya.

Berjalan di Titian

Saat ini, Yordania sangat ingin menghindari terjadinya eskalasi perang di Timur Tengah. Yordania melalui al-Safadi telah memperingatkan Israel untuk tidak melakukan eskalasi konflik yang dapat menimbulkan perang langsung dengan Iran. Di saat yang sama, Yordania juga telah memanggil Duta Besar Iran untuk memprotes atas serangan udara Iran dan juga “disinformasi” dari media Iran terkait tindakan Yordania. 

Di saat yang sama, Yordania harus meredam adanya oposisi dari kalangan warga negaranya sendiri dan negara Muslim lainnya yang mempertanyakan keputusan pemerintah Yordania. Raja dan pemerintah Yordania juga mendapat tekanan besar dari demonstrasi warga pro-Palestina dan partai oposisi dari Ikhwanul Muslimin yang kerap mendapat bantuan Iran.

Yordania, terjepit secara geografis dan politik, akan berjalan di titian agar dapat memuaskan semua pihak berkepentingan dan menghindari eskalasi. Dengan kata lain, Yordania akan terus berhati-hati dan pragmatis dalam berjalan melewati gejolak politik regional dan cenderung mengambil jalan proaktif untuk mencegah eskalasi. Langkah ini diperlukan untuk memastikan kestabilan negara Yordania yang selama ini memang berada dalam pendirian yang lemah relatif dengan negara-negara tetangganya.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *