Ilustrasi Lukashenko. Foto: FPCI UPH.

Belarus, sebuah negara dengan 9,5 juta penduduk, baru-baru ini mengalami protes terbesar sejak terpecahnya Uni Soviet. Pada bulan Agustus 2020, nyanyian A March for Freedom, Long Live Belarus, dan Lukashenko Go Away telah terdengar di berbagai penjuru Belarus.

Ribuan orang menuntut perubahan dari pemilihan tanggal 9 Agustus, yang melanggengkan kekuasaan Alexander Lukashenko sejak 1994 dengan 80% suara. Hasilnya dicurigai ketika saingannya, Svetlana Tsikhanouskaya hanya mendapat 10% suara. Para pengunjuk rasa menganggap Lukashenko sebagai pemimpin otoriter karena beberapa alasan, yakni ia melarang jajak pendapat, memenjarakan tokoh oposisi seperti suami Svetlana Tsikhanouskaya, Siarhei Tsikhanousky, YouTuber terkenal, dan berbagai pihak lainnya dari kubu oposisi. Lebih lanjut, tindakan Lukashenko dalam memerintahkan polisi untuk mengakhiri protes melambangkan hilangnya kebebasan berpendapat, sehingga memicu solidaritas pengunjuk rasa.

Dengan dukungan ribuan warga Belarus, Svetlana melarikan diri ke Lituania demi keselamatan anak-anaknya sambil membentuk Dewan Koordinasi untuk transfer kekuasaan. Mantan guru itu mengatakan dia akan mengumpulkan suara orang-orang, dan akan menjabat sebagai pemimpin nasional sementara selama 6 bulan untuk mengadakan pemilihan yang adil. Namun, tindakannya dianggap tak konstitusional, dan banyak kandidat menolak tawarannya.

Sementara itu, cengkeraman Lukashenko pada kekuasaan memiliki pendukungnya sendiri. Sekitar 500 ribu orang berkumpul di Minsk untuk mendukung Lukashenko yang tak ingin mengadakan pemungutan suara lagi. Dia berkata, “saya tidak pernah mengkhianati Anda dan tidak akan pernah melakukannya.”

Pendukung Lukashenko mengklaim “semua orang tiba-tiba melupakan hal-hal baik yang telah dia lakukan – ada tata kelola negara, kami pun tak mengalami perang atau kelaparan. “

Alasan di balik protes menjadi lebih parah dengan rezim Lukashenko yang dinilai gagal dalam menangani COVID-19 dan resesi ekonomi. Karena Lukashenko melihat ini dapat mengakhiri jabatan presidennya, ia pun melirik ke Rusia untuk meminta bantuan.

Mempertimbangkan Belarus sebagai bekas Uni Soviet, hubungan antara Minsk dan Kremlin dilandasi pada ketergantungan Minsk atas subsidi energi Rusia yang bernilai miliaran dolar. Pengamat mengatakan bahwa ini bisa menjadi kesempatan bagi Kremlin untuk kembali menyatukan Belarus dan Rusia dalam bentuk negara kesatuan. Meskipun masih belum ada upaya berarti dari Kremlin selain menyatakan bahwa masalah kedua negara dapat segera terselesaikan.

Pemberontakan ini memicu kecaman Uni Eropa, yang tidak mengakui hasil dari pemilihan dan menuntut pemilihan ulang dengan pengawasan internasional. Sebulan yang penuh ketidakjelasan untuk warga Belarus, dengan situasi demokrasi yang kian tak tentu.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *