Semangkuk Lontong Sayur di Madrid

0

Ilustrasi lontong sayur. Foto: food.detik.com.

Pada suatu hari, ayah saya bertanya kepada saya mengenai lontong sayur favoritnya yang berada di dekat kampus saya. Ia bertanya, apakah masih buka atau tidak. Ketika saya mengatakan belum buka, ayah saya bergumam, “sebentar lagi mungkin lapak jualannya bakal dibeli sama hotel dibelakangnya dan mungkin kita gak bakal tau dimana lagi yang jualan lontong sayur seenak dia.”

Lalu saya menjawab, “kalau emang enak, harusnya itu hotel bisa rekrut ibu yang jual dan menyajikan lontongnya jadi signature dish itu hotel, dan harusnya lontong sayur naik kelas dari cuman sekadar makanan untuk sarapan pagi, jadi trademark nya hotel itu.”

Kemudian percakapan anak dan ayah tersebut berlanjut ke tahap bagaimana seharusnya hotel dan tempat pariwisata lainnya memperlakukan makanan tradisional sebaik baiknya, khususnya di masa ketika negara kita sedang mencoba untuk mempromosikan pariwisata sebesar-besarnya. Dimana posisi makanan tradisional saat ini? Bagaimana cara kita membawa makanan tradisional kita ke tingkat dunia? Pertanyaan-pertanyaan ini seringkali muncul di benak saya.

Mau dibawa ke Mana Kuliner Tradisional Kita?

Ternyata, mengenai pertanyaan ini bukan saya saja yang bertanya-tanya. Rhenald Kasali juga mempermasalahkan hal ini. Dalam tulisannya, beliau mempermasalahkan mengapa makanan tradisional yang disajikan di hotel dan lobi VIP bandara tidak ada yang enak dan membuat berselera. Beliau juga mempermasalahkan mengapa juru masak yang diperkerjakan tidak ada yang mampu membuat makanan lokal seenak yang ada di jalanan. Asumsi saya adalah para juru masak yang memiliki gelar formal ini terlalu dicekoki dengan resep-resep masakan asing yang banyak peminatnya, seperti hidangan Italia, Prancis, China, atau jepang, sehingga mereka lupa mengulik resep masakan lokal seperti Empal Gentong, Soto Padang, atau Naniura. Padahal seharusnya juru masak kita ini menjadi ujung tombak Gastrodiplomasi ke tingkat Dunia. Dengan segala akses yang mereka miliki, seharusnya para pemasak dengan gelar formal ini mampu mempromosikan kuliner lokal di tingkat dunia.

Di level masyarakat umum, hal ini juga tidak jauh berbeda. Datanglah ke pekan kewirausahaan baik yang dilakukan oleh kampus-kampus maupun instansi, maka kita akan jarang sekali menemukan makanan-makanan lokal.  Yang ada hanya deretan penjual Kebab, Burger, Mozzarela stick, Corndog, Tteokbokki, atau Sushi. Untuk minuman juga sebelas duabelas. Lebih mudah menemukan penjual Thai Tea dibanding Teh Telur di acara – acara tersebut. 

Gastrodiplomasi, Sebuah Cara Menghadirkan Lontong Sayur di Kota Madrid!

Ketika berbicara mengenai diplomasi, sebagian besar dari kita akan berbicara mengenai konferensi antar kepala negara atau menteri luar negeri yang sedang membicarakan politik, pertahanan, atau perdagangan. Tetapi saat ini, ada bentuk diplomasi yang sebenarnya tidak baru-baru amat, bernama Gastrodiplomasi. Gastrodiplomasi dalam artian bebas adalah cara memperkenalkan kuliner lokal ke tingkat dunia.

Negara negara di ASEAN sudah banyak yang melakukan Gastrodiplomasi, seperti Thailand dengan Globalthai nya, atau pun Malaysia dengan Kitchen For The World nya. Hal ini membuat Tom Yum, Pad Thai dan Nasi Lemak lebih mendunia jika dibandingkan dengan Empal Gentong maupun Nasi Liwet. Hal ini pun memberikan dampak dengan semakin banyaknya wisatawan asing yang datang ke negara tersebut hanya untuk mencicipi semangkuk Tom Yum atau sepiring Nasi Lemak — yang mana menambah prestise makanan-makanan tersebut. Dan lebih hebatnya, kita juga ikut mempopulerkan makanan-makanan tersebut. Hal ini bisa dilihat ketika di dekat rumah saya, seorang mas-mas Jawa tulen malah berjualan Tom Yum selain menjual Nasi goreng.

Untuk urusan Gastrodiplomasi ini, pemerintah tentunya tidak tinggal diam. Pemerintah, melalui Kementrian Pariwisata, sering melakukan promosi di luar negeri, atau mendukung para diaspora Indonesia yang berada di luar negeri yang menjual makanan khas Indonesia. Hal ini dapat dilhat dari semakin populernya Nasi Goreng, Rendang, dan Sate di berbagai penjuru dunia.

Hal ini terbukti dalam salah satu unggahan Facebook terbaru Perdana Menteri Australia Scott Morrison. Dalam video tersebut, ia tampak sedang mengolah rendang bersama dengan cobeknya (Jangan beri tau GNFI, nanti mereka akan overproud). Tapi tentunya saya tetap lebih iri melihat sebuah kedai sederhana di Vietnam yang menjual Bun Cha (sejenis mie dengan kuah dingin khas vietnam) didatangi oleh Obama dan Anthony Bourdain yang dengan santai duduk di kursi plastik ala abang bakso sembari menyesap mie dan meminum bir. Rasanya kejadian ini mempunyai arti yang lebih mendalam dibandingkan cuman lip service, “pulang kampung nih, Indonesia bagian dari diri saya. Sate, bakso, enak ya.” 

Dalam imaji saya, saya membayangkan Emmanuel Macron sedang menyantap nasi goreng kambing Kebon Sirih bersama dengan William Wongso, atau orang Denmark yang memilih untuk memakan Naniura atau Na Tinombur di Hotel daerah Kensington, London. Bisa juga, orang Argentina yang sedang asik memakan Cireng Saus Kacang bercengkrama dengan orang Mexico yang sedang menyantap Batagor, atau seorang  berkenegaraan Turki yang menyegarkan diri dengan segelas cendol.

Dan dalam imaji saya yang paling liar, saya membayangkan ketika Arak Bali, Tuak Nias, dan Ciu bekonang berdiri sejajar dengan Sake dan Soju di rak minuman keras di Russia.

P.S. Soal minuman keras, jangan sampai Ibu Fahira Idris tau.

Mohd Derial adalah alumni Manajemen Universitas Sumatera Utara. Dapat dihubungi melalui Twitter dan Instagram di @mderial

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *