USA-China Rivalry: Can the US Keep the Dragon at Bay?

0

Ilustrasi dari FPCI UMY

Napoleon Bonaparte pernah berkata, “Biarkan Tiongkok tertidur, karena saat Tiongkok terbangun, ia akan menggetarkan dunia.” Sekarang pada tahun 2021, perkataan Napoleon tersebut mulai dirasakan dunia. Tiongkok telah bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi yang besar dan menyaingi Negeri Paman Sam, Amerika Serikat (AS).

Empat puluh tahun yang lalu, Tiongkok adalah negara yang kesulitan ekonomi dan juga menutup diri dari komunitas internasional. Kondisi perekonomian Tiongkok mulai berkembang pada tahun 1978 yang dipicu oleh reformasi ekonomi Tiongkok (Adhi, 2014). Sebuah perubahan yang membuat Tiongkok sadar dan bangkit dengan pandangan baru untuk menatap dunia dan masa depan. Kebangkitan itu dapat dibuktikan dengan beberapa faktor seperti Tiongkok yang menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, meraih GDP tertinggi di tahun 2018, serta menjadi negara pengekspor terbesar di tahun 2018 dengan pencapaian hingga US$ 2.26 miliar (IMF, 2018). Tiongkok dianggap ikut andil dalam mendorong pergerakan ekonomi dunia dengan tingginya pendapatan tersebut (WorldBank, 2019). Tiongkok yang telah bertransformasi menjadi naga dengan semburan ekonomi yang sangat kuat kini mengguncang dunia Barat serta sang negara adikuasa, AS. Kini, AS telah menyadari akan kebangkitan Tiongkok. Paman Sam pun langsung bertindak untuk “menidurkan” kembali sang Naga. So, can the US keep the Dragon at bay?

Beberapa pemimpin Barat menggambarkan persaingan dengan Tiongkok dalam istilah ideologis yaitu demokrasi melawan otoritarianisme. Mereka mengatakan Tiongkok mengancam untuk mengganti tatanan yang berbasis demokrasi dengan tatanan baru yang didasarkan pada prinsip dan praktik Partai Komunis Tiongkok (PKT), yang akan membahayakan masyarakat demokratis di dunia (White, 2021).  Itu semua kembali mengingatkan pada analogi Perang Dingin lama antara AS dan Uni Soviet. Namun, analogi tersebut tidak relevan untuk saat ini. Tidak ada negara-negara berkembang yang mengadopsi sistem politik Tiongkok atau menerima tatanan global yang dipimpin Tiongkok layaknya Uni Soviet yang mengajak negara-negara berkembang untuk mengadopsi dan menerima sistemnya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Tiongkok bukanlah komunis Soviet yang selalu menyebarluaskan pahamnya, komunis Tiongkok lebih fokus pada kekuatan materialistis dibandingkan kekuatan ideologis. 

AS harus mengubah persepsi bahwa komunis Tiongkok yang saat ini bukanlah komunis Tiongkok di zaman Mao Zedong maupun komunis zaman Uni Soviet. Rakyat-rakyat Tiongkok sendiri menerima pemerintahan Partai Komunis Tiongkok yang selalu digambarkan sebagai “penjahat” oleh AS. Studi dari Havard membuktikan bahwa 95,5% responden “relatif puas” atau “sangat puas” dengan pemerintahan Tiongkok (Harsha, 2020). Rakyat China memiliki cara berpikir, logika, dan tradisi tersendiri dalam menilai seperti apa pemerintahan yang baik. Masyarakat Tiongkok lebih senang dipimpin oleh pemerintah yang tersentral dan kuat, atau bisa dibilang otoriter, dibandingkan demokrasi. Kelemahan dari pemimpin yang tidak kuat adalah terjadinya kekacauan di mana-mana. Pemikiran ini bisa kita lihat dari sejarah Tiongkok ketika zaman keemasan Dinasti Tang berakhir. Pemberontakan merajalela yang membuat negara menjadi kacau balau. Setelah tidak adanya pemimpin yang tersentral dan kuat, Dinasti Tang terus mengalami kemunduran. AS dan dunia Barat tidak akan bisa menggulingkan kekuatan Tiongkok dengan alasan demokrasi. Para petinggi AS perlu move on dari analogi perang dingin dengan Uni Soviet dan menerima realita bahwa Tiongkok bukanlah ancaman terhadap demokrasi, namun ancaman terhadap supremasi AS.

AS tidak tinggal diam ketika supremasinya digoyahkan oleh Tiongkok. AUKUS, perjanjian trilateral antara AS, Inggris, dan Australia mengenai pengadaan kapal selam bertenaga nuklir merupakan bagian dari strategi AS untuk menekan dominasi Tiongkok di Asia Pasifik. Perjanjian ini akan melengkapi Australia, sekutunya di kawasan itu, dengan kapal selam bertenaga nuklir (CNBC Indonesia, 2021). Respon dari negara sekitar Asia Pasifik, terkhusus negara-negara ASEAN pun beragam serta menuai pro dan kontra. Beragamnya respon untuk “melawan” pengaruh Tiongkok di kawasan harus menjadi pertimbangan bagi para petinggi AS. Salah satu alasan terbesar mengapa negara-negara ASEAN berpikir seribu kali untuk melawan Tiongkok tak lain dan tak bukan karena besarnya pengaruh Tiongkok di Asia Tenggara. 

Hubungan ekonomi yang meningkat antara Tiongkok dan ASEAN sudah diketahui oleh dunia internasional, terlebih dipengaruhi oleh rivalitas Tiongkok-AS. AS sebenarnya juga memiliki hubungan ekonomi dengan ASEAN.  Sebagian besar kerja sama AS berfokus pada sumber daya mineral dan sektor teknologi terkini. Namun, investasi AS di wilayah ASEAN masih kurang di bidang infrastruktur yang mana sangat dibutuhkan untuk pengembangan wilayah tersebut. Sebaliknya, Tiongkok dan negara-negara ASEAN saling melengkapi dalam kerja sama infrastruktur yang telah dikembangkan oleh Tiongkok dengan Belt and Road Initiative-nya. Pertumbuhan investasi Tiongkok di ASEAN didorong oleh kerja sama ekonomi yang menjanjikan dari kedua belah pihak. Tetapi, jika AS meluncurkan permainan zero-sum ke Tiongkok di kawasan Asia tenggara, hal itu akan tidak akan berjalan lancar (Global Times, 2021).

Negara-negara ASEAN secara geografis dekat dengan Tiongkok, tetapi bukan berarti mereka tidak punya masalah dengannya. Kegiatan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan tentu menimbulkan ketegangan antara negara-negara ASEAN. Namun hal itu tidak membuat negara-negara ASEAN begitu saja menerima pengaruh AS untuk melawan Tiongkok di LTS. AS pada masa pemerintahan Joe Biden ini telah memulai pendekatan ke ASEAN dengan hadir pada virtual summit ASEAN di akhir bulan Oktober 2021. AS berencana untuk terlibat dalam perdagangan, investasi, dan infrastruktur (CNBC, 2021). Langkah ini sangatlah tepat untuk melawan pengaruh Tiongkok di negara-negara ASEAN. Namun ada dua hal yang AS harus pahami mengenai apa yang benar-benar diinginkan oleh negara-negara ASEAN. Pertama, negara-negara ASEAN menginginkan investasi AS serta kehadiran militer AS untuk mendisiplinkan Tiongkok perihal sengketa Laut Tiongkok Selatan. Kedua, jangan membuat negara-negara ASEAN memilih antara AS atau Tiongkok. Mereka ingin bersahabat dengan AS, namun mereka juga ingin bersahabat dengan Tiongkok. AS harus lebih memahami apa yang diinginkan, apa yang diharapkan, serta apa yang dibutuhkan oleh negara-negara ASEAN, dan pastinya itu bukanlah perjanjian militer berbalut nuklir. 

Kemampuan AS menjalankan kepemimpinan global cenderung berkurang dan tidak lagi sama seperti pada masa Perang Dingin sebagai negara adidaya.  AS mampu membentuk tatanan dunia internasional dengan pengaruhnya yang sangat besar. Berkurangnya supremasi AS di kancah internasional akan mempersulit Negeri Paman Sam untuk membendung pengaruh Tiongkok. Ketidakmampuan AS dalam memimpin dunia tidak hanya berkurang di ASEAN saja, hubungan antara AS dan negara-negara Eropa (Transatlantic) juga memburuk. Obama sebagai Presiden AS secara bertahap menciptakan ketegangan hubungan Transatlantic. Salah satu contohnya adalah pada kasus ketika NSA (National Security Agency) menyadap telepon seluler Kanselir Jerman Barat, Angela Merkel. Tindakan NSA ini merenggangkan hubungan Amerika dan Jerman di masa pemerintahan Obama (DW, 2013).  Kebijakan ‘Pivot to Asia” yang dideklarasikan Obama menambah ketegangan hubungan Transatlantic. Kebijakan Obama yang lebih difokuskan ke Tiongkok melalui kerangka baru ini menciptakan rasa kehilangan bagi para pemimpin Eropa disaat beberapa negara berjuang keras menghadapi krisis ekonomi yang sesungguhnya diakibatkan oleh krisis finansial di Amerika tahun 2008 (Ford, 2017). 

Penerus Obama, Donald Trump, makin memperburuk hubungan AS dan negara-negara Eropa dimana kerja sama dari keduanya akan menentukan rivalitas antara AS dan Tiongkok. Ia secara terbuka menghina sekutu Eropa dan tampaknya menolak berjabat tangan dengan Angela Merkel di Gedung Putih, namun disaat bersamaan menggambarkan Vladimir Putin sebagai “orang hebat” dan Kim Jong-Un sebagai “pemimpin yang hebat” (Tidey, 2021). Ketika AS bersitegang dengan negara-negara Eropa, Tiongkok justru semakin agresif dan ekspansionis. Negara-negara Eropa memiliki cara tersendiri untuk mengelola hubungan dengan Tiongkok bahkan Jerman sebagai negara terpadat dan paling kuat di Eropa juga memiliki hubungan perdagangan yang sangat dekat dengan Tiongkok (Hein, 2021). Tak hanya memperburuk posisi AS di Eropa, Trump juga membuat kesalahan besar di dunia Internasional. Donald Trump saat itu mengecam bahkan menarik diri dari Perjanjian Paris tentang perubahan iklim dan dari kesepakatan nuklir penting dengan Iran dan memulai proses untuk keluar dari WHO di tengah pandemi global (Tidey, 2021). Ini merupakan sebuah lubang besar yang dibuat AS dan peluang besar bagi Tiongkok untuk mengisi lubang tersebut.

Di masa kepemimpinan Joe Biden sekarang, AS memiliki setumpuk masalah yang harus diselesaikan. Dari menyelesaikan permasalahan yang diwarisi dari pendahulunya hingga berhadapan dengan Sang Naga. Dalam hal ini Professor Kishore Mahbubani yang pernah menjabat sebagai Presiden Dewan Keamanan PBB memberikan beberapa masukan untuk AS dalam menghadapi supremasi Tiongkok yang semakin kuat (TED, 2019). Professor Kishore Mahbubani menyampaikan bahwa yang perlu dilakukan oleh pemerintahan Biden adalah benar-benar menekan tombol jeda pada kontes geopolitik dan menyusun strategi jangka panjang sebagaimana yang terjadi pada Perang Dingin (KUENTAK, 2021). Saran ini juga sesuai dengan pernyataan dari mendiang George Kennan, diplomat dan sejarawan AS yang terkenal dengan “containment policy” yang digunakan AS untuk membendung pengaruh Uni Soviet dahulu. 

George Kennan mengatakan bahwa elemen utama kebijakan AS terhadap Uni Soviet adalah strategi jangka panjang, yang dilakukan dengan sabar tetapi tegas dan tetap waspada. George Kennan juga menekankan bahwa AS harus berfokus pada kekuatan ekonomi dibandingkan militer ketika menghadapi Uni Soviet. Hal itu bertujuan untuk menarik hati negara-negara berkembang dan komunis yang masih miskin dengan keberhasilan demokrasi liberal barat dan sistem pasar bebas (Hoadley, 2021). Strategi yang dipakai pada masa Perang Dingin ini bisa diimplementasikan kembali pada rivalitas antara AS dengan Tiongkok—walaupun jika kita lihat di masa sekarang, rivalitas AS dan komunis Tiongkok berbeda dengan Perang Dingin. Komunis Tiongkok sekarang adalah negara yang maju, kaya, lebih terbuka pada kerja sama internasional, dan lebih mengutamakan pendekatan kerjasama ekonomi pragmatis dengan negara-negara lain dibandingkan pendekatan ideologis yang tidak fleksibel seperti zaman Uni Soviet. Professor Mahbubani menganalogikan situasi antara AS dan Tiongkok dengan Perang Dingin, tetapi kali ini perannya terbalik. AS adalah negara adidaya yang terlalu ideologis dan tidak fleksibel sementara Tiongkok adalah saingan yang fleksibel dan pragmatis dengan perencanaan jangka panjang. Secara sederhana, AS berperilaku seperti Uni Soviet dan Tiongkok berperilaku seperti AS (Thornhill, 2020).

Kesimpulannya adalah hal utama yang harus dilakukan Joe Biden untuk menghadapi Tiongkok adalah membuat strategi panjang yang dirasa sekarang ini masih kurang optimal. Selain itu, Biden juga memiliki pekerjaan rumah untuk mengubah pandangan dan strateginya bahwa komunis Tiongkok bukanlah komunis Uni Soviet. Pendekatan ekonomi harus lebih diutamakan dibandingkan pendekatan militer seperti QUAD dan AUKUS, serta memperbaiki hubungan AS dengan komunitas internasional yang telah memburuk di zaman Trump.

Referensi:

Adhi, I. B. (2014). DAMPAK OPEN DOOR POLICYYANG DITERAPKAN DENG XIAOPING TERKAIT PENINGKATAN SEKTOR INDUSTRI CINA PASCA RERORMASI 1978.

CNBC. (2021, October 25). Biden to attend ASEAN summit Trump skipped after 2017. Retrieved from CNBC: https://www.cnbc.com/2021/10/26/biden-to-attend-asean-summit-trump-skipped-after-2017.html

CNBC Indonesia. (2021, October 9). Dikepung Senjata Nuklir, RI & Negara ASEAN Panik & Terancam. Retrieved from CNBC: https://www.cnbcindonesia.com/news/20211009112147-4-282620/dikepung-senjata-nuklir-ri-negara-asean-panik-terancam

DW. (2013, October 10). AS Sadap Telepon Merkel, Jerman Protes. Retrieved from DW: https://www.dw.com/id/as-sadap-telepon-merkel-jerman-protes/a-17180273

Ford, J. (2017, January 21). The Pivot to Asia Was Obama’s Biggest Mistake. Retrieved from The Diplomat: https://thediplomat.com/2017/01/the-pivot-to-asia-was-obamas-biggest-mistake/

Global Times. (2021, July 5). High complementarity to boost China’s investment in ASEAN. Retrieved from Global Times: https://www.globaltimes.cn/page/202107/1227895.shtml

Harsha, D. (2020, July 9). Taking China’s pulse . Retrieved from The Harvard Gazette: https://news.harvard.edu/gazette/story/2020/07/long-term-survey-reveals-chinese-government-satisfaction/

Hein, M. v. (2021, September 9). Dilema Jerman, Bersekutu dengan AS dan Jalin Kemitraan Bisnis dengan Cina. Retrieved from DW: https://www.dw.com/id/jerman-bersekutu-dengan-as-dan-berbisnis-dengan-cina/a-59129916

Hoadley, S. (2021, Agustus 14). George Kennan urged American leadership and patience to counter the Soviets. Instead, the Cold War ensued. Retrieved from The Conversation: https://theconversation.com/george-kennan-urged-american-leadership-and-patience-to-counter-the-soviets-instead-the-cold-war-ensued-156306

IMF. (2018). PEOPLE’S REPUBLIC OF CHINA. Retrieved from International Monetary Fund: https://www.imf.org/en/Countries/CHN

KUENTAK, P. (2021, April 9). Riding the dragon. Retrieved from BangkokPost: https://www.bangkokpost.com/business/2101659/riding-the-dragon

TED. (2019). TED. Retrieved from TED Speaker: https://www.ted.com/speakers/kishore_mahbubani

Thornhill, J. (2020, April 2). Has China Won? by Kishore Mahbubani stars and gripes. Retrieved from Financial Times: https://www.ft.com/content/9ca8cfa8-7351-11ea-ad98-044200cb277f

Tidey, A. (2021, January 19). How did US President Donald Trump impact Europe during his four years in office? Retrieved from euronews: https://www.euronews.com/2021/01/19/how-did-us-president-donald-trump-impact-europe-during-his-four-years-in-office

White, H. (2021, August 2). China threatens the West’s primacy, not its democratic systems. Retrieved from The Interpreter: https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/china-threatens-west-s-primacy-not-its-democratic-systems

WorldBank. (2019). China trade balance, exports and imports by country 2019. Retrieved from The World Integrated Trade Solution: https://wits.worldbank.org/CountryProfile/en/Country/CHN/Year/2019/TradeFlow/EXPIMP/Partner/by-country

Faizal Bagasworo adalah mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Staf Divisi Research and Analysis FPCI Chapter UMY. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @faizalbw

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *