Ilustrasi Hari Buruh. Foto: pixabay.com.

“Kapan terakhir kali buruh dapat tertidur tenang?

Tak perlu memikirkan tentang apa yang akan datang, di esok hari.”

Tanggal 1 Mei 1886 jadi salah satu hari paling bersejarah yang membuat 1 Mei lain di tahun-tahun mendatang memiliki makna yang besar bagi buruh. Pada saat itu, setelah berjuang sejak tahun 1884, buruh di Amerika Serikat mulai berkumpul menyesaki jalan-jalan protokol untuk merayakan terkabulnya tuntutan mereka atas hak durasi kerja 8 jam yang diperjuangkan. Perayaan itu pada mulanya damai dan penuh haru-biru mengingat nasib para buruh yang kian tertindas setelah revolusi industri. Namun, itu semua justru jadi awal mula malapetaka tanggal 3 Mei 1886, saat para buruh yang berkumpul di jalanan harus berbenturan dengan aparat dan menyebabkan dua warga sipil tewas. Situasi kemudian memanas ketika tiga ribu buruh kembali berkumpul dengan agenda membahas kekerasan yang dilakukan oleh aparat yang berujung dengan bentrokan yang lebih parah dan korban yang lebih banyak lagi. Pada puncaknya, tujuh orang terduga anarkis dan inisiator dari pihak buruh lantas divonis hukuman mati.

Apa yang terjadi di AS pada Mei 1886 sedikit-banyak berhasil mencuri perhatian global. Pada Kongres Sosialis Internasional tahun 1900, tanggal 1 Mei selanjutnya ditetapkan sebagai Hari Buruh Internasional dan sekaligus menjadi momentum yang menandakan lahirnya kesadaran buruh di ranah yang lebih luas lagi, yaitu internasional. Meskipun pada perkembangannya AS justru merayakan Hari Buruh pada Senin pertama tiap bulan September, tapi kini kita tahu setidaknya 165 negara di dunia merayakan 1 Mei sebagai May Day.

“Tubuh yang berpatah hati, bergantung pada gaji.”

Pergerakan buruh hakikatnya berakar pada kehidupan yang jauh dari kata layak. Tuntutan durasi kerja yang dibatasi hanya 8 jam pada 1 Mei 1886 adalah pengejawantahan dari perasaan tidak sebanding ketika sebelumnya harus bekerja 10-16 jam sedangkan timbal-balik yang didapatkan tidak mencukupi. Bermula dari sana, tuntutan-tuntutan lain bermunculan seiring dengan berkembangnya tantangan di setiap era. Kini kita sebagai buruh merasakan kondisi yang lebih “adil” dengan kebijakan lima hari kerja dalam seminggu, perlindungan kesehatan, sampai upah minimum berkat tuntutan-tuntutan buruh di masa lalu.

Sayangnya, tidak semua buruh merasakan keadilan yang sama. Masih ada buruh-buruh di luar sana yang nasibnya terasingkan bersama kata ‘buruh’ yang diam-diam berganti jadi ‘karyawan’, ‘tenaga kerja’, dan ‘pekerja’. Pemerataan tidak lagi dihiraukan dan para buruh itu semakin jauh dari akses atas hal-hal mendasar dalam hidup. Sebab, pada akhirnya, buruh hanya bisa bergantung pada gaji.

“Berlomba jadi asri, mengais validasi.”

Indonesia telah mengenal 1 Mei sebagai Hari Buruh sejak zaman kemerdekaan. Presiden Soekarno selalu hadir dalam setiap perayaannya dan senantiasa mengingatkan kalau buruh seharusnya mampu mempertahankan politieke toestand demi kebebasan berserikat, mengkritik dan berpendapat atas nasibnya sendiri. Namun, negeri ini jadi gagap membicarakan buruh pasca periode Orde Baru akibat alergi yang irasional pada kaitan buruh dengan ideologi tertentu yang tidak jelas juntrungannya. Sekalipun sejak awal masa reformasi buruh kembali mendapat posisinya dan didukung dengan ditetapkannya 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional pada tahun 2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, perjuangan buruh di negeri ini rasanya masih jauh dari kata usai.

“Dan aku pun terhadir, seakan paling mahir.”

Memperjuangkan kehidupan yang layak bukanlah tindakan kriminal. Namun, sampai hari ini kita masih kerap menjumpai banyak cap penjahat yang dibubuhkan kepada mereka para buruh yang sadar kalau nasib hidup mereka tidak hanya untuk bekerja. Indonesia akrab dengan hal itu. Masalahnya sekarang tinggal satu: butuh berapa banyak lagi Marsinah yang harus dianiaya, buruh-buruh yang harus dipenjara, mereka yang harus mati sia-sia, sampai Indonesia bisa ‘merayakan’ 1 Mei dengan sorak-sorai dan bukan tangis yang tercerai-berai. Bangsa ini masih punya banyak waktu untuk berkaca bahwa kesejahteraan bangsa ada di tangan-tangan kasar nasib buruh yang diperjuangkan setiap harinya.

“Menenangkan dirimu, yang merasa terpinggirkan dunia, tak pernah adil.”

Buruh bukan milik mereka yang “Kiri”. Buruh tidak pernah terbatas pada sekat-sekat imajiner ideologi yang semu. Perjuangan buruh itu nyata dan tidak bisa dielakkan. Sebab, buruh adalah kita yang setiap hari masih harus berjuang untuk hidup dengan layak. Buruh adalah kita yang masih bernapas di bawah ketiak-ketiak para pemilik modal. Buruh adalah kita yang selalu ada untuk negara, dan begitu pun mestinya, negara ada untuk buruh. Maka, selamat hari kita, seluruh buruh di dunia!

“Kita semua buruh, angkat lenganmu, berjuang bersama-sama!”

Haikal Putra Samsul adalah alumni Hubungan Internasional Universitas Indonesia yang juga menjabat sebagai Chief Strategy Officer Kontekstual. Bisa ditemui di Instagram dan Twitter dengan username @icalhaikal.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *