Sudah Waktunya Mengapresiasi Ursula von der Leyen

0

Illustrasi Ursula von der Leyen. Foto: AFP

Jika kita membicarakan kepemimpinan perempuan semasa pandemi COVID-19, nama-nama seperti Angela Merkel, Jacinda Ardern, dan Tsai Ing-wen sudah sering terdengar. Keberhasilan mereka dalam memimpin—berdasarkan pengukuran terhadap hal seperti tingkat kematian yang relatif rendah—digadang-gadang menjadi bukti keunggulan perempuan dari laki-laki dalam memerintah suatu negara. Fenomena ini bahkan mendorong kemunculan berbagai riset yang membandingkan tingkat efisiensi pemerintahan oleh perempuan dan laki-laki. Menariknya, penelitian tersebut membenarkan keunggulan para perempuan dalam memerintah pada masa pandemi COVID-19. 

Walau demikian, pujian-pujian yang dilontarkan kepada para pemimpin perempuan sepertinya tidak menyentuh satu tokoh sentral dalam perpolitikan Eropa, yakni Ursula von der Leyen. Namanya jarang terlihat, bahkan hampir tidak terlihat sama sekali. Padahal, dalam kapasitasnya sebagai Presiden Komisi Eropa—lembaga eksekutif Uni Eropa (UE)—von der Leyen mengawasi pembuatan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan UE. Sebuah tugas yang bisa dikatakan lebih rumit daripada yang dihadapi oleh Merkel selaku Kanselir Jerman. Merkel hanya mengurusi satu negara; yang walaupun bukan tugas yang mudah, tetapi lebih mudah daripada jabatan von der Leyen yang mencakup 27 negara di Eropa. 

Tidak hanya itu, bersamaan dengan permasalahan COVID-19 yang muncul, von der Leyen juga berhadapan dengan berbagai perkara eksistensial terhadap organisasi regional-nya. Mulai dari permasalahan imigran yang sempat menimbulkan berbagai konflik sosial selama satu dekade terakhir, hingga munculnya aspirasi untuk memisahkan diri dari UE di beberapa negara—seperti Inggris yang menjadi contoh ekstrem. Semua permasalahan ini menghantui masa jabatannya. Sejatinya, pandemi COVID-19 hanya mempertajam pedang yang mengarah kepada jantung eksistensial UE. Demikian, von der Leyen berhadapan dengan skala permasalahan yang tidak dihadapi oleh banyak rekan politisinya, seperti Ardern di Selandia Baru.

Lebih dari itu, ia juga harus memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuatnya pada masa-masa awal pandemi COVID-19 di Eropa—kesalahan seorang pemimpin yang tentunya wajar terjadi menimbang “kemanusiaan” mereka yang tidak bebas dari cacat. Mulai dari kelambatan sistem kesehatan yang ada untuk menanggulangi pandemi COVID-19 ketika pertama kali muncul, hingga permasalahan seputar perizinan dan persediaan vaksin; semua itu menjadi batu ganjalan von der Leyen dalam menangani krisis kesehatan ini di lingkungan UE. Kendati permasalahan-permasalahan berat yang ditemui pada awal pandemi, ia secara perlahan mulai mengendalikan keadaan. Bahkan, kini terdapat indikasi bahwa ia menjadikan pandemi COVID-19 sebagai kesempatan UE untuk memperbaiki dirinya sendiri.

Beberapa variabel yang dijadikan objek perbandingan antara kinerja pemimpin laki-laki dan perempuan semasa pandemi COVID-19 antara lain inisiatif, ketangkasan dalam belajar melalui pengalaman, dan keberanian untuk melakukan perubahan. Tingkat ketiga variabel tersebut ditemukan lebih tinggi dalam diri seorang perempuan dibanding laki-laki. Lebih lanjut, ketiga variabel tersebut ditemukan dalam sosok Ursula von der Leyen yang kini berupaya menanggulangi pandemi COVID-19. Setelah berhadapan dengan kritikan yang muncul akibat penanganan pandemi yang kurang memuaskan di awal, ia segera menyusun rancangan anggaran yang ambisius untuk mengeluarkan UE dari krisis kesehatan dan ekonomi yang mulai memburuk. 

Ia menyusun rencana bernama Next Generation EU (NGEU) untuk menggelontorkan dana sebesar € 1.82 triliun demi menghidupkan kembali perekonomian UE. Apabila disetujui oleh Dewan Eropa sebagai pemberi keputusan akhir dalam ranah kebijakan di UE, rencana tersebut membutuhkan kerjasama 27 negara yang kini menjadi anggota UE. Tidak terkecuali adalah dua pemain besar yang selama ini memiliki persaingan di UE, yaitu Prancis dan Jerman. Ia membutuhkan kesepakatan Emmanuel Macron dan Angela Merkel dengan harapan negara-negara lainnya akan mengikuti langkah ini dan turut menyetujui proposal keuangan yang diajukan. Setelah melalui negosiasi yang alot, rencana von der Leyen beserta turunan-turunannya disepakati oleh Dewan Eropa pada tanggal 21 Juli 2021, dengan pengurangan terhadap jumlah dana yang diberikan.

Dalam kasus anggaran ini, ia berhasil menggelontorkan dana pemulihan lintas sektoral di UE. Tidak hanya itu, ia juga berhasil menyatukan negara-negara anggota UE—termasuk Perancis dan Jerman—dalam menghadapi COVID-19 sebagai musuh bersama. Menariknya, hal ini dilakukan melalui satu inisiatif yang dilakukan oleh von der Leyen sebagai salah satu politisi utama di lingkaran pembuat kebijakan UE; dan sama dengan visi, misi, dan juga berbagai kebijakannya, NGEU kini bisa dilihat sebagai salah satu instrumen yang dapat memperbaiki UE dan memperkuatnya agar bisa bangkit kembali dari keterpurukan sosial, politik, dan ekonomi yang sudah menghantui sejak awal dekade sebelumnya.

Lebih dari apapun, pandemi COVID-19 mempertajam kerusakan yang disebabkan oleh ketidakmampuan UE untuk berkoordinasi secara efisien. Dalam situasi pandemi, hal tersebut menyebabkan keleletan birokratis di berbagai sektor yang telah memakan korban jiwa—dengan meninggalnya banyak orang yang seharusnya bisa diselamatkan apabila perkara administrasi di UE bisa dipercepat. Kebiijakan-kebijakannya kini, terutama NGEU yang sudah diberikan persetujuan digadang sebagai instrumen yang dapat menyatukan negara-negara anggota UE, termasuk secara birokratis. Beberapa pihak bahkan mengatakan bahwa peristiwa lolosnya NGEU di Dewan Eropa memiliki kemiripan dengan momen penyatuan fiskal di Amerika Serikat yang ditandai oleh terbentuknya kas utang federal sekitar tiga abad yang lalu. Apabila hal tersebut benar-benar terjadi, von der Leyen bisa menjadi sosok pembaru UE yang perannya tidak dapat diremehkan; hal tersebut disamping pencapaiannya sebagai seorang pemimpin era pandemi yang berprestasi.

Seperti yang telah disiratkan sebelumnya, kita tidak dapat menilai kinerja dan prestasi von der Leyen hanya dalam konteks situasi pandemi. Seperti yang dicantumkan di dalam NGEU, rencana pembangunan ulang UE pascapandemi juga meliputi permasalahan-permasalahan dalam kehidupan masyarakatnya secara merata; mulai dari peralihan energi hijau, penyediaan lapangan kerja hingga keamanan. Dalam hal ini, ia sudah mempersiapkan semacam cetak biru yang dapat digunakan oleh UE beserta negara-negara anggotanya untuk mempertegas kembali relevansinya yang telah tergerus sejak lama. UE sebagai organisasi dapat kembali menghadirkan diri sebagai jawaban bagi permasalahan-permasalahan 27 negara-negara anggotanya yang muncul baik sesaat, selagi, hingga sesudah pandemi.

Demikian, sudah sepatutnya kita memberikan perhatian yang lebih kepada sosok Ursula von der Leyen yang kini menjabat sebagai Presiden Komisi Eropa. Kepemimpinannya telah diuji oleh berbagai permasalahan yang memunculkan kerumitan eksistensial suatu organisasi regional pada masa pandemi—suatu hal yang tidak dihadapi oleh rekan-rekan politisi perempuannya. Tanpa mengurangi sedikitpun rasa hormat kepada pemimpin-pemimpin perempuan lainnya seperti Merkel, Ardern, dan Tsai, mereka berhadapan dengan perkara yang terbatas dalam tingkat nasional; Ursula harus melaksanakan kekuasaannya dalam tingkat regional. Kemudian, seperti yang telah dielaborasikan dalam paragraf-paragraf sebelumnya, itu merupakan satu dari banyak persoalan lainnya yang penyelesaian-penyelesaiannya harus diapresiasi. 

Referensi:

Casert, Raf. “EU chief: Bloc was late, over-confident on vaccine rollout.” https://apnews.com/article/europe-europe-ursula-von-der-leyen-coronavirus-pandemic-a4bec783d45b7111219440725194f9f5 (diakses pada 25 Oktober 2021).

Delaye, Fabrice. “How Ursula von der Leyen is using the Covid crisis to relaunch the EU.” https://genevasolutions.news/global-news/how-ursula-von-der-leyen-is-using-the-covid-crisis-to-relaunch-the-eu (diakses pada 25 Oktober 2021).

De la Baume, Maia dan Jillian Deutsch. “Von der Leyen: ‘Mistakes were made’ on vaccine export ban but ‘we got it right.’” https://www.politico.eu/article/ursula-von-der-leyen-mistakes-were-made-but-we-got-it-right-on-article-16/ (diakses pada 25 Oktober 2021).

Herszenhorn, David M. et.al. “The coronavirus recovery plan that von der Leyen built.” https://www.politico.eu/article/ursula-von-der-leyen-coronavirus-recovery-plan-summit/ (diakses pada 25 Oktober 2021).

Katz, Michal. “The COVID crisis shows why we need more female leadership.” https://fortune.com/2021/03/17/covid-female-women-leadership-jacinda-ardern/ (diakses pada 25 Oktober 2021).

Rankin, Jennifer. “EU is facing existential crisis, says Jean-Claude Juncker.” https://www.theguardian.com/world/2016/sep/13/jean-claude-juncker-eu-is-facing-existential-crisis (diakses pada 25 Oktober 2021).

Robinet-Borgomano, Alexandre. “Leaders Revealed by Covid-19: Ursula von der Leyen, or the Reaffirmation of a European Ambition.” https://www.institutmontaigne.org/en/blog/leaders-revealed-covid-19-ursula-von-der-leyen-or-reaffirmation-european-ambition (diakses pada 25 Oktober 2021).

“Special European Council, 17-21 July 2020.”  https://www.consilium.europa.eu/en/meetings/european-council/2020/07/17-21/# (diakses pada 25 Oktober 2021).

Van Middelaar, Luuk. “Europe’s existential crisis.” https://www.politico.eu/article/europe-existential-crisis-rule-of-law-hungary-poland/ (diakses pada 25 Oktober 2021).

Zenger, Jack dan Joseph Folkman. “Research: Women Are Better Leaders During a Crisis.” https://hbr.org/2020/12/research-women-are-better-leaders-during-a-crisis (diakses pada 25 Oktober 2021).

Bayu Muhammad Noor Arasy adalah mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @classroomboredom

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *