Tarian dan Tangisan Anak Laki-Laki Afghanistan: Praktik Bacha Bazi Sebagai Pelanggaran HAM

0

Empat anak laki-laki sedang beristirahat di Kabul. Foto: The Washington Post

Women are for children, boys are for pleasure.”

“Perempuan berguna untuk menghasilkan dan membesarkan keturunan, sementara anak laki-laki adalah untuk bersenang-senang,’’ (Borile, 2019, p. 503). Meskipun terdengar janggal, masyarakat Afghanistan sudah familiar dengan kutipan itu; kutipan yang acap kali digaungkan untuk menjustifikasi rahasia umum negara tersebut—praktik bacha bazi. Tulisan ini akan mencoba menelusuri praktik tersebut dari kacamata Hak Asasi Manusia (HAM) dengan menganalisis bacha bazi sebagai suatu pelanggaran HAM, meninjau dilema perspektif universalitas versus relativisme kultural dalam menyikapinya, lalu menyorot situasi terkini praktik bacha bazi di bawah Taliban yang kembali berkuasa di Afghanistan.

Istilah “bacha bazi” berasal dari bahasa Persia yang berarti boy play (Somade, 2017). Diduga telah berlangsung selama ratusan tahun di Afghanistan dengan wilayah rural sebagai tempat bermulanya, bacha bazi kerap disebut sebagai kultur atau tradisi Afghanistan yang berkaitan dengan kelompok etnis Pashtun (Somade, 2017). Dalam bacha bazi, anak laki-laki berusia sekitar 9–18 tahun atau disebut juga dengan bacha bereesh yang berarti lelaki tanpa jenggot, dijadikan sebagai “penghibur” para pria dewasa (bacha baz) (Schut & van Baarle, 2017, p. 80). Anak-anak tersebut diminta bernyanyi dan menari secara sensual sambil mengenakan riasan wajah, pakaian, dan aksesoris yang biasa dikenakan perempuan di hadapan para pria dewasa dalam pesta-pesta privat (Schut & van Baarle, 2017, p. 80). Bacha bazi awalnya hanya ditemukan di wilayah utara Afghanistan (terutama di Provinsi Takhar), namun praktik tersebut berkembang pesat hingga merambah ke berbagai wilayah lain (Somade, 2017).

Diculik dari jalanan kota, “dijual” oleh keluarganya, atau menyerahkan dirinya sendiri secara terpaksa—itulah tipikal cerita bagaimana anak-anak bisa terjun ke gelapnya dunia bacha bazi. Dengan “dijanjikan” bantuan finansial umumnya menjadi alasan anak-anak tersebut untuk bertahan di dalamnya (AIHRC, 2014). Tuntutan untuk membantu menghidupi keluarganya yang miskin bersambut dengan kehadiran para pria yang bersedia membayarnya untuk menjadi boy toy-nya lalu menjebaknya dalam relasi master-slave. Ironisnya, para pria tersebut banyak berasal dari kalangan berpengaruh—elit pemerintah, pebisnis, hingga mantan panglima perang—dan bacha bazi merupakan wadah di mana mereka dapat unjuk kekuatan dan kekuasaan (Jones, 2015, p. 71). 

Menjadi master dari bacha bereesh yang dinilai berbakat dan atraktif adalah simbol status dan power para pria tersebut. Di tangan mereka, ratusan anak laki-laki menjadi korban objektifikasi dan kekerasan seksual, di mana upaya anak-anak untuk memberontak atau melarikan diri dapat dibalas dengan penyiksaan hingga pembunuhan (Somade, 2017). Secara luas, bacha bazi meliputi praktik penculikan, eksploitasi, dan penjualan anak; kekerasan fisik (terutama secara seksual); serta tentunya pedofilia dengan merenggut masa kecil anak-anak inosen yang sebelumnya sudah terpuruk oleh kemiskinan.

Secara historis, bacha bazi sempat dilarang pada masa Taliban (1996–2001) dengan jeratan hukuman mati sebagai konsekuensi legal (Martin & Shaheen, 2014, p. 193). Akan tetapi, praktik tersebut kembali marak pasca runtuhnya Taliban di tahun 2001, dan pemerintah Afghanistan sendiri baru mulai mengambil langkah tegas pada 2017 lalu melalui penetapan Criminal Code yang mengkriminalisasi bacha bazi secara spesifik (Shajjan, 2018), setelah di tahun 2016 Presiden Ashraf Ghani akhirnya memerintahkan pelaksanaan investigasi kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak, termasuk bacha bazi (Kine, 2017).

Respon pemerintah Afghanistan dalam menangani bacha bazi dapat dikatakan terlambat, terutama mengonsiderasi bahwa jauh sebelum itu, Afghanistan telah menunjukkan komitmennya untuk menegakkan HAM dan perlindungan terhadap anak-anak melalui segelintir instrumen HAM internasional. Di antaranya yakni: menyetujui Universal Declaration of Human Rights (UDHR); mengaksesi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada 1983 (United Nations Treaty Section, 2022) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) pada tahun yang sama (United Nations Treaty Section, 2022); serta menandatangani dan meratifikasi Convention on the Rights of the Child (1994) dan Optional Protocol of the Convention on the Rights of the Child on the sale of children, child prostitution and child pornography (2002) (United Nations Treaty Section, 2022). Sayangnya, law in action tidak selalu konsisten dengan law in the book. Jika berkaca pada kasus bacha bazi di Afghanistan, gap yang ditimbulkannya menciptakan ruang bagi pelanggaran HAM untuk terjadi.

Kasus Pelanggaran HAM

Lebih dari sebatas kriminalitas yang dilakukan oleh aktor individu, dari perspektif yang lebih luas, bacha bazi dapat dilihat sebagai kasus pelanggaran HAM ditinjau dari dua aspek fundamentalnya, yakni rights holder dan duty bearer.

Pertama, bacha bazi merupakan praktik yang melanggar HAM anak-anak sebagai rights holders. Convention on the Rights of the Child (CRC)—yang merupakan “turunan” dari UDHR, ICCPR, dan ICESCR dalam konteks khusus hak anak—beserta protokol opsionalnya, menjadi point of departure analisis tulisan ini. Dalam bacha bazi, menurut United Nations Treaty Section (2022), secara umum dapat ditemukan pelanggaran atas hak-hak yang meliputi dan tidak terbatas pada: hak anak untuk menikmati standar kehidupan yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial (Pasal 27 CRC); untuk beristirahat dan bersenang-senang dalam kegiatan yang sesuai usianya (Pasal 31 CRC); untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan membahayakan (Pasal 32 CRC); untuk dilindungi dari segala bentuk eksploitasi seksual dan kekerasan seksual (Pasal 34 CRC); serta untuk dilindungi dari penjualan, prostitusi, dan pornografi anak (Protokol Opsional).

Pelanggaran atau tidak terpenuhinya hak-hak di atas tentu berkaitan dengan kegagalan duty bearer dalam mengemban mandatnya. Dalam kasus ini, pemerintah Afghanistan yang mencakup state actors seperti militer dan kepolisian, merupakan duty bearer yang berkewajiban menghormati, memenuhi, dan melindungi HAM masyarakatnya, tak terkecuali anak-anak. Akan tetapi, untuk kurun waktu yang lama, tepatnya di antara keruntuhan Taliban pada 2001 dan dimulainya investigasi bacha bazi pada 2016; serta pada masa perang  Afghan–Soviet 1979-1989 ketika bacha bazi merajalela, ratusan atau bahkan ribuan korban bacha bazi berjatuhan tanpa mendapat keadilan (Borile, 2019). Padahal, ada titik-titik di mana linimasa tersebut bersinggungan dengan persetujuan, aksesi, hingga ratifikasi Afghanistan terhadap instrumen-instrumen HAM internasional, termasuk CRC dan protokol opsionalnya yang seharusnya dapat termanifestasikan  dalam penanganan tegas bacha bazi.

Pada kasus bacha bazi, pemerintah Afghanistan melakukan pelanggaran HAM melalui omisi dan komisi yang mengacu pada ‘failure to act’ atau gagalnya negara dalam memenuhi kewajiban legalnya untuk menindak aksi-aksi yang melanggar hak masyarakatnya, atau biasa pula dipahami sebagai “pembiaran” oleh negara (Soto & Gómez, 2015). Lebih dari menjadi state party instrumen HAM internasional, Afghanistan sesungguhnya telah memiliki hukum domestik yang melarang pemerkosaan dan pederasty (relasi seksual antara pria dewasa dan  anak-anak atau remaja laki-laki) pada Pasal 427 Criminal Law-nya (AIHRC, 2014). Kendatipun demikian, pada praktiknya, laporan Afghanistan Independent Human Rights Commission pada 2014 menemukan bahwa 89% pelaku bacha bazi (para pria dewasa yang terlibat) mengaku tidak pernah ditangkap oleh otoritas keamanan Afghanistan, dan 90% saksi juga menyatakan bahwa para pelaku bacha bazi yang mereka ketahui tidak pernah diproses secara hukum (AIHRC, 2014).

Temuan tersebut tidak mengherankan karena nyatanya di lapangan banyak personel keamanan dan penegak hukum yang justru melindungi praktik bacha bazi, persis seperti yang terekam dalam film dokumenter The Dancing Boys of Afghanistan, di mana Dastager, seorang mantan panglima perang Afghanistan, mengundang segerombol personel kepolisian untuk menjaga pesta bacha bazi yang digelarnya (Quraishi, 2010). Walaupun para pelaku bacha bazi akhirnya dapat terdeteksi oleh hukum Afghanistan, lagi-lagi kekuasaan dan koneksi yang dimiliki dapat membuat mereka menikmati impunitas. Pada skenario yang lebih parah, anak-anak korban bacha bazi justru menjadi pihak yang dihukum.

Omisi oleh pemerintah Afghanistan terhadap bacha bazi berkaitan erat dengan komisi yang dilakukannya. Komisi pada konteks ini merujuk pada aksi langsung state actors dalam melakukan pelanggaran HAM (Soto & Gómez, 2015). Di Afghanistan, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak personel militer dan polisi yang terlibat bacha bazi, baik yang menghadiri pesta-pesta bacha bazi, bahkan menjadi ‘pemilik’ bacha bereesh dan menyimpan anak-anak tersebut di markasnya (Goldstein, 2015). 

Di kalangan para gubernur, banyak di antara mereka yang secara terbuka menyimpan bacha bereesh dan bahkan saling memamerkannya (Jones, 2015, p. 71). Sehingga, ketika para duty bearer tersebut justru aktif melanggengkan bacha bazi, Afghanistan pun secara langsung dikatakan melanggar HAM anak-anak korban praktik tersebut. Aksi komisi itu pula yang memungkinkan omisi untuk terjadi. Sebab, bagaimana bisa Afghanistan menegakkan hukumnya dalam kasus ini apabila di antara penegak hukumnya sendiri banyak yang merupakan pelaku bacha bazi?

Hak asasi yang dimiliki anak-anak korban bacha bazi meliputi hak positif maupun hak negatif. Dalam penegakkan dan perlindungannya, dibutuhkan peran aktif otoritas untuk “bergerak” (seperti yang tercantum dalam pasal-pasal CRC), namun pada titik tertentu, agar hak tersebut terpenuhi, otoritas perlu membatasi dan menahan diri dari bertindak menggunakan kekerasan yang telah dimonopoli. Pada kasus bacha bazi, melalui omisi dan komisi yang dilakukan, hak positif dan negatif dari anak-anak tersebut dilalaikan pemerintah Afghanistan untuk waktu yang lama.

Dilema Perspektif Universalitas versus Relativisme Kultural 

Sebagai suatu praktik yang berakar dari tradisi etnik Pashtun dan dijustifikasi dengan kepercayaan kultural “women are for children, boys are for pleasure”, perbincangan mengenai bacha bazi dan HAM tentu tidak luput dari perdebatan universalitas versus relativisme kultural.

Secara sederhana, perspektif universalitas menekankan pada common standards of achievements dalam penegakan HAM, yakni pengakuan yang sama terhadap hak-hak yang terutama bersifat mendasar. Misalnya, hak untuk hidup dan hak untuk terbebas dari penyiksaan serta perlakuan merendahkan. Walau demikian, menurut perspektif universalitas, common standards of achievements tersebut dapat diraih menggunakan cara-cara yang berbeda alih-alih cara yang harus diterima secara global atau secara istilah dapat dikatakan dengan “universal rights, not identical practices” (Donnelly, 2007, p. 298). 

Sementara itu, perspektif relativisme kultural cenderung memandang HAM sebagai sesuatu yang relatif, di mana kultur yang berbeda dapat memiliki interpretasi dan standar yang berbeda terhadap HAM. Alih-alih berorientasi pada common standards, relativisme kultural, pada versi ekstremnya, dapat berasumsi bahwa setiap kultur memiliki “HAM tersendiri” ala mereka.

Benturan antara dua perspektif di atas mendominasi linimasa kasus bacha bazi pada era 2000-an. Pendudukan Amerika Serikat dan militer negara-negara Barat lainnya di Afghanistan sejak 2001 membuat mereka terekspos melalui bacha bazi, terutama karena banyak personel kepolisian dan militer Afghanistan—alias aliansinya dalam melawan Taliban—merupakan pelaku bacha bazi. Militer Barat pun tak jarang bersinggungan langsung dengan praktik bacha bazi dengan mengonsiderasi bahwa pada saat itu para personel Afghanistan justru kerap memamerkan bacha bereesh-nya dan melakukan kekerasan seksual terhadap mereka di markas aliansi (Chopra, 2017). Dengan mata dan telinganya sendiri, personel militer Barat terpapar sangat dekat dengan bacha bazi. Sayangnya, mereka cenderung memilih atau diperintah untuk mengabaikannya.

Amerika Serikat, sebagai aktor yang dominan, justru memilih bersikap orientalis dengan kedok relativisme kultural untuk menyikapi bacha bazi. Meskipun selalu mengagung-agungkan soal kebebasan dan HAM, doktrin non-intervensionis kental mewarnai kelompok militernya yang bertugas di Afghanistan. “Look the other way, it’s their culture,” menjadi template perintah yang digaungkan dalam satuan militer AS ketika mereka bersinggungan dengan bacha bazi (Goldstein, 2015). Pada 2015, seorang Komandan Special Forces AS di Afghanistan Dan Quinn, bahkan dicopot dari jabatannya setelah menyerang komandan militer Afghanistan yang tertangkap telah merantai seorang anak laki-laki di kasurnya untuk dijadikan budak seks (Goldstein, 2015). Dalam standar HAM ala AS, bacha bazi jelas merupakan pelanggaran HAM. Akan tetapi, kacamata relativisme kultural yang digunakan membuat otoritas AS berasumsi bahwa dalam standar HAM Afghanistan, bacha bazi adalah kultur yang tidak melanggar HAM.

Elemen kultur memang tidak bisa dilepaskan dari bacha bazi, namun menggunakan justifikasi relativisme kultural untuk membiarkannya terjadi bukanlah stance yang bijaksana. Tidak semua kultur pantas untuk dihormati dan dilestarikan, terutama jika kultur tersebut merenggut hak-hak dasar dan membahayakan rights holders. Perspektif HAM yang “universal” lebih pantas digunakan untuk memandang dan menyikapi bacha bazi. Common standards of achievements dalam penegakan hak-hak anak yang berorientasi pada instrumen HAM internasional seperti CRC sudah seharusnya menjadi orientasi semua negara. Di tengah keberagaman nilai hingga perbedaan cara untuk mencapai common standards tersebut, harus disepakati bahwa pedofilia dan kekerasan seksual terhadap anak-anak tidak dapat menjadi hal yang dapat dibenarkan.

Bacha Bazi dalam Kembalinya Taliban ke Tampuk Kekuasaan Afghanistan

Menghentikan bacha bazi berarti menghentikan praktik pelanggaran HAM yang telah berlangsung lintas generasi hingga mengalami normalisasi. Sebelum solusi-solusi praktikal bisa dirumuskan, dibutuhkan infrastruktur yang kuat sebagai pondasinya; yang dapat memfasilitasi deliberasi untuk menyepakati HAM korban bacha bazi dan urgensi untuk memenuhinya. Melalui institusi yang telah direformasi, Afghanistan kemudian dapat pula berproses menangani isu-isu penyokong fenomena “gunung es” bacha bazi, seperti kemiskinan dan kekerasan kultural.

Akan tetapi, dengan kembali berkuasanya Taliban di Afghanistan sejak Agustus 2021 lalu, harapan mengenai penanganan bacha bazi yang lebih baik oleh pemerintah nampaknya menjadi semakin pupus. Taliban yang pernah secara tegas melarang bacha bazi melalui hukum syariah di Afghanistan, bahkan menghukum pelakunya dengan hukuman mati ketika memerintah pada 1996-2001, kini justru terang-terangan mengeksploitasi anak laki-laki secara seksual. Pada 24 September 2021, Kabul Magazine melalui laman Facebook-nya mengunggah cuplikan video seorang anak laki-laki yang berlenggak-lenggok dengan dikelilingi para pria pembawa senjata yang diduga merupakan para anggota Taliban, di mana mereka juga meraba-raba tubuh penari berusia belia tersebut di sela-sela aksinya (Bailey & Escobar, 2022). 

Foto-foto dari berbagai sumber serta pengakuan saksi mata yang kian marak muncul sejak 2020 hingga 2022 ini pun turut memperkuat fakta keterlibatan Taliban dalam praktik bacha bazi sebagai pelaku (Bailey & Escobar, 2022). Terlebih, semenjak kembali menduduki kursi pemerintahan Afghanistan, Taliban belum mengeluarkan pernyataan resmi apapun mengenai posisinya terhadap bacha bazi (Bailey & Escobar, 2022).

Kesimpulan

Bacha bazi adalah pelanggaran HAM berupa kekerasan terhadap anak-anak yang harus dipandang melalui lensa universal, alih-alih dijustifikasi dengan dalih relativisme kultural. Ketika institusi internal di Afghanistan tak lagi bisa diharapkan, menjadi penting bagi komunitas internasional tidak tutup mata. Di tengah berbagai perhatian global yang tertuju pada Afghanistan setelah kembali dikuasai Taliban, bacha bazi menjadi aspek yang tidak boleh dikesampingkan. Masih ada tangisan di balik tarian anak-anak yang membutuhkan bantuan; anak-anak yang berhak diselamatkan dan masih berkesempatan atas masa depan.

Referensi

AIHRC. (2014). Causes and Consequences of Bacha Bazi in Afghanistan. Afghanistan: Afghanistan Independent Human Rights Commission.

Bailey, B., & Escobar, L. (2022, July 25). Photos, video, and testimony suggest that the Taliban are sexually exploiting young boys. Retrieved October 22, 2022, from Washington Examiner: https://www.washingtonexaminer.com/opinion/photos-video-and-testimony-suggest-that-the-taliban-are-sexually-exploiting-young-boys 

Borile, S. (2019). Bacha Bazi: cultural norms and violence against poor children in Afghanistan. International Review of Sociology, 29(3), 498-507.

Chopra, A. (2017, July 18). Afghan soldiers are using boys as sex slaves, and the U.S. is looking the other way. Retrieved October 22, 2022, from The Washington Post: https://www.washingtonpost.com/news/global-opinions/wp/2017/07/18/afghan-soldiers-are-using-boys-as-sex-slaves-and-the-u-s-is-looking-the-other-way/ 

Donnelly, J. (2007). The Relative Universality of Human Rights. Human Rights Quarterly, 29 (2), 281-306.

Goldstein, J. (2015, September 20). U.S. Soldiers Told to Ignore Sexual Abuse of Boys by Afghan Allies. Retrieved October 19, 2022, from The New York Times: https://www.nytimes.com/2015/09/21/world/asia/us-soldiers-told-to-ignore-afghan-allies-abuse-of-boys.html 

Jones, S. V. (2015). Ending Bacha Bazi: Boy Sex Slavery and the Responsibility to Protect Doctrine . Indiana International & Comparative Law Review, 25 (1), 63-78.

Kine, P. (2017, August 2). Afghanistan’s Child Sexual Abuse Complicity Problem. Retrieved October 10, 2022, from Human Rights Watch: https://www.hrw.org/news/2017/08/02/afghanistans-child-sexual-abuse-complicity-problem 

Martin, L., & Shaheen, M. (2014). Crime or Culture: The revival of slave boys in Afghanistan; a UK perspective. Criminal Law & Justice Weekly, 178, 193-195.

Quraishi, N. (Director). (2010). The Dancing Boys of Afghanistan [Motion Picture].

Schut, M., & van Baarle, E. (2017). Dancing boys and the moral dilemmas of military missions; the practice of bacha bazi in Afghanistan. In A. B. Bah, International Security and Peacebuilding: Africa, the Middle East, and Europe (pp. 77-98). Bloomington: Indiana University Press.

Shajjan, S. J. (2018, January 24). The revised Afghanistan criminal code: and end for Bacha Bazi? Retrieved October 18, 2022, from South Asia @ LSE: https://blogs.lse.ac.uk/southasia/2018/01/24/the-revised-afghanistan-criminal-code-an-end-for-bacha-bazi/ 

Somade, J. E. (2017, August 18). Bacha bazi: Afghanistan’s darkest secret. Retrieved October 19, 2022, from Bright Blue Human Rights Organization: https://humanrights.brightblue.org.uk/blog-1/2017/8/18/bacha-bazi-afghanistans-darkest-secret 

Soto, M. B., & Gómez, A. (2015). An approach to the state responsibility by an omission in The Inter–American Court of Human Rights Jurisprudence. Rev. Rev. CES Derecho, 6(1), 3-17.

United Nations Treaty Section. (2022, October 26). Status of Treaties: Convention on the Rights of the Child. Retrieved October 26, 2022, from United Nations Treaty Collection: https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-11&chapter=4&clang=_en#EndDec 

United Nations Treaty Section. (2022, October 26). Status of Treaties: International Covenant on Civil and Political Rights. Retrieved October 26, 2022, from United Nations Treaty Collection: https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-4&chapter=4&clang=_en 

United Nations Treaty Section. (2022, October 25). Status of Treaties: International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. Retrieved October 26, 2022, from United Nations Treaty Collection: https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-3&chapter=4&clang=_en 

Maurizka Callista Chairunnisa merupakan lulusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @mauriz.ka

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *