Tianxia: Usaha Tiongkok Memperkenalkan Sistem dan Tatanan Internasional Baru

0

Ilustrasi situs kebudayaan Tiongkok. Foto: pixabay.com.

Pada tahun 2005, Zhao Tingyang mengenalkan kembali dan memodernisasi sebuah konsep sistem dan tatanan internasional yang bernama Tianxia (天下)yang berarti All-under-Heaven. Dalam filosofi, budaya, dan tradisi Tiongkok, Tianxia merupakan sebuah konsep yang luas, yang mencakup wilayah geografis bumi secara keseluruhan, kehendak atau general will(民心), serta kedaulatan politik (Xu, 2014). Proposisi utama yang diajukan oleh Zhao dalam sistem Tianxia adalah prinsip world-ness yang mampu melampaui prinsip internasionalitas. Zhao mendefinisikan Tianxia sebagai sebuah sistem dunia yang universal, sehingga berbeda dari konsep imperium militer tradisional seperti Kekaisaran Roma, maupun sistem imperialisme negara-bangsa seperti yang dilakukan Inggris. Tianxia masih mengadopsi istilah imperium (empire), namun imperium Tianxia berbentuk dalam sebuah dunia institusional yang menekankan adanya masyarakat dunia (world society), ketimbang negara-bangsa (Zhao, 2006). 

Konsep Inti Tianxia

Terdapat dua konsep yang perlu dipahami dalam Tianxia, pertama yaitu konsep Son of Heaven (天子) yang berarti seorang pemimpin. Seseorang yang berperan sebagai pemimpin merupakan individu yang telah menerima takdir sebagai pemimpin atau Mandate of Heaven (天命). Namun dalam Tianxia, pemimpin tersebut harus mendapat pengakuan atau legitimasi dari masyarakat agar mampu menjustifikasi otoritasnya sebagai pemimpin.

Zhao berargumen bahwa pemimpin atau Son of Heaven memiliki tiga karakteristik. Pertama, Son of Heaven mendapatkan legitimasi politik yang bebas dari batasan ideologi maupun agama. Kedua, dengan bebasnya pemilihan pemimpin dari batasan ideologi maupun agama, siapapun dapat menjadi pemimpin apabila orang tersebut memiliki pengetahuan (道) yang dapat digunakan untuk mencapai kebahagiaan masyarakat. Ketiga, pemimpin tidak bersifat absolut dan bukan merupakan pemerintahan kediktatoran (Zhao, 2006). Dalam kebanyakan sejarah dinasti-dinasti Tiongkok, pemimpin yang bersifat otoriter justru kehilangan legitimasi atau Mandate of Heaven. Dengan demikian, konsep pemimpin dalam Tianxia adalah individu yang mampu mempertahankan legitimasinya berdasarkan kemampuannya untuk menyejahterakan rakyatnya. 

Konsep kedua yang perlu dipahami adalah filosofi family-ship atau kekeluargaan. Penekanan konsep kekeluargaan didasari alasan bahwa keluarga merupakan simbol harmoni, kasih sayang, dan adanya kewajiban yang harus dipenuhi. Untuk mencapai keteraturan politik, diperlukan adanya konsistensi politik dan etika serta adanya transitivity atau kemampuan untuk mengenali berbagai hubungan dalam masyarakat. Tatanan politik yang efektif seharusnya bermula dari Tianxia, negara, lalu keluarga. Sebaliknya, tatanan etik harus dimulai dari keluarga, negara, kemudian Tianxia. Dengan demikian, sistem Tianxia merupakan sistem keluarga terbesar dalam skala dunia yang berfungsi untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan anggotanya. Hal yang bersifat merusak kerukunan keluarga besar tidak dapat diterima secara politis (Xu, 2014). Secara sederhana, keharmonisan dan keteraturan dunia dapat dicapai apabila dunia diatur oleh institusi tertinggi dunia yang mengadopsi nilai-nilai kekeluargaan (Zhao, 2006).

Dasar Hubungan Internasional menurut Tianxia

Konsep kekeluargaan ini kemudian juga dijadikan dasar pembentukan hubungan antaraktor dalam hubungan internasional. Dalam sejarah tradisional Tiongkok, terdapat sistem tributary yang merupakan sistem pengaturan hubungan diplomatik pada masa Dinasti Qin (221 SM) hingga akhir Dinasti Qing (1911). Dinasti atau negara lain yang ingin melakukan hubungan diplomatik maupun hubungan dagang dengan dinasti-dinasti di Tiongkok harus memberikan hadiah sebagai simbol penghormatan dan kesediaannya untuk mematuhi hukum di Tiongkok. Sistem ini kemudian dikembangkan menjadi voluntary tributary system yang menekankan kesukarelaan negara lain untuk menjalin hubungan diplomatik dengan dinasti di Tiongkok. Dalam Tianxia, kesukarelaan merupakan nilai terpenting dalam menjalin hubungan antarnegara. Dengan adanya kesukarelaan, dua pihak yang berhubungan memiliki kesadaran untuk saling menghormati dan melaksanakan hubungan secara heart-to-heart. Hubungan heart-to-heart inilah yang menghasilkan hubungan timbal balik yang lebih harmonis daripada sekadar hubungan interest-for-interests (Zhao, 2006). Zhao menegaskan bahwa hubungan yang hanya dilandasi oleh pemenuhan kepentingan tanpa adanya ketulusan akan menghilangkan nilai kemanusiaan, harmoni, dan rasa hormat terhadap pihak lain. 

Perbedaan antara Tianxia dan Tatanan Dunia Barat

Berdasarkan dua konsep inti Tianxia, dapat diambil perbedaan mendasar antara sistem tersebut dengan sistem internasional Barat yang telah mendominasi perspektif, studi, dan praktik hubungan internasional. Pertama, dalam menentukan pemimpin, Zhao berpendapat bahwa pemilihan pemimpin dalam Tianxia lebih baik daripada sistem demokrasi. Legitimasi yang didasari oleh kehendak (general will) dari masyarakat akan mampu merefleksikan ketersediaan rakyat untuk dipimpin oleh individu yang dianggap memiliki kualifikasi dalam memimpin. Zhao menyatakan bahwa sistem demokrasi telah melencengkan pikiran serta menghilangkan nilai-nilai kebajikan yang ada. Hal ini dilandasi fakta bahwa pemilihan umum dalam demokrasi sering kali diwarnai oleh praktik kecurangan, politik uang, propaganda media, dan suara yang terdistorsi (Zhao, 2006). Dalam Tianxia, pemimpin harus diobservasi berdasarkan tren sosial atau preferensi masyarakat, dengan demikian rakyat akan mampu menilai secara obyektif apakah kandidat tersebut mampu melaksanakan pemenuhan tugas sesuai kehendak rakyat. 

Kedua, Zhao berpendapat bahwa dunia saat ini belum mencapai tingkatan world-ness dan masih dalam kondisi yang disebut oleh Thomas Hobbes sebagai kekacauan. Permasalahan yang terjadi di dunia bukanlah berasal dari negara yang gagal, namun merupakan kegagalan sistemik yang berasal dari sistem dunia tanpa filosofi politik dan prinsip dasar sehingga menyebabkan ketidakaturan.

Zhao menyatakan bahwa unit politik terbesar dalam teori politik Barat adalah negara-bangsa. Hal inilah yang justru semakin menekankan perbedaan antarnegara sehingga konflik mudah terjadi. Sementara itu, Tianxia menyatakan bahwa unit politik terbesar seharusnya adalah sebuah institusi dunia yang bekerja untuk masyarakat dunia sehingga manusia akan berusaha untuk mencapai harmoni dan kerja sama yang baik (Xu, 2014). Adapun perbedaan yang ada di dunia harus dihormati untuk mencapai nilai kemanusiaan. Menurut Zhao, prinsip kemanusiaan Barat dilihat dari sudut pandang yang subyektif, sehingga memunculkan imperialisme dan pemaksaan oleh kelompok yang memiliki persepsi kemanusiaan atau moralitas yang dianggap superior. Sementara itu, Tianxia melihat nilai kemanusiaan dari eyes of other-ness sehingga mampu memahami sudut pandang individu maupun kelompok yang berbeda.  

Relevansi Tianxia pada Dinamika Hubungan Internasional Kontemporer

Relevansi sistem Tianxia diuraikan oleh Zhao dalam studi kasus kegagalan PBB untuk menangani konflik-konflik internasional. Alih-alih menjadi institusi yang bertujuan menjamin kesejahteraan anggotanya, PBB justru berperan sebagai political market bagi anggotanya. Political market ini digunakan negara-negara adidaya sebagai ajang untuk memaksimalkan kepentingannya. Hal ini berimplikasi pada persaingan negara-negara untuk menjadi yang terkuat. Berbeda dengan PBB, Zhao berpendapat bahwa institusi yang dibentuk oleh Tianxia merupakan masyarakat dunia yang harmonis serta menoleransi perbedaan. Zhao kemudian mengambil Uni Eropa sebagai model institusi regional yang mampu membawa persatuan dan harmoni di wilayahnya. Namun model tersebut belum sempurna karena hanya berlaku di satu wilayah tertentu saja (Zhao, 2006).

Konsep Tianxia ini bahkan digunakan oleh pemerintah Tiongkok untuk mempromosikan visi Community of Common Destiny. Visi yang diutarakan oleh Xi Jinping pada United Nations General Assembly 2015 ini bertujuan untuk menciptakan dunia yang harmonis di tengah-tengah globalisasi. Salah satu manifestasi dari visi Community of Common Destiny adalah proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang bertujuan untuk membangun infrastruktur, hubungan dagang, dan finansial yang menghubungkan Tiongkok dengan Asia, Afrika, dan Eropa. Xi Jinping juga menyatakan bahwa dengan dilandasi konsep Tianxia, visi Community of Common Destiny berperan dalam membangun hubungan yang inklusif tanpa membedakan status perkembangan negara lain (Tobin, 2020). 

Kritik terhadap Tianxia

Seperti kebanyakan teori alternatif dalam Studi Hubungan Internasional, proposisi Tianxia juga banyak menerima kritik. Pertama, Zhao dianggap hanya menyoroti sumber literatur klasik yang sependapat dengan argumennya. Hal ini juga secara tidak langsung menjadikan argumen Zhao seakan-akan mengadu kebudayaan Tiongkok dan Barat. Kritikus menyatakan bahwa proposisi tersebut bersifat China-centric. Namun Zhao membela dengan menyatakan bahwa asumsi tersebut dapat muncul karena proposisi tersebut muncul beriringan dengan bangkitnya Tiongkok dalam percaturan internasional. Zhao juga menegaskan bahwa Tianxia bukanlah sebuah “Chinese system”, melainkan usaha untuk mengenalkan budaya dan filosofi Tiongkok dalam sistem internasional (Xu, 2014). 

Simpulan

Sebagai sebuah proposisi baru dalam hubungan internasional, Tianxia muncul dengan mengkritisi sistem internasional yang disebutnya sebagai sistem tanpa landasan filosofi. Tianxia memiliki dua konsep utama yaitu Son of Heaven sebagai bentuk kepemimpinan yang dilegitimasi oleh kehendak masyarakat. Hal ini kontra dengan sistem demokrasi Barat yang menggunakan pemungutan suara. Tianxia menyesalkan kotornya praktik demokrasi, menurut Zhao, pemilihan berdasarkan observasi kelayakan dan kehendak rakyat akan menghasilkan pemimpin yang jauh lebih berkualitas. Konsep kedua berkaitan dengan family-ship yang bertujuan untuk menciptakan dunia sebagai keluarga besar yang harmonis. Pembaharuan yang ingin diciptakan melalui model Tianxia merupakan grand framework yang bertujuan untuk menciptakan sistem internasional yang dilandasi sebuah prinsip moral dan filosofi. Konsep ini bahkan digunakan oleh Xi Jinping sebagai landasan visinya untuk memperkuat Tiongkok di ranah internasional. Dunia yang diinginkan Tianxia adalah dunia yang harmonis, diatur oleh institusi dunia yang bekerja untuk kesejahteraan dan kepentingan masyarakat dunia, serta menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. 

Himmalia Dewi Alya Rahmah adalah mahasiswa program sarjana Hubungan Internasional Universitas Airlangga. Himma memiliki ketertarikan pada isu-isu keamanan, budaya, dan sejarah Asia Timur. Dapat ditemui di media sosialnya @himma.r (Instagram).

Referensi

Tobin, Daniel. 2020 “How Xi Jinping’s ‘New Era’ Should Have Ended U.S. Debate on Beijing’s Ambition” dalam Center for Strategic & International Studies [Daring]. Tersedia dalam https://www.csis.org/analysis/how-xi-jinpings- new-era-should-have-ended-us-debate-beijings-ambitions [Diakses pada 3 Juni 2020].

Xu, Bijun. 2014. “Is Zhao’s Tianxia System Misunderstood?” dalam Tsinghua China Law Review Vol. 6, No. 95.Zhao, Tingyang. 2006. “Rethinking Empire from a Chinese Concept ‘All-under- Heaven (Tian-xia, 天下)” dalam Social Identities, Vol. 12, No. 1. Routledge.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *