Ultraseven, Nuklir, dan Komentar Politik Yang Masih Relevan Setelah 55 Tahun

0

Cuplikan dari Episode 26 Ultraseven "Super Weapon R-1". Foto: Tsuburaya Productions

“Don’t forget, Dan, the earth is being targeted. An invader we aren’t strong enough to deal with is sure to show up! We need this”
“We need a Super Weapon? To fight this, invaders will build even more destructive weapons”
“It’ll be fine if we make weapons that are even more powerful”

“That’s a sad marathon you keep running as you cough up blood”

Tertegun, itulah kiranya saya ketika mendengarkan dialog yang dilakukan oleh Dan Moroboshi dan Furuhashi di episode ke-26 serial Ultraseven ini. Saya tidak menyangka bahwa pesan politis yang disampaikan di tahun 1967 dapat menjadi sesuatu yang masih diperdebatkan hingga tahun 2022. Dikarenakan Oktober lalu merupakan perayaan ulang tahun serial Ultraseven ke-55, saya memilih untuk menulis artikel ini untuk menunjukkan seberapa relevan komentar politik yang ada dalam Ultraseven dan menunjukkan seberapa sedikitnya “perkembangan” dunia dalam 55 tahun.

Episode ke-26 Ultraseven berjudul “Super Weapon R-1” ini dibuka dengan penjelasan mengenai apa itu senjata dahsyat R-1. Senjata ini dijelaskan memiliki kapabilitas penghancur planet yang diperkirakan memiliki 8.000 kali lipat dari bom hidrogen biasa. Keberadaan senjata ini diterima dengan sangat baik oleh anggota Ultra Garrison (UG) yang merupakan pasukan pelindung bumi di serial ini. Pasalnya, mereka menyatakan bahwa senjata ini akan mampu mencegah alien untuk menginvasi bumi atas kekuatannya yang dahsyat. Dalam sebuah dialog yang cukup menyentil konsep swaggering dalam Ilmu Hubungan Internasional, anggota UG Anne menyatakan bahwa jika bumi mengumumkan kepemilikannya atas senjata dahsyat ini maka tidak akan ada alien yang mau menyerang.

Jika Anda belum mendapatkan paralelnya, adegan tersebut adalah bentuk satir dari konsep Mutually Assured Destruction (MAD) yang berteori bahwa kepemilikan senjata super selevel nuklirdalam anekdot ini, R-1—akan cukup untuk menghentikan serangan akibat ketakutan musuh atas kemampuan dahsyat senjata tersebut. Ultraseven memberikan kritik yang lebih mendalam dibanding pendahulunya, Ultraman, karena mereka tidak menggunakan monster raksasa sebagai antagonis, melainkan mereka menggunakan sosok alien (penjajah asing). Maka dari itu, episode ini menggunakan perumpamaan alien, planet, dan R-1 sebagai penjelasan mengenai hubungan antara negara (state), aktor, dan nuklir.

Disaat seluruh warga bumi di markas UG bersorak sorai atas penemuan dahsyat ini, Dan Moroboshi sang Ultraseven (alien) menjadi satu-satunya yang tidak senang atas penemuan ini. Ia berusaha menghentikan tes peluncuran senjata tersebut dan berdebat dengan anggota Furuhashi. Menurutnya, manusia terlalu terfokus terhadap kemampuan bertahan hidup mereka sendiri sehingga mereka melupakan etika di atas usaha pertahanan. Dialog yang menjadi pembuka artikel ini pun tercipta dan Dan berusaha memperingatkan anggota UG akan adanya marathon pembuatan senjata yang makin lama makin dahsyat yang tak henti-henti. Sentimen ini nantinya akan terealisasi ketika Planet Gyeron yang menjadi tempat tes misil ini ternyata memiliki penghuni yang bermutasi dari ledakan misil R-1. Alien yang bernama Alien Gyeron itu dapat beregenerasi bahkan jika diledakkan oleh misil R-1. Ironisnya, reaksi para peneliti yang melihat kegagalan misil R-1 bukanlah untuk mengakui kegagalannya, tetapi mendorong pembuatan misil R-2 yang jauh lebih dahsyat lagi.

Adegan tersebut menjadi cerminan dari kenyataan yang terjadi dari masa Perang Dingin hingga sekarang, yakni perlombaan senjata yang kompetitif antara negara-negara di dunia. Sedikitnya kepercayaan negara yang satu dengan yang lain menyebabkan negara di dunia melihat keberadaan negara yang lebih besar di luar sana sebagai bentuk ancaman. Sikap agresif tersebut akhirnya mendorong negara lain untuk turut agresif. Akan tetapi, kondisi anarki ini tidak akan bisa menghasilkan perdamaian absolut bagi negara manapun. Jika sebuah negara telah mencapai kapabilitas tertinggi, negara-negara lain akan berusaha menyalipnya. Pada akhirnya, mereka terus berlari dalam marathon yang berdarah-darah tanpa henti karena mereka takut pihak lain akan melanjutkan serangan jika mereka tidak berlari.

Alien Gyeron tidak memahami kedahsyatan nuklir karena kemampuannya untuk bermutasi dari radiasi nuklir. Alien Gyeron menjadi anekdot dari kenyataan bahwa ancaman nuklir itu tidak dipandang sama oleh semua orang. Konsep MAD berlaku jika seluruh negara di dunia bergerak dalam satu jenis pemikiran logika yang sama. Kenyataannya, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap pemimpin di dunia memiliki persepsi yang berbeda terhadap nuklir, beberapa pemimpin dunia dapat dikatakan “tidak logis” karena lebih mudah mengeluarkan nuklir sebagai senjata. Akan tetapi, keberadaan pemimpin “tidak logis” inilah kenyataan yang harus dihadapi para teoriwan penggarap konsep MAD ini.

Pemimpin dunia seringkali menganggap diri mereka sebagai “orang pintar” ketika mereka memiliki senjata nuklir dan tidak menggunakannya. Akan tetapi, di dunia yang mana Rusia bisa secara terang-terangan melakukan serangan ke Ukraina dengan hambatan militer yang minimal, terasa bahwa orang yang membayar mahal untuk nuklir tetapi tidak dapat menggunakannya sebenarnya “orang bodoh”. Untuk terus berlari dalam sebuah balap marathon yang noneksisten dengan titik akhir yang fana adalah tindakan yang patut ditertawakan. Setidaknya, itulah pesan pro-denuklirisasi yang disampaikan oleh Ultraseven dalam episode ini.

Penulis merasa bahwa pesan ini masih relevan hingga sekarang. Walau konsep perlombaan senjata mungkin telah lama tidak digunakan sejak akhir dari Perang Dingin, kenyataannya adalah negara masih berusaha memperbaharui armada nuklir mereka untuk “bertahan” dari negara lain. Ironisnya, ancaman ekonomi dan sosial yang muncul dan berkembang di era modern ini jauh lebih mengancam pertumbuhkembangan sebuah negara dibandingkan ancaman militer. Apa yang dapat dilakukan negara untuk mempertahankan dirinya dari isu kemiskinan, pengangguran, dan inflasi? Jawabannya bukanlah meledakkan bom nuklir.

Sudah saatnya kita berkaca dan melihat seberapa keberadaan senjata nuklir lama-kelamaan menjadi suatu liabilitas dibandingkan keuntungan. Bom nuklir adalah simbol ketidakpercayaan spesies manusia atas satu sama lain yang terus dipertahankan tahun ke tahun. Walau terkesan utopis, saya merasa bahwa hakikat manusia di bumi ini jauh lebih tinggi daripada itu. Pola pikir kapitalis dan kompetitif yang mewabahi dunia ini telah mencemari pola pikir setiap orang untuk tidak mempercayai segala hal hanya untuk tidak mempercayai segala hal. Bahkan setelah 55 tahun lamanya, dunia tidak banyak berubah. Setiap orang masih tidak percaya akan satu sama lain dan kita masih menyimpan senjata dahsyat di dalam negara kita yang kian lama makin tua. Semoga saja senjata nuklir tidak akan menjadi “dekorasi” termahal dan terdahsyat untuk diperbaharui kedepannya.

Albert Julio merupakan seorang mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @im.the.aj

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *