Eskalasi Konflik Iran–Amerika Serikat: Analisis Kultur Politik dan Interaksi Antar Aktor

0

Supreme Leader of Iran Ayatollah Ali Khamenei dalam sebuah upacara di Tehran. Foto: Agence France-Presse/Getty Images

Ketegangan di antara Amerika Serikat (AS) dan Iran dapat dilihat melalui berbagai peristiwa. Tulisan ini akan diawali dengan refleksi dari hubungan buruk di antara kedua negara tersebut melalui insiden penembakan drone milik AS oleh Iran pada Juni 2019 lalu (Al-Jazeera, 2019a), yang kemudian disusul dengan klaim yang saling berlawanan di antara kedua belah pihak. 

Di satu sisi, AS melihat langkah Iran merupakan bentuk agresi, hal ini didasarkan pada anggapan bahwa Iran menembak drone yang beroperasi masih di teritori udara internasional. Sedangkan Iran menganggap bahwa drone tersebut memiliki kapasitas intelijen dan digunakan untuk melakukan penyusupan di wilayah teritori Iran. Operasi menggunakan drone tersebut dinilai telah menggunakan stealth mode dan koordinator radar dari suatu markas militer, serta pernyataan yang menunjukkan bahwa puing-puing drone pasca-penembakan ditemukan di wilayah airspace Iran.

Setelah insiden itu terjadi, baik Iran maupun AS tidak menunjukkan gelagat serius untuk mengadakan rekonsiliasi. Pihak AS menyatakan bahwa penembakan drone tersebut merupakan tindakan yang “sangat bodoh” sekaligus mengancam akan memberikan sanksi terhadap Supreme Leader of Iran Ali Khamenei dan delapan pimpinan Islamic Revolutionary Guard Corps Iran (BBC News, 2019b). Sementara Iran melalui Presiden Hassan Rouhani yang ragu akan adanya negosiasi yang adil dan damai bersama AS dalam insiden ini (BBC News, 2019b). Selain itu, Iran juga turut mengancam akan membelot dari perjanjian produksi uranium dalam Nuclear Deal (Hjelmgaard & Shesgreen, 2019).

Selain salah satu contoh perseteruan di atas, tulisan ini akan lebih lanjut akan menguraikan persoalan-persoalan di antara kedua negara, termasuk mengenai Nuclear Deal, dengan menggunakan kerangka teoritis English School dan konstruktivisme untuk menganalisis makna dari latar belakang budaya politik dalam hubungan Iran–AS.

Perbedaan Kultur Politik

Salah satu permasalahan mendasar dalam hubungan Iran dengan negara-negara Barat selama ini berakar dari perbedaan pandangan dan cara pikir dalam aspek hubungan internasional. Di satu sisi, Iran tidak melihat dirinya sebagai sebuah negara-bangsa dalam pengertian sistem Westphalia, sedangkan negara-negara Barat melihat Iran sebagai suatu anomali dalam sistem yang harus “dibenahi”. Padahal, Iran memiliki pandangan mendasar tersendiri mengenai sistem tata negara sehingga secara prinsip, nilai, maupun norma berbeda dengan Westphalia.

Iran memiliki konsepsi tersendiri dalam memandang diri dengan negara lain, terutama jika menyangkut pengaruh politik di Timur Tengah. Henry Kissinger (2015) menyebutkan bahwa terdapat dua tradisi utama yang memungkinkan munculnya konsepsi yang unik tersebut. Tradisi pertama adalah peninggalan pola pikir mengenai tata-kelola pemerintahan yang berlandaskan pada pola perilaku dari masyarakat di suatu wilayah (statecraft) dari masa Persia yang memandang bahwa pengaruh budaya dan politik memiliki signifikansi yang sama dengan pengaruh militer. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa Persia yang merupakan persimpangan dari berbagai kultur dunia pada masa itu, merupakan sebuah entitas yang “superior” dibandingkan daerah-daerah “pinggiran” di ujung dunia karena kemampuannya untuk beradaptasi dengan kebudayaan baru tanpa kehilangan jati dirinya.

Kepercayaan tersebut tercermin dalam strategi diplomasi Persia, yang dalam proses interaksinya dengan entitas lain mengupayakan agar terus mengadaptasi aspek-aspek kultural yang dapat menguntungkan Persia. Salah satu contoh dari praktik ini adalah adopsi Islam Syiah sebagai agama resmi negara mulai abad ke–16 (Kissinger, 2015:152). Hal ini dipercaya berguna bagi Persia untuk menciptakan pembeda sekaligus bentuk penentangan terhadap Kekaisaran Ottoman, rival utama Persia pada masa itu, yang mengadopsi Islam Sunni. Adopsi Islam Syiah oleh Persia juga memberikan kesempatan untuk membentuk sphere of influence berbasis keyakinan.

Setelah Revolusi Iran 1979, tradisi lain yang muncul berkaitan dengan identitas Iran yakni sebagai negara islam revolusioner. Di bawah kepemimpinan Ayatollah Khomeini, Iran sebagai sebuah negara “berbelok” dari definisi Westphalian. Ia menentang tatanan di tingkat regional maupun secara global. Iran dibentuk tidak atas tujuan untuk menciptakan sebuah negara-bangsa yang berdaulat atas dirinya sendiri, melainkan sebagai sebuah batu loncatan untuk menjalankan religious struggle demi membebaskan umat Islam di seluruh dunia dari konsep tatanan negara-bangsa serta komunitas internasional yang dipandangnya tidak sesuai dengan hukum Allah. Khomeini memiliki visi untuk menghilangkan format negara-bangsa dan menggantikannya dengan satu “pemerintahan Islam” di dunia (Kissinger, 2015: 153). 

Dua tradisi tersebut memengaruhi praktik budaya statecraft Iran di era sekarang ini, Kissinger (2015) menyebutkan bahwa tradisi tersebut membentuk dualitas dalam doktrin. Di satu sisi Iran memandang sistem Westphalia sebagai sebuah sistem yang harus dihancurkan namun Iran juga tetap memanfaatkan sistem Westphalia—serta instrumennya—untuk memajukan kepentingannya (Ministry of Foreign Affairs Islamic Republic of Iran, 2018). Hal ini dapat dilihat ketika Iran tetap bergabung ke dalam PBB, serta tetap menjalin relasi bilateral dengan negara-negara lain dalam kapasitas sebagai sebuah negara-bangsa.

Kondisi tersebut sesuai dengan konsep society of states yang melihat bahwa adanya rivalitas yang berujung pada konflik di antara negara-negara merupakan hal yang tidak dapat dihindari namun dapat dimitigasi melalui praktik tata-kelola pemerintahan internal yang mumpuni (Hedley Bull, 1977; Viotti & Kauppi, 2012: 239–241). Hal ini berbeda dengan pemahaman mengenai society yang di dalamnya terdiri dari manusia yang hanya memandang anarki sebagai suatu ancaman nyata dan serius terhadap kelangsungan hidup.

Memengaruhi Tindakan dan Sikap

Praktik tata-kelola pemerintahan tersebut diterjemahkan lebih lanjut ke dalam serangkaian norma bersama yang memberikan batasan-batasan tertentu terhadap perilaku negara-negara satu sama lain. Walaupun begitu, salah satu bentuk shared norms paling mendasar saat ini adalah pengakuan atas kedaulatan (Fawcett, 2016: 27–29), di mana hal tersebut kemudian menciptakan sebuah pemahaman akan kesetaraan di antara entitas atau negara-negara dunia. Anarchical order yang mendasar itulah yang disebutkan oleh Louise Fawcett (2016) dapat diakui di kawasan Timur Tengah. Walaupun wilayah tersebut memaknai sebuah kedaulatan berbeda dengan apa yang dipahami dalam sistem Westphalia, di mana konsep Pan-Islamisme yang populer dalam politik kawasan melihat negara-bangsa tetap lebih rendah kedaulatannya dibanding dengan identitas ‘Islam’ yang diakui secara lintas batas.

Jika berdasarkan paparan tersebut, di satu sisi Iran secara minimal dapat dianggap sebagai bagian dari society of states. Di mana Iran membatasi pengakuan terhadap norma bersama yang mendasar yakni “kedaulatan”. Setidaknya Iran diakui keberadaannya sebagai sebuah negara yang berdiri sendiri dan bebas dari intervensi asing. Akan tetapi, pengakuan Iran terhadap kedaulatan tersebut sangat kondisional dan fluktuatif, dalam hal ini Iran memiliki ekspektasi bahwa dengan pengakuan tersebut maka negara-negara lain tidak akan mencampuri urusan domestiknya. Di samping itu, Iran tetap berusaha untuk mencari peluang untuk menciptakan sphere of influence Pan-Islamisme, hal ini dapat dilihat dalam upaya secara tidak langsung dalam membina kelompok-kelompok teroris transnasional berbasis agama yang merongrong kedaulatan rezim-rezim negara-bangsa.

Jika melihat latar belakang yang demikian, maka wajar jika implikasi dari ancaman AS untuk memberikan sanksi kepada para pemimpin Iran menjadi sangat berpengaruh, karena hal tersebut mencederai hal yang merupakan shared norms di antara Iran dan rezim Westphalia, yakni non-intervensi terhadap persoalan domestik secara terang-terangan.

Selain itu, langkah yang kondisional untuk memperoleh keuntungan dapat dilihat melalui kesediaan Iran untuk terlibat dalam kesepakatan nuklir tahun 2015. Melalui langkah tersebut, Iran mendapatkan peluang dalam bidang ekonomi karena negara-negara barat memungkinkan untuk mengurangi sanksi ekonomi terhadap Iran. Di samping itu, kemungkinan Iran untuk kembali melanjutkan kepemilikan akses terhadap senjata nuklir juga tidak selamanya tertutup.

Oleh karena jangka waktu perjanjian pembatasan refining uranium hanya berlangsung selama 23 tahun, dan setelah masa berlaku itu habis, Iran memiliki pilihan untuk tidak melanjutkan kesepakatan tersebut (Al-Jazeera, 2019b). Ditambah, keikutsertaan Iran dalam perjanjian tersebut tidak dapat menegaskan bahwa Iran betul-betul mengadopsi sistem Westphalia, Khamenei bahkan juga masih teguh dalam sikapnya yang bertentangan dengan AS. Minimnya shared norms antara Iran dan negara-negara barat—khususnya AS—dapat berpengaruh pada loyalitas Iran dalam perjanjian tersebut (Kissinger, 2015: 158), yang dapat diartikan bahwa masih terdapat ruang bagi Iran untuk “bergerak” sesuai dengan prinsip dan kepentingan sendiri.

Absennya Satu Kesepahaman

Masih berkaitan dengan konsep statecraft, konflik Iran–AS menjadi sulit menemukan titik tengah dan absennya diskursus intersubjektif yang berorientasi pada perdamaian dua negara tersebut. Padahal, interaksi intersubjektif ini berperan penting dalam menciptakan konstruksi realita itu sendiri (Viotti & Kauppi, 2012: 292). Tidak adanya kesepahaman di antara kedua belah pihak memunculkan interaksi-interaksi yang cenderung mencurigai satu sama lain dan menuangkannya dalam bentuk tindakan tidak bersahabat serta memiliki motif ulterior tertentu yang berpotensi menjadi ancaman.

Hubungan Iran–AS sekarang ini banyak dikelilingi oleh hubungan intersubjektif yang justru memperkuat “ketidakpercayaan” satu sama lain (BBC News, 2019a). Misalnya, terdapat beberapa insiden yang pada akhirnya memupuk rasa tidak percaya AS terhadap Iran, seperti peristiwa penyanderaan staf diplomatik AS dan pengepungan Kedutaan Besar AS di Teheran oleh pihak Iran di masa-masa revolusi; intervensi Iran dalam konflik di Timur Tengah; perseteruan Iran dengan sekutu AS seperti Israel dan Arab Saudi; hingga dugaan peran Iran dalam kasus meledaknya kapal tanker AS di Teluk Oman.

Sementara dari sisi Iran, ketidakpercayaan terhadap AS dicerminkan melalui beberapa peristiwa pula, yakni seperti: peran AS dalam menggulingkan rezim awal Republik Iran yang nasionalis; intervensi intensif AS dalam politik Timur Tengah yang mengganggu peranan Iran sebagai negara yang prominent dalam kawasan tersebut; persekutuan AS dengan rival Iran di kawasan Timur Tengah, yaitu Arab Saudi yang menganut Islam Sunni dan Israel yang menganut Yahudi; penembakan pesawat sipil Iran oleh kapal perang AS yang memakan korban jiwa; penolakan AS terhadap Nuclear Deal serta ancaman yang mengikutinya; dan juga peristiwa drone dan ancaman sanksi terhadap petinggi-petinggi Iran yang makin mencederai kedaulatan Iran. Peristiwa-peristiwa tersebut dapat dikategorikan sebagai apa yang disebut oleh Hopf (1998) sebagai threat perception, yang mengartikan bahwa ancaman dapat muncul dari konflik kepentingan, ketidakharmonisan kultural, ketidakcocokan ideologis, retorika yang mengancam, dan tindakan yang lebih jauh seperti pertikaian bersenjata (Fawcett, 2016: 30).

Perbedaan di antara respon AS dengan negara lain seperti Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, maupun Tiongkok—sebagai negara-negara yang terlibat dalam Nuclear Deal. Sejauh ini, tidak semua menunjukkan tanda-tanda untuk menarik diri dari kesepakatan tersebut (Time, 2019), dan cenderung lebih memilih jalur diplomasi dan meyakinkan Iran agar tidak merealisasikan ancaman retaliasi yang akan berujung pada tidak tercapainya  Nuclear Deal tersebut (Wintour, 2019). 

Secara hubungan bilateral, perseteruan tidak secara jelas ditunjukkan oleh Iran dengan negara-negara lain selain AS yang memang sudah berseteru sejak lama. Maka, segala tindakan kemungkinan akan berpengaruh terhadap distribution of power yang dapat dipersepsikan sebagai sesuatu yang mengancam (Fawcett, 2016:30). Misalnya, seperti usaha kepemilikan senjata nuklir oleh Iran ataupun dukungan AS kepada Arab Saudi dan Israel, yang cenderung dipandang Iran sebagai tindakan yang mengancam bagi pengaruhnya di kawasan Timur Tengah.

Meningginya tensi di antara Iran–AS juga dipengaruhi oleh pola pikir aktor yang cenderung agresif terhadap Iran. Salah satu contohnya adalah kebijakan Mike Pompeo dan John Bolton di AS, yang juga memberikan masukan kepada Presiden Trump pada masa itu untuk mengeskalasi konflik dengan Iran. Hal ini berbeda jika melihat AS di masa-masa sebelumnya maupun di negara-negara lain yang ikut terlibat dalam Nuclear Deal.

Kesimpulan

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa di balik meningkatnya tensi Iran–AS akhir-akhir ini, terdapat konteks budaya politik maupun relasional yang mempengaruhinya, di mana landasan teoritis English School dan konstruktivisme dapat digunakan untuk membantu menjelaskannya secara komplementer. English School lebih berfokus pada kultur politik Iran yang telah terbentuk secara terpisah dari Westphalia dan kemudian menjadi faktor penting yang membentuk interaksi intersubjektif Iran dengan AS. Di samping itu, konstruktivisme berfokus kepada pertimbangan terhadap kultur politik yang berbeda di antara keduanya. Akan tetapi, tidak mengabaikan munculnya aktor-aktor yang memiliki persepsi lain dan cenderung bertindak “agresif” terhadap Iran. Hingga saat ini, keduanya masih relevan untuk dikategorikan sebagai pemicu eskalasi konflik di antara Iran dan negara-negara barat, khususnya AS.

Referensi

Al Jazeera. (2019a, June 24). Iran-US tensions: All the latest updates. Retrieved June 26, 2019, from https://www.aljazeera.com/news/2019/06/iran-tensions-latest-updates-190621103437644.html

Al Jazeera (2019b, May 8). Understanding the Iran deal: What, why and the next steps. Retrieved June 27, 2019, from https://www.aljazeera.com/amp/news/2018/05/understanding-iran-deal-coming-180509072633096.html#trump-pull

BBC News (2019a, June 21). US-Iran relations: A brief history. Retrieved June 29, 2019, from https://www.bbc.com/news/world-middle-east-24316661

BBC News (2019b, June 25). Iran-US crisis: Rouhani derides new sanctions as ‘useless’. Retrieved June 28, 2019, from https://www.bbc.com/news/world-us-canada-48756824?intlink_from_url=https://www.bbc.com/news/topics/cv3nj70d4mqt/iran-us-relations&link_location=live-reporting-story

Fawcett, L. L. (2016). International relations of the Middle East. Oxford: Oxford University Press.

Hjelmgaard, K., & Shesgreen, D. (2019, June 26). Iran to speed up enrichment of uranium amid faltering nuclear deal. Retrieved June 27, 2019, from https://www.usatoday.com/story/news/world/2019/06/26/iran-speed-up-uranium-enrichment-amid-failing-nuke-deal-trump-threats/1568298001/

Kissinger, H. (2015). World Order. New York: Penguin Press.

Ministry of Foreign Affairs, Islamic Republic of Iran (2018, December 9). Missions of I.R. Iran. Retrieved June 28, 2019, from http://en.mfa.ir/index.aspx?fkeyid=&siteid=3&fkeyid=&siteid=3&pageid=2136

The Straits Times (2019, June 21). John Bolton, Mike Pompeo and Lindsey Graham: Hawks who have Trump’s ear on Iran. Retrieved June 29, 2019, from https://www.straitstimes.com/world/united-states/john-bolton-mike-pompeo-lindsey-graham-hawks-who-have-trumps-ear-on-iran

Time. (2019, June 28). Iran to Meet With Nuclear Deal Signatories in Vienna. Retrieved June 29, 2019, from https://time.com/5616963/iran-2015-nuclear-deal-vienna/

Viotti, P. R., & Kauppi, M. V. (2012). International relations and world politics. Boston: Pearson.

Wintour, P. (2019, June 19). UK, France and Germany in last-ditch effort to save Iran deal. Retrieved June 29, 2019, from https://www.theguardian.com/world/2019/jun/19/uk-france-germany-last-ditch-effort-save-iran-deal

Diandra Ayu Larasati merupakan Mahasiswi Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemukan di Instagram dan Twitter dengan nama pengguna @anda2x

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *