Modernisasi Semenanjung Kola: Strategi Perimbangan Kekuatan oleh Rusia terhadap Amerika Serikat dan NATO

0

Ilustrasi simbol Rusia. Foto: pixabay.com.

Rusia dilaporkan telah menyelesaikan pemasangan sebuah radar Rezonans-N yang mampu mendeteksi target hipersonik di Semenanjung Kola bulan Februari silam (TASS, 2020). Selain pemasangan radar, Rusia membuka kembali pangkalan militer era Uni Soviet, membangun instalasi militer baru, dan meningkatkan jumlah personel militer di semenanjung yang berlokasi di antara Kutub Utara dan Atlantik Utara tersebut. Peningkatan aktivitas Rusia di kawasan Arktik pasca-Perang Dingin dapat dipersepsikan sebagai tindakan agresif oleh Amerika Serikat (AS) dan NATO. Tulisan ini akan menyoroti konsep keamanan internasional dalam kacamata realisme serta mendiskusikan modernisasi Semenanjung Kola sebagai strategi perimbangan kekuatan Rusia melalui tiga argumen yang meliputi pembangunan deterensi nuklir, pertunjukan kapasitas militer Rusia, dan penghidupan kembali status Rusia sebagai kekuatan internasional.

Sesuai dengan pandangan realisme, keamanan internasional bergantung pada negara selaku aktor utama politik internasional. Dalam struktur internasional yang anarkis, ketiadaan aturan yang mampu mengendalikan perilaku negara dalam mencapai kepentingan nasional memicu pemikiran bahwa sebuah negara merupakan sumber ancaman utama bagi negara lain. Akan tetapi, kekuatan ekonomi dan ideasional kurang relevan sebagai alat koersi untuk mengubah perilaku negara lain sekaligus mengimbangi kekuatan lawan, sehingga setiap negara harus menggunakan kekuatan mereka — khususnya kekuatan militer dan sumber daya material — secara mandiri guna mempertahankan kesintasan masing-masing (Malik dkk., 2015, hal. 17). Perbedaan posisi negara dalam struktur internasional menyebabkan perbedaan tujuan penggunaan kekuatan militer, sebagai contoh, menyerang musuh, menangkal kemungkinan serangan musuh, mempertahankan diri, dan/atau memperoleh keuntungan di bidang lainnya.

Pembangunan Deterensi Nuklir

Pertama, Semenanjung Kola memiliki nilai militer yang strategis dalam pembangunan deterensi nuklir terhadap kekuatan Barat. Dari sudut pandang geopolitik, Semenanjung Kola mempunyai perairan bebas air yang relatif tertutup — menyulitkan musuh untuk mendeteksi serangan Armada Utara Rusia — serta lokasi yang jauh dari perkotaan sehingga Rusia mampu membangun fasilitas nuklir yang memproduksi bahan bakar kapal selam. Armada Utara Rusia — mewakili sekitar dua pertiga dari kekuatan angkatan laut Rusia — memiliki sejumlah kapal selam nuklir yang dipersenjatai rudal balistik (Roi, 2010, hal. 564). Nampaknya, kesatuan tersebut dinilai krusial bagi pertahanan wilayah laut Rusia, khususnya sebagai kekuatan deterensi nuklir sehingga pemerintah Rusia masih memberi dukungan finansial kepada Armada Utara secara signifikan kendati diterpa krisis ekonomi pada tahun 1990-an. Oleh karena itu, Semenanjung Kola memiliki peran strategis, menjadi lokasi pangkalan utama bagi senjata nuklir berbasis laut Rusia sekaligus tulang punggung keamanan nasional Rusia sekalipun Uni Soviet runtuh.

Konsep deterensi nuklir tersebut berbeda dengan Angkatan Laut AS yang cenderung menempatkan kapal selam balistik nuklirnya jauh dari pusat komando armada tertentu dan tidak terlindungi secara geografis — mengingat AS terpisah oleh dua samudra, yaitu Pasifik dan Atlantik. Kapal-kapal selam AS cenderung berlayar sendirian di laut lepas guna menebar teror. Kondisi ini tentu saja membuat kapal selam balistik nuklir AS lebih terekspos ketika melakukan operasi, khususnya dalam menciptakan deterensi nuklir. Secara geopolitik, Rusia memiliki keunggulan tersendiri, terutama apabila menyangkut kepentingan mereka di Arktik. Alih-alih menunjukkan kemampuan kapal selamnya secara eksplisit seperti AS, Rusia lebih memilih untuk memodernisasi rudal balistik serta kapal selam yang mampu melindunginya, dan para pelaut dapat beroperasi di dekat atau di bawah lapisan es tanpa terusik, mengingat kehadiran Armada Utara Rusia di sana. Wilayah perairan Semenanjung Kola yang tertutup dapat membuat Armada Utara Rusia tetap terlindungi, kendati wilayah strategis Rusia lainnya telah jatuh ke tangan musuh, di mana Rusia dapat menciptakan “benteng” bagi armada tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, upaya modernisasi Semenanjung Kola jelas menjadi tindakan untuk meningkatkan efek deterensi nuklirnya sambil tetap meningkatkan jaminan pertahanan di kawasan tersebut.

Di samping itu, penarikan diri Rusia dari Kesepakatan Senjata Nuklir Jarak Menengah (INF) pada tanggal 2 Februari 2019 tentu membuat negara tersebut semakin leluasa untuk menciptakan efek deterensi senjata nuklir di seluruh wilayahnya (RT International, 2020). Terlebih, senjata nuklir berbasis peluncuran di laut tidak terpengaruh Kesepakatan INF sehingga Rusia memperoleh keuntungan ganda jika melakukan retaliasi berupa kemampuan untuk menempatkan senjata nuklir berbasis darat dan laut sekaligus di semenanjung ini. Ditambah lagi, sebagaimana dijelaskan di atas, Rusia telah membuka kembali pangkalan-pangkalan militer lamanya di Semenanjung Kola untuk memperoleh dukungan terhadap kapasitas ofensif dalam operasi retaliasi apabila diperlukan. Bukan tidak mungkin apabila rudal-rudal nuklir balistik terbaru Rusia — semisal RS-24 Yars dan RS-26 Rubezh — dapat ditempatkan di Semenanjung Kola.

Pertunjukan Kapasitas Militer Rusia

Kedua, pembangunan sejumlah alutsista (alat utama sistem pertahanan) di Semenanjung Kola jelas adalah tindakan Rusia untuk mempertontonkan kemampuan militernya. Rusia merupakan kekuatan militer terbesar kedua di dunia (Global Fire Power, 2020). Namun, dalam dua dasawarsa terakhir, Negeri Beruang Merah ini cenderung tenang dan tidak seagresif negara-negara Barat dalam mekanisme perimbangan kekuatan, khususnya dalam menunjukkan kapabilitas militernya. Kondisi ini didukung oleh krisis ekonomi yang mendera negara tersebut. Apabila perekonomian nasional berangsur membaik, Rusia secara praktis dapat meningkatkan anggaran pertahanannya serta mendorong peningkatan kekuatan militernya. Industri militer Rusia mengalami kebangkitan signifikan, terutama sejak Vladimir Putin menunjuk Sergey Shoigu — seorang mantan industrialis militer — sebagai Menteri Pertahanan Rusia di tahun 2012 (De La Pedraja, 2018, hal. 311). Sejumlah proyek penciptaan alutsista baru dimulai, termasuk di antaranya adalah kapal selam balistik Knyaz Vladimir (K-549) yang rencananya menjadi tulang punggung baru Armada Utara mulai tahun 2020 (TASS, 2020). Dengan kebangkitan tersebut, militer Rusia yang lama dipandang kuno — dalam kasus ini, masih berbau Uni Soviet dan kalah secara perkembangan teknologi dibanding kekuatan Barat — perlahan terkikis.

Sehubungan dengan asumsi dasar Realisme, tindakan Rusia untuk mempertontonkan kekuatan militernya di Semenanjung Kola dinilai wajar seiring dengan intensifikasi operasi NATO di kawasan Eropa Timur. Apalagi, pasca-Konflik Semenanjung Krimea tahun 2014, NATO meningkatkan kewaspadaan terhadap pertahanan wilayah Eropa secara eksplisit (De La Pedraja, 2018, hal. 324) melalui militerisasi kawasan Baltik — dalam bentuk operasi udara — sebagai bentuk antisipasi serangan mendadak Rusia (NATO, 2020).

Merespons tindakan NATO di Eropa Timur, Rusia melakukan perimbangan kekuasaan terhadap aliansi keamanan Barat tersebut dengan memodernisasi Semenanjung Kola. Justifikasi atas tindakan Rusia memiliterisasi Semenanjung Kola adalah upaya perluasan pengaruh NATO di kawasan Eropa Timur, terutama dengan bergabungnya bekas negara-negara Pakta Warsawa — sebagai contoh, Polandia, Ceko, dan negara-negara Baltik. Dengan demikian, Rusia memiliki urgensi untuk meningkatkan kewaspadaan secara militer seiring dengan meningkatnya ancaman keamanan dari NATO.

Selain itu, NATO juga meningkatkan operasi militernya di Norwegia yang secara langsung berbatasan dengan Rusia. Pada minggu kedua Mei 2020, Armada Utara Rusia memantau penggunaan kapal perusak rudal dalam latihan peperangan antikapal selam antara AS dan Inggris di Laut Barents, berbatasan secara langsung dengan Semenanjung Kola dan perairan teritorial Norwegia (Abbasova, 2020).

Tidak hanya sebatas mengizinkan dua sekutunya untuk berlatih di wilayah perairannya, Norwegia juga memiliki angkatan laut yang mengelola pangkalan kapal selam di Haakonsvern. Pangkalan ini berjarak kurang dari 5.000 km dari perbatasan Rusia dan dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu oleh negara-negara NATO. Peningkatan aktivitas NATO serta kedekatan geografis salah satu anggotanya memunculkan ancaman tersendiri bagi keamanan nasional sehingga Rusia melanjutkan pemasangan radar Rezonans-N kedua — diprediksi selesai akhir tahun ini — guna menambah kapasitas ofensif Semenanjung Kola (TASS, 2020). Maka dari itu, modernisasi Semenanjung Kola merupakan efek dari politik internasional yang menjadi arena perebutan kekuasaan antara Rusia dengan AS dan NATO. 

Penghidupan Kembali Status Rusia sebagai Kekuatan Besar Internasional 

Ketiga, masih berhubungan dengan poin kedua, pertunjukan militer Rusia tersebut menjadi sinyal bahwa Rusia tak lagi menjadi negara yang “lemah” secara militer. Semula, kemampuan militer Rusia era Soviet dapat dikomparasikan dengan hal serupa milik AS. Pada dasawarsa 1960-an, Uni Soviet dan AS mengembangkan tiga moda senjata nuklir, meliputi rudal balistik antarbenua (ICBM) berbasis darat, rudal balistik berbasis kapal selam (SLBM), dan pesawat pengebom berat dengan senjata nuklir. Bahkan, persenjataan Uni Soviet pada masa pemerintahan Brezhnev yang terakhir — mulai tahun 1972 sampai 1981 — lebih unggul secara kuantitatif, dengan Uni Soviet memproduksi 2.250 ICBM dan 1.875 SLBM, sementara AS menghasilkan 510 ICBM dan 415 SLBM (Zaloga, 2014). Namun, keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1991 diiringi dengan penurunan kapabilitas militernya, meninggalkan persenjataan berbasis laut sebagai deteren utama Rusia sekaligus tulang punggung bagi keamanan nasionalnya.

Pascakeruntuhan Uni Soviet, AS bukanlah ancaman tunggal bagi pertahanan dan keamanan nasional Rusia. Di satu sisi, AS dan NATO melakukan ekspansi militer secara gencar seiring dengan meningkatnya jumlah konflik yang berkaitan dengan kepentingan setiap negara anggotanya. Di sisi lain, Tiongkok terus membangun kekuatan militernya baik secara intensif maupun secara ekstensif, terutama dalam penguasaan terhadap Laut Tiongkok Selatan yang tak kunjung selesai. Tentunya, Rusia tidak ingin kehilangan predikatnya sebagai kekuatan besar dunia, sehingga militerisasi menjadi jawaban atas persoalan tersebut. Kondisi ini juga didukung dengan masuknya Rusia sebagai pemain krusial dalam Perang Saudara Suriah sejak tahun 2016, menegaskan bahwa Rusia tidak lagi menjadi “pemain pasif” dalam penerjunan personel militer. Perlu diketahui bahwa sejak pembubaran Uni Soviet sampai tahun 2016, Rusia baru sekali menerjunkan militernya di luar negeri, yaitu dalam Perang Ossetia Selatan di Georgia pada tahun 2008.

Semenanjung Kola dan kawasan Arktik memiliki nilai krusial terhadap kemampuan proyeksi kekuatan militer Rusia. Pembukaan kembali pangkalan militer lama, pembangunan instalasi militer baru, dan peningkatan kehadiran personel militer dalam Semenanjung Kola tidak sekadar mencerminkan kapasitas defensif dan ofensif Rusia; modernisasi Semenanjung Kola merupakan bentuk tindakan swaggering, yaitu mempertontonkan peralatan militer untuk meningkatkan citranya di tingkat nasional dan internasional (Lanteigne, 2020). Sebagai kekuatan militer non-Barat terbesar di dunia, Rusia hendak menunjukkan bahwa militer nasionalnya memiliki peralatan militer berkelas dunia. Swaggering mampu mempengaruhi cara pandang kekuatan militer dunia — tidak hanya AS dan NATO — terhadap signifikansi dan penampilan militer Rusia. Sekalipun modernisasi Semenanjung Kola dipandang mampu memicu perang secara eksplisit, motif utama Rusia dalam membangun pembangunan fasilitas militer di sana adalah mengurangi potensi ancaman eksternal sebelum “menyombongkan” kapasitasnya. Dengan demikian, swaggering bukanlah tujuan utama pembangunan kekuatan militer, tetapi tindakan tersebut mampu meningkatkan kedudukan negara dalam sistem internasional.

Dapat disimpulkan bahwa upaya Rusia untuk memodernisasi Semenanjung Kola tidak terlepas dari konsep keamanan internasional. Peningkatan aktivitas militer AS dan NATO di Arktik mendorong Rusia untuk mengimbangi kedua pihak dengan meningkatkan kehadiran militernya — baik dalam persenjataan maupun dalam tenaga manusia — di semenanjung yang tidak jauh dari perairan Arktik. Dengan memperbaiki fasilitas lama serta membangun fasilitas baru di Semenanjung Kola, Rusia hendak membangun efek deterensi nuklir terhadap aliansi Barat. Kemudian, efek tersebut dibuktikan dengan unjuk kekuatan militer, dan tindakan ini akan menyebarkan pesan bagi masyarakat internasional bahwa Rusia bukanlah negara lemah.

Allysa Ramadhani adalah mahasiswa Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dengan minat terhadap studi nonproliferasi dan terorisme serta politik Asia Selatan. Selalu terbuka untuk diskusi, salah satunya melalui akun Instagram-nya @allysarm.

REFERENSI

2020 Russia Military Strength. (2020). Diambil 20 Juni 2020, dari https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-detail.asp?country_id=russia

Abbasova, V. (2020, Mei 7). Russian Northern Fleet Is Monitoring NATO Destroyers In Barents Sea. Caspian News. https://caspiannews.com/news-detail/russian-northern-fleet-is-monitoring-nato-destroyers-in-barents-sea-2020-5-6-13/

De La Pedraja, R. (2018). The Russian Military Resurgence: Post-Soviet Decline and Rebuilding, 1992-2018. McFarland, Incorporated, Publishers. https://books.google.co.id/books?id=SYd7DwAAQBAJ

Hough, P., Moran, A., Pilbeam, B., & Stokes, W. (2015). International Security Studies: Theory and Practice. Taylor & Francis. 

Lanteigne, M. (2020). Considering the Arctic as a Security Region: The Roles of China and Russia. Dalam G. Hoogensen Gjørv, M. Lanteigne, & H. Sam-Aggrey (Ed.), Routledge Handbook of Arctic Security. Routledge/Taylor & Francis Group.

NATO. (2020, April 29). Spain, France, UK take up Baltic air-policing mission. NATO. Diambil 20 Juni 2020, dari http://www.nato.int/cps/en/natohq/news_175306.htm

Roi, M. L. (2010). Russia: The Greatest Arctic Power? The Journal of Slavic Military Studies, 23(4), 551–573. https://doi.org/10.1080/13518046.2010.525465

Russia suspends INF Treaty in ‘mirror response’ to US halting the agreement. (2019, Februari 2). RT International. Diambil 20 Juni 2020, dari https://www.rt.com/news/450395-russia-suspends-inf-treaty/

Russia to deploy two ‘hypersonic missile hunters’ on Kola Peninsula in Arctic. (2020, Februari 7). TASS. Diambil 19 Mei 2020, dari https://tass.com/defense/1117577

Russia’s advanced Borei-A submarine to enter 2nd stage of shipbuilders’ trials. (2019, Juni 14). TASS. Diambil 20 Juni 2020, dari https://tass.com/defense/1063781

Zaloga, S. J. (2014). The Kremlin’s Nuclear Sword: The Rise and Fall of Russia’s Strategic Nuclear Forces 1945-2000. Smithsonian. 

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *