Relevansi Halal dalam Perdagangan Internasional

0

Relevansi Halal dalam Perdagangan Internasional/Actual.co

“Apakah ada menu makanan halal atau vegan di restoran ini?”

Jika Anda seorang Muslim yang sering bepergian keluar negeri, mungkin perkara makanan atau minuman halal sering kali menambah perhatian. Akan tetapi, pada era ini, baik itu di negara mayoritas Muslim atau tidak, ternyata produk halal telah muncul ke permukaan sebagai sebuah potensi bisnis. ‘Halal’ sendiri datang dari bahasa Arab, yang secara etimologis berarti ‘boleh’, dan menjadi pedoman bagi orang beragama Islam dalam beraktivitas; mulai dari apa yang boleh untuk dikonsumsi, dilakukan, dan dikenakan. Umat Muslim percaya bahwasanya apa yang mereka makan haruslah baik (bersih, higienis, diperoleh dengan cara yang jujur, dan sesuai dengan hukum syariah dalam kitab) karena nantinya hal tersebut akan memengaruhi keadaan hati, watak, atau jasad seseorang. 

Namun, pada banyak kasus, seruan untuk mensertifikasi halal banyak produk secara formal (mulai dari pemberian label, pengecekan praktik di balik produksi) telah menjadi ‘budaya’ baru. Tuntutan untuk mencantumkan sertifikasi dan label yang jelas, dengan harapan mengenai keterangan apa yang halal menjadi sebuah norma umum, kini semakin meningkat baik di dalam maupun di luar negara Muslim (Wilson, 2014). Hal ini pun didukung kenyataan bahwa konsumen dari produk halal ini tidak lagi hanya terkotakkan dari umat Muslim–masyarakat secara luas, saat ini, mengalami peningkatan dalam kepeduliannya terhadap kesehatan, yang mendorong penerimaan terhadap makanan halal karena ‘halal’ mencakup seluruh pemahaman tentang mengonsumsi makanan yang bersih dan higienis untuk meningkatkan kesehatan (Matthew et. al., 2014).

Ini menjadi beberapa latar semakin relevannya sertifikasi halal, tidak hanya dalam ekonomi nasional, tetapi juga dalam perdagangan global. Akan tetapi, sebelum melangkah lebih jauh mengenai relevansinya, mari runut terlebih dahulu apa itu sertifikasi halal.

The Basics: Fungsi dan Cakupan Sertifikasi Halal

Jika secara definisi ‘halal’ artinya boleh, maka bagaimana sertifikasi halal ini mengukur kebolehan suatu produk? 

Sertifikasi halal dipandang sebagai alat untuk menentukan apakah suatu produk atau jasa yang berkaitan dengan halal benar-benar halal, aman, dan bersih. Semakin strategis pemilihan sertifikasi halal suatu produk, maka semakin kompetitif pula pasarnya dalam bisnis halal global. Hari ini, setidaknya ada kurang lebih 400 lembaga sertifikasi halal di dunia. Mereka memproses sertifikasi halal suatu produk atau jasa berdasarkan apa yang diperintahkan dalam hukum Islam dan dalam usahanya menyediakan jaminan kepada konsumen mengenai kualitas halal, sistem sertifikasi dan verifikasi halal dipandang sebagai elemen kunci. Hal inilah yang dicakup dalam standar halal. Akan tetapi, mengingat banyaknya jumlah lembaga sertifikasi halal itu, maka standar halal yang diterapkan pun dapat berbeda-beda: standar nasional (baik yang dikembangkan oleh badan pengembangan standar nasional atau oleh lembaga sertifikasi halal itu sendiri), standar regional (misalnya milik Gulf Cooperation Council), dan standar halal internasional (IHI Alliance dan SMIIC) (Khan dan Haleem, 2016). Cakupan standar halal dalam sertifikasi boleh jadi meliputi penggunaan bahan-bahan halal, cara produksi yang halal, dan tidak adanya kontaminan haram pada produk—apa saja yang menjadi perhatian penting akan sangat bergantung pada pengaminan mazhab dan bagaimana pihak terkait (baik pemerintah atau lembaga sertifikasinya itu sendiri) bekerja.

Berangkat dari standar halal yang digunakan tersebut, sertifikasi halal akan dikeluarkan setelah proses identifikasi dan audit. Keberagaman standar tadi memberikan variasi dari keketatan suatu produk atau jasa dalam memperoleh logo halal di akhir: tetapi yang jelas, fungsi dari sertifikasi halal ini, selain untuk memberikan jaminan ketenangan hati bagi kaum yang memang memerlukan produk halal dalam kehidupan sehari-hari, adalah memberikan opsi produk yang higienis dan aman berkepastian hukum yang lebih luas. Produk yang dimaksud di sini pun tidak terbatas pada makanan atau minuman: kosmetika dan obat-obatan tercakup di dalamnya. Ada pula kategori di luar produk-produk tadi, yakni jasa yang telah ditinjau berdasarkan standar atau kriteria halal. Contoh yang paling populer adalah jasa penyembelihan daging yang memerhatikan kriteria dari sesiapa yang melakukan penyembelihan tersebut hingga sampai bagaimana daging itu disimpan sebelum terdistribusi. 

Proses sertifikasi halal seperti ini pula dapat memfasilitasi pertukaran budaya dan pemahaman antarbangsa. Perlombaan mendapatkan sertifikasi halal bagi produk, baik di negara-negara mayoritas Muslim atau tidak, merupakan sebuah tindakan promosi bagi industri halal. Dengan mempromosikan industri halal, negara-negara dapat mendorong pertukaran budaya yang lebih besar sehingga dapat berkontribusi pada hubungan dagang internasional yang lebih erat pada pihak-pihak yang memang memiliki tuntutan besar dalam produk halal ini. Maka tak heran, fenomena ini menjadi ajang ekspansi bisnis baru kepada negara-negara yang sebelumnya tak terjamah akibat keketatannya bagi produk tidak bersertifikasi.

The Actors: Pemerintah, Lembaga Sertifikasi Halal, dan Pelaku Usaha

Lembaga sertifikasi halal memegang peran yang cukup vital dalam proses sertifikasi dan pencantuman logo halal pada sebuah produk atau jasa, tetapi ia bukan hanya satu-satunya aktor yang bermain. Sebab, status lembaga sertifikasi halal ini pun bermacam-macam: ada yang memang langsung bekerja di bawah mandat pemerintah atau memang berdiri secara independen. JAKIM atau Jabatan Kemajuan Islam Malaysia, misalnya, merupakan lembaga pemerintah yang mengurusi segala hal terkait agama Islam di negara tersebut dan tugasnya mencakup proses sertifikasi halal bagi produk yang akan beredar di Malaysia. Lalu, ada pula Lembaga Pengkajian Pangan, Kosmetika, dan Obat-Obat Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) yang bertindak secara independen dalam praktik sertifikasi halalnya di Indonesia. Perbedaan di tiap negara ini yang biasanya menimbulkan tantangan bagi produk-produk yang ingin menembus pasar impor negara tersebut—karena ada standar halal baru lagi di tiap-tiap negara yang akan dijamah.

Status pemerintah dalam isu sertifikasi halal ini lebih sering melibatkan legitimasi legal-formal dari proses sertifikasi yang telah dijalankan, anggaran, dukungan sarana dan prasarana, kekuatan otoritas, dan akses jaringan baik nasional maupun internasional (Akim et. al., 2019). Nantinya, peran lembaga sertifikasi halal ini krusial ketika hadir situasi di mana harus ada yang memfasilitasi kolaborasi, menyebarkan informasi, dan mendukung dunia usaha dalam memperoleh sertifikasi halal, dan melengkapi status negara yang lebih banyak berperan sebagai pemilik kebijakan. Sayangnya, dalam kebanyakan kasus, lembaga sertifikasi halal ini berlaku terbatas pada domain nasional saja. Misalnya, apabila satu produk makanan mendapatkan sertifikasi halal dari LPPOM MUI di Indonesia, belum tentu sertifikasi tersebut dapat diakui halal juga oleh SFDA (Saudi Food and Drug Authority) jika produknya akan dikirimkan ke Arab Saudi. Maka solusi yang paling lazim adalah melakukan sertifikasi ulang lagi jika memang akan dikirimkan ke negara tertentu. Hal ini tentunya membawa pertimbangan ulang bagi banyak pelaku usaha, apalagi mengingat biaya yang dikeluarkan tentu akan cukup menguras. 

The Playground: Produk Bersertifikasi Halal dalam Perdagangan Internasional

Sepuluh tahun setelah peristiwa 9/11 yang menghancurkan Twin Towers, Islam di dunia justru mendapatkan sorotan yang baik dan sedikit kontradiktif dengan bagaimana perspektif Huntingtonian di Barat yang melihat subperadaban ini sebagai salah satu yang akan terus berbenturan. Sebagai pasar besar, umat Muslim mulai membenahi diri untuk memulai, membangun, dan mengembangkan inisiasi proyeksi positif tersebut (Bergeaud-Blackler et. al., 2016). Walau bisa dibilang baby steps, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah mengusahakan sertifikasi halal bagi produk-produk dari tiap negara dalam skala global. Meski dinamika peradaban Islam tidak sepenuhnya dipenuhi pelangi dan akhir indah layaknya dongeng (mengingat bagaimana konflik di beberapa negara Muslim yang masih berlanjut sampai hari ini), setidaknya umat Muslim di dunia diprediksikan akan terus bertumbuh melebihi 2 miliar populasi setelah 2024. Tren konsumsinya pun meningkat, dengan fakta bahwa setidaknya Muslim ​​telah menghabiskan $2,29 triliun untuk makanan halal, obat-obatan, kosmetik, perjalanan, dan media dalam skala global pada tahun 2022. Kemudian, bayangan aset keuangan syariah diperkirakan mencapai $3,96 triliun pada tahun 2021 dan meningkat menjadi $5,96 triliun pada tahun 2026 (DinarStandard, 2023). Dengan semakin banyaknya umat Islam yang berintegrasi ke dalam masyarakat di berbagai negara, kebutuhan akan akses terhadap makanan halal dan produk bersertifikat halal lainnya menjadi semakin besar. Hal ini menghadirkan peluang besar bagi dunia usaha untuk memasuki pasar yang sebelumnya kurang terlayani dan memenuhi kebutuhan budaya serta agama spesifik konsumen Muslim dan meningkatkan relevansi produk halal dalam perdagangan internasional.

Penting untuk diingat bahwa sertifikasi halal bukanlah sekedar label; hal ini merupakan jaminan bahwa makanan telah disiapkan dan ditangani dengan cara yang sejalan dengan hukum syariah Islam. Dalam lanskap perdagangan internasional yang kompetitif, sertifikasi halal menjadi penting bagi dunia usaha untuk membedakan diri mereka dan memenuhi permintaan produk halal yang terus meningkat. Meskipun dengan ini relevansi sertifikasi halal untuk pasar internasional semakin meningkat, masih terdapat tantangan yang perlu dijawab. Berdasarkan pembahasan sebelumnya mengenai standar proses sertifikasi halal, bisa dibilang masih belum ada tanda-tanda dari pasar produk halal yang besar ini untuk menciptakan regulasi yang bersifat global dan mengikat secara hukum. SMIIC adalah standar sertifikasi halal yang paling mendekati untuk mencakup mimpi kemudahan sertifikasi halal yang dipatuhi secara global, tetapi pada akhir hari, ia pun hanya bersifat legally-binding bagi para negara anggota dan yang menyetujui negaranya akan patuh kepada standar a la OIC. Di luar itu? Sakarep e dewe! (terserah kamu!). Silakan hadirkan regulasi dan standar halal yang lebih enak untuk dipatuhi secara nasional ataupun regional.

Percakapan mengenai regulasi dan standar ini pun merembet pada isu proteksionisme. Bahkan, isu itu berkembang jauh sampai ke tuduhan diskriminatif pada produk yang datang dari negara tertentu ke negara yang memiliki ketetatan produk bersertifikasi halal ini (lihat kasus gugatan Brasil atas Indonesia terkait impor ayam tahun 2016). Proses sertifikasi halal dipandang sebagai bentuk proteksionisme baru, di mana negara-negara menggunakan langkah-langkah non-tarif seperti sertifikasi halal ini untuk melindungi pasar domestik mereka. Hal ini dapat memicu perang dagang dan konflik antarnegara dengan standar dan peraturan yang berbeda. 

World Trade Organization (WTO) memang tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa mereka menentang keberadaan regulasi dan standar halal yang dipatuhi secara global karena keterkaitannya dengan agama. Pendirian WTO terhadap peraturan halal lebih fokus untuk memastikan bahwa langkah-langkah tersebut tidak menciptakan hambatan perdagangan atau mendiskriminasi negara atau industri lain. Namun, dirinya pun kerap kali jadi sasaran empuk karena kurangnya peraturan yang jelas mengenai sertifikasi halal dan boleh jadi keabsenannya menjadi akar dari tantangan-tantangan ini. Yang kritik soroti ialah perlunya pendekatan perdagangan internasional yang komprehensif dan inklusif, yang mampu mengakomodasi beragam kebutuhan konsumen di seluruh dunia, termasuk pasar halal yang tengah diminati ini. Nampaknya, meski industri halal terus berkembang pesat, tantangannya tidak akan berhenti sampai di sini. “It’s a growing pain,” mungkin kata orang-orang.

In the end …

Semakin naiknya populasi Muslim, wisata halal, dan keseluruhan tuntutan halal membuat sertifikasi halal menjadi sesuatu yang relevan dalam konteks nasional maupun global. Meski begitu, rezim sertifikasi halal yang selama ini masih terbatas di level nasional juga mengindikasikan masih minimnya inisiatif halal lintas batas dan di level internasional. Akibatnya, dalam produksi dan penanganan pangan, sering kali proses sertifikasi ini dapat dilihat sebagai bentuk proteksionisme dan dipersepsikan sebagai sesuatu yang negatif. 

Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai gerakan untuk menginisiasi berbagai kerja sama sertifikasi halal di level internasional. Halal juga penting untuk diakui sebagai standar berbagai produk konsumen di banyak negara. Dengan demikian, Muslim di manapun berada akan dapat merasa aman dengan jaminan halal yang ada.

Referensi

Bergeaud-Blackler, F., Fischer, J., & Lever, J. (Eds.). (2016). Halal Matters: Islam, Politics and Markets in Global Perspective (1st ed.). Routledge. https://doi.org/10.4324/9781315746128

DinarStandard. (2023). State of the Global Islamic Economy Report. Retrieved from https://www.dinarstandard.com/post/state-of-the-global-islamic-economy-report-2023

Khan, M. I., & Haleem, A. (2016). Understanding “halal” and “halal certification & accreditation system”-a brief review. Saudi Journal of Business and Management Studies, 1(1), 32-42.

Mathew, V. N. (2014). Acceptance on halal food among non-Muslim consumers. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 121, 262-271.

Wilson, J. A. (2014). The halal phenomenon: an extension or a new paradigm?. Social Business, 4(3), 255-271.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *