Eksistensi Lebanon Terancam di Masa Krisis COVID-19

0

Ilustrasi kerusuhan. Sumber: pixabay.com

Hingga pertengahan tahun 2020, dunia internasional telah mengalami berbagai macam konflik, baik yang bersifat militer maupun non-militer. Selain pandemi COVID-19 yang tidak kunjung berakhir, negara-negara di dunia juga harus menghadapi berbagai macam permasalahan yang tak kalah mencekam bagi warga negaranya sendiri. Seperti yang dihadapi oleh negara di daerah Timur Tengah, Lebanon. Negara ini berbatasan langsung dengan Suriah di sebelah utara dan timur serta Israel di sebelah selatan. Oleh karena itu tidak mengherankan jika hingga saat ini terus menghadapi berbagai macam permasalahan yang sangat kompleks, tidak dapat kunjung diselesaikan. Menurut sudut pandang penulis, seharusnya Lebanon saat ini berfokus pada pemberhentian kasus COVID-19 di dalam negerinya guna mencegah semakin bertambahnya korban jiwa. Namun, hal tersebut tidaklah berlaku bagi negara-negara daerah konflik yang jauh dari suasana perdamaian internal.

Selama libur hari raya Idul Adha pada tanggal 1 Agustus 2020 beberapa waktu lalu, Lebanon mengalami lonjakan kasus COVID-19 dengan total kasus yang mencapai 4.555 jiwa dengan jumlah kematian sebanyak 61 jiwa. Keadaan negara ini sangatlah carut-marut dengan adanya keputusan Menteri Luar Negeri, Nassif Hifti yang memilih mengundurkan diri pada tanggal 3 Agustus 2020 ini, dikarenakan sering berselisih dengan Perdana Menteri Lebanon, Hassan Diab. Menurut sudut pandang penulis keputusan tersebut sangatlah membuat negara Lebanon semakin tertinggal dari bantuan negara lain dikarenakan keadaan struktur pemerintahan yang tidak stabil. Hal ini didukung dengan adanya fakta bahwa beberapa waktu lalu pendonor asing seperti IMF yang seharusnya dapat memberikan bantuan keuangan di tengah masa krisis sekarang, sudah menegaskan bahwa tidak akan memberikan bantuan lagi untuk negara Lebanon sampai pemerintahannya memiliki rencana yang jelas untuk mengendalikan negara dan serius membasmi tindakan korupsi. 

Terjadinya Hiperinflasi & Korupsi

Permasalahan lainnya yang mengganggu stabilitas keamanan dan pertahanan negara Lebanon adalah terjadinya hiperinflasi di tengah pemerintahan yang korup saat ini. Harga kebutuhan pokok warga negaranya melonjak tinggi dikarenakan nilai mata uang lokal jauh merosot. Seperti harga roti yang mencapai 6.500 pound Lebanon atau setara dengan 64 ribu rupiah serta sampo yang mencapai 25.000 pound Lebanon atau setara dengan 294 ribu rupiah. Padahal penghasilan warga negara Lebanon sendiri sangat rendah dan kondisi kehidupan mereka jauh dari kesejahteraan. Oleh karena itu, Lebanon meraih gelar negara Arab pertama yang menyaksikan mata uang negaranya menyentuh posisi terendah saat ini. Mirisnya di halaman platform Facebook, para wanita Lebanon berusaha menukar barang dengan susu formula untuk bayi mereka, dikarenakan harga penjualannya yang melonjak tinggi. Ada sekitar 1 juta penduduk dan 500 ribu anak-anak Lebanon berada dalam kondisi rentan kesulitan bahan makanan akibat krisis ekonomi saat ini.

Praktik haram korupsi dan pemborosan yang dilakukan oleh Pemerintah Lebanon berlangsung selama beberapa dekade, ditambah dengan adanya pengangguran yang meningkat telah menyebabkan harga kebutuhan pokok melonjak. Tindakan korupsi di Lebanon telah terdesentralisasi, tidak hanya terpusat pada satu orang saja. Maka, warga negara Lebanon pun tergugah emosinya untuk melakukan aksi demonstrasi dengan memblokir jalan serta membakar ban di tengah ibu kota, Beirut yang semakin mengancam keberadaan negaranya. 

Lebanon diujung Tanduk

Perang saudara di Lebanon pada tahun 1975-1990 membuat negara tersebut identik dengan kehancuran. Akibat perang tersebut, Lebanon menghasilkan generasi panglima perang yang kemudian berubah menjadi politisi tidak bertanggung jawab terhadap negara, sehingga tidak bisa dilenyapkan hingga saat ini. Hal tersebut juga didukung dengan adanya konflik yang terus terjadi berulang kali di perbatasan dengan negara Israel dan masuknya satu juta pengungsi Suriah yang mencari suaka. Maka, negara Lebanon saat ini meluncur bebas menuju titik kritis dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Berbagai rumah sakit, toko-toko, restoran terancam ditutup sehingga menyebabkan PHK massal besar-besaran yang didorong dengan keputusasaan di tengah pandemi COVID-19.

Pilar-pilar yang telah lama menopang negara tersebut runtuh, termasuk kebebasan dan peran negaranya sebagai pusat pariwisata serta jasa keuangan lenyap begitu saja, membuat keselamatan Lebanon berada diujung tanduk. Hal ini diperparah dengan adanya kelangkaan bahan bakar yang menyebabkan ibu kota Lebanon gelap gulita, bak kota mati beberapa waktu lalu. Kemudian beberapa apartemen hanya mampu mendapat listrik kurang dari dua jam sehari ditengah musim panas, membuat aktivitas warga negaranya terganggu dan tidak bisa mengerjakan apa-apa untuk menghidupi dirinya. Rumah sakit utama pun terkena imbasnya yang mengakibatkan ruang operasi pasien terpaksa ditutup dan serangkaian jadwal operasi tertunda, membuat pelayanan kesehatan Lebanon lumpuh total di tengah pandemi.

Keadaan negara Lebanon kembali sangat memprihatinkan setelah terjadinya peristiwa ledakan dahsyat di sebuah gedung dekat pelabuhan Beirut pada tanggal 5 Agustus 2020 yang langsung mengundang empati warga internasional. Dalam hitungan detik, sudah banyak bertebaran video ledakan serta gambar korban berlumuran darah di media massa yang sangat menyayat hati akibat peristiwa tersebut.

Didiskriminasi oleh Bantuan Asing

Sebelum peristiwa ledakan terjadi, negara Lebanon mengalami tindakan diskriminasi, tidak mendapatkan perhatian serta bantuan intervensi dari negara-negara Arab lain dengan perekonomian yang lebih baik. Tindakan diskriminasi ini tidak mengherankan, mengingat pemerintahan Lebanon yang hanyut dengan praktek korupsi membuat bantuan asing sulit dilaksanakan. Apalagi pada bulan April 2020 lalu negara ini juga gagal membayar utangnya.

Alih-alih menjadi negara yang menerima bantuan, Lebanon menjadi lahan perselisihan antara negara Iran, Arab Saudi, Israel serta Amerika Serikat di perbatasannya. Lebanon menjadi ladang penciptaan ketengangan dan sebagai sarana untuk membangun kembali kehadiran peran serta pengaruh negara-negara maju di Timur Tengah. 

Hal ini terjadi akibat adanya kelompok Hizbullah yang memiliki 13 kursi di parlemen, dikategorikan sebagai organisasi teror oleh Washington dan negara Arab lainnya, sehingga negara lain enggan memberikan bantuan dan malah mengganggu kedaulatan negara Lebanon. Selain itu terjadinya fluktuasi nilai tukar yang ikut memadamkan aktivitas perdagangan dengan negara lain, sehingga sebagian besar kelas menengah Lebanon terjerumus ke dalam garis kemiskinan.

Oleh karena itu, eksistensi negara Lebanon sudah berada diujung tanduk dan terancam akan semakin hancur di masa krisis COVID-19 saat ini dikarenakan adanya sentralisasi pemerintahan yang korup tetap abadi berkuasa, ditambah peristiwa ledakan yang baru saja terjadi menyita perhatian publik. Penulis berharap semoga keadaan negara Lebanon beserta warganya kembali pulih dan bisa segera merasakan rasa perdamaian sesungguhnya.

Rachma Putri merupakan mahasiswi Hubungan Internasional, Universitas Tanjungpura dan Peneliti Bidang Keamanan dan Pertahanan Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP). Penulis dapat dihubungi melalui akun Instagram @rachmaxputri.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *