Indonesia antara OECD, BRICS, dan Isu Israel

0

Indonesia, OECD, dan Normalisasi Hubungan Indonesia-Israel/ Ekon.go.id

Baru-baru ini, linimasa pemberitaan politik luar negeri Indonesia dikejutkan dengan pemberitaan media Israel, Times of Israel yang menyatakan bahwa Indonesia telah setuju untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebagai syarat bergabungnya Indonesia menjadi anggota Organisasi Kerjasama Pembangunan Ekonomi (OECD) yang beranggotakan negara-negara ekonomi maju dan menengah ke atas. Hal ini tentu saja menjadi kontroversi, apalagi dalam situasi saat ini, ketika Israel sedang melakukan kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan di Gaza, Palestina. Menanggapi hal tersebut, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI langsung mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa Indonesia tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum Israel mengakui kemerdekaan Palestina. Meski begitu, polemik mengenai untung dan rugi bergabung dengan OECD masih terus dibicarakan. Manfaat apa yang dapat diperoleh dari OECD? Bagaimana dengan prospek Indonesia bergabung dengan kelompok ekonomi lain, yaitu BRICS? Apakah kita bersedia mengorbankan landasan kebijakan luar negeri kita untuk bergabung dengan OECD?

OECD, Target Idealkah?

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) merupakan organisasi ekonomi internasional yang berfungsi sebagai sarana penyelarasan kebijakan ekonomi yang diarahkan pada demokrasi, ekonomi pasar, dan ekonomi neoliberal. OECD beranggotakan negara-negara Amerika Utara, Uni Eropa, Australia dan Selandia Baru, serta sebagian kecil Asia (Israel, Korea Selatan, Jepang dan Singapura). OECD berfungsi sebagai mekanisme ‘saling belajar’ terhadap kebijakan ekonomi negara-negara anggotanya, khususnya mengenai liberalisasi ekonomi. OECD juga memiliki standar kebijakan ekonomi, fiskal, dan moneter yang menjadi acuan negara-negara anggotanya yang didasarkan pada aliran ekonomi neoliberal, yang dianggap penting bagi suatu negara untuk mencapai kemajuan ekonomi. Indonesia yang didorong oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, terdaftar sebagai anggota OECD dengan proses aksesi diterima oleh OECD pada awal tahun 2024.

Bagi Indonesia, OECD diharapkan dapat menjadi batu loncatan untuk menjadi negara maju sesuai dengan visi Indonesia Emas 2045. Standar kualitas birokrasi dan kebijakan perekonomian yang ditetapkan oleh OECD juga diharapkan dapat membantu tata kelola perekonomian Indonesia yang sedang mengalami korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Namun, karena arah kebijakan OECD berfokus pada pasar bebas dan ekonomi neoliberal, arah pembangunan OECD tidak selalu sejalan dengan karakter ekonomi dan politik Indonesia. Dengan jumlah penduduk pedesaan di Indonesia yang cukup besar, ketimpangan pendapatan yang sangat besar, kesulitan ekonomi bagi ‘kelas menengah baru’, negara agraris dan perekonomian yang sedang naik daun, kebijakan neoliberal bukanlah kebijakan yang ideal. Hal ini dapat memperburuk kesenjangan dan hanya menguntungkan kelompok elit kecil dan merugikan masyarakat.

Selain itu, Indonesia juga harus bersiap pada potensi kemandekan aksesi ke OECD. Cukup banyak negara saat ini sedang dalam proses aksesi OECD, seperti Brasil, Argentina dan Ukraina. Proses aksesi mereka sudah berlangsung bertahun-tahun, namun hingga kini masih belum memenuhi kriteria yang memenuhi syarat OECD. Jika dilihat, sebagian dari mereka, terutama Brasil memiliki profil ekonomi, sosial dan sejarah yang cukup mirip dengan Indonesia. Oleh karena itu, kita tidak dapat mengharapkan OECD akan secara otomatis menerima Indonesia, bahkan jika Indonesia rela mengkhianati prinsip kebijakan luar negerinya untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

BRICS, Alternatif terhadap OECD?

Di tengah lanskap perekonomian internasional, OECD bukanlah satu-satunya lembaga yang mendorong kerja sama pembangunan. Ada pula BRICS yang berasal dari akronim lima negara anggota pendirinya (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan). BRICS mempunyai beberapa kesamaan negara anggotanya yaitu terdiri dari negara-negara berkembang yang pertumbuhan ekonominya cepat sehingga diharapkan memiliki kekuatan ekonomi yang lebih besar. Proyeksi IMF memperkirakan bahwa dalam beberapa dekade mendatang, persentase anggota BRICS dalam PDB global akan melebihi persentase G7. Saat ini, BRICS sedang memperluas keanggotaannya ke negara-negara lain yang memiliki profil ekonomi serupa, antara lain Ethiopia, Iran, Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab bergabung dengan BRICS pada awal tahun 2024. Pada KTT BRICS 2023 di Afrika Selatan, Presiden Jokowi hadir dan menerima undangan untuk bergabung dengan BRICS, tapi hingga saat ini Indonesia menyatakan masih mengkaji untung ruginya bergabung dengan BRICS.

BRICS memiliki beberapa format kerjasama keuangan, seperti New Development Bank (NDB), pengaturan simpanan mata uang, perdagangan mata uang lokal, dan peningkatan ketahanan keuangan. Hal ini dimaksudkan agar negara-negara BRICS dapat mengurangi ketergantungan terhadap sistem keuangan Barat dan terdorong untuk menggunakan mata uang lokal dalam transaksi internasional. Hal ini dapat berguna dalam konteks gangguan ekonomi seperti yang dihadapi Rusia sehingga perekonomiannya dapat kuat dan tumbuh meskipun terkena sanksi Barat yang sangat besar. Meskipun BRICS banyak dikritik karena perbedaan pendapat antar negara anggotanya (khususnya Tiongkok dan India), tapi hal ini dapat menjadi pendorong positif bagi Indonesia karena karakteristik politik luar negeri Indonesia, termasuk di ASEAN, adalah mencegah intervensi terhadap kebijakan luar negeri negaranya. negara-negara anggota, dan tidak menggunakan perbedaan pendapat sebagai alasan untuk tidak bekerja sama. Selain itu, profil anggota BRICS yang terdiri dari negara-negara berkembang yang berkembang pesat lebih sesuai dengan profil perekonomian Indonesia.

BRICS dapat menjadi pola kerjasama internasional yang lebih cocok dengan Indonesia. Hal ini juga mengingat Indonesia mempunyai hubungan baik dengan semua negara anggota BRICS serta sejalan dengan sejarah politik luar negeri Indonesia yang memfokuskan pada kerjasama negara-negara berkembang. Jika dahulu Indonesia memberi harapan bagi negara-negara berkembang yang baru merdeka pada Konferensi Asia-Afrika 1955, kini Indonesia dapat menjadi mitra ketika negara berkembang sudah membangun ketahanan dan kemajuan ekonomi yang baik.

Menyikapi polemik keanggotaan Indonesia di OECD, Indonesia harus tegas pada prinsipnya untuk tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum Palestina diakui. Indonesia tidak boleh mengorbankan prinsip ini untuk memenuhi prasyarat persetujuan Israel atas keanggotaan Indonesia di OECD. Indonesia harus terus memperjuangkan agar hal ini tidak menghambat keanggotaan Indonesia di OECD, namun jika gagal maka Indonesia sebaiknya melupakan rencana bergabung dengan OECD, dan harus mempertimbangkan secara serius untuk menjadi anggota BRICS.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *