Perubahan Istilah (Lagi) Kelompok Separatis di Papua, Apa Dampaknya?

0

TNI di Papua (TV One News)

Pada tanggal 5 April 2024, melalui Surat Panglima TNI Nomor STR/41/2024, TNI secara resmi mengubah terminologi resmi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perubahan nomenklatur terhadap pergerakan separatisme di wilayah Papua ini dilakukan secara mendadak yang membuat beberapa pihak terkejut. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) beserta dengan Amnesty Internasional mengkritik keputusan tersebut dan meminta TNI untuk mencabut surat perintah tersebut dikarenakan akan meningkatkan ketegangan yang tidak diperlukan di Papua.

Di balik kritik dari kedua lembaga tersebut, TNI menjelaskan bahwa perubahan terminologi disesuaikan dengan penyebutan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sehingga lebih tepat menafsirkan mereka sebagai OPM ketimbang KKB. Selain itu, peningkatan serangan terhadap personel TNI menjadi salah satu alasan utama untuk mengubah nomenklatur tersebut.

Terlepas dari argumen kedua belah pihak, kebijakan yang diambil oleh TNI ini tentu akan berdampak dalam menyikapi tantangan separatisme di Papua. Sebenarnya apa saja dampak dari kebijakan TNI tersebut terhadap situasi keamanan di Papua?

Model Militer vs Model Peradilan Pidana dalam menangani separatisme di Papua

Dalam menangani separatisme terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan, yakni model militer dan peradilan pidana atau sering juga disebut penegakan hukum. Meskipun kedua model ini lebih sering diasosiasikan dengan aksi terorisme, keduanya dapat pula diaplikasikan pada situasi di Papua. Sebagai contoh, OPM juga pernah disebut Indonesia sebagai Kelompok Separatis Teroris Papua (KSTP) sehingga jelas mengaburkan kedua terminologi tersebut. 

Di Indonesia sendiri, negara ini menganut model peradilan pidana yang memiliki arti bahwa polisi menjadi tombak utama dalam mengatasi permasalahan ini. Sementara dalam model yang lain, sesuai dengan namanya, militer adalah kekuatan terdepan dalam membasmi separatisme.

Dalam konflik di Papua, meskipun Polri menjadi garda terdepan, UU No 34. Tahun 2004 Tentang TNI secara eksplisit menyebutkan bahwa angkatan bersenjata dapat turut membantu kepolisian dalam mengatasi tantangan separatisme dan terorisme melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Melalui justifikasi ini, TNI turut serta untuk melakukan operasi di Papua dalam rangka mencegah gerakan separatisme ini.

Dapat dikatakan bahwa sebenarnya pendekatan yang dilakukan Indonesia bersifat gabungan antara model militer dan peradilan pidana  ketimbang fokus pada satu sisi saja. Namun, pengikutsertaan militer dalam konflik di Papua memiliki dampak tersendiri pada situasi keamanan di Papua.

Pertama, keberadaan militer tentu dapat meningkatkan intensitas konflik di Papua. Perubahan terminologi menjadi OPM yang dapat dikatakan bersifat lebih agresif akan meningkatkan probabilitas kontak senjata antara kedua belah pihak. Ditambah dengan pernyataan dari Kepala Pusat Penerangan TNI yang menegaskan bahwa prajurit tidak perlu ragu untuk menindak OPM, terdapat peluang peningkatan warga sipil akan kembali menjadi korban dalam konflik ini.

Kedua, perubahan terminologi mengindikasikan bahwa militer akan semakin mengambil peran yang dominan dalam operasi di Papua. Penggunaan pendekatan militer ini justru telah lama diamati gagal dalam menciptakan situasi keamanan yang kondusif di Papua, justru akan semakin diintensifkan yang kemungkinan besar akan meningkatkan ketidakamanan di Papua. Dengan kata lain, pendekatan ini malah akan menjauhkan simpati warga Papua terhadap aparat keamanan.

Ketiga, pendekatan militer kemungkinan besar akan gagal total. Memang dalam sejarahnya terdapat keberhasilan mengalahkan separatisme secara total menggunakan penggunaan militer dalam operasi kontra-separatisme. Namun, mayoritas keberhasilan tersebut terjadi pada masa kolonial, ketika opini internasional cenderung bisu. Peningkatan kekerasan di Papua justru dapat memancing reaksi internasional yang akan membuat Indonesia menjadi terpampang di berita utama dunia.

Apa yang dapat kita ketahui dari perubahan terminologi Ini?

Perubahan terminologi separatisme di Papua secara mendadak ini dapat mengindikasikan kita beberapa hal berkaitan dengan kondisi lembaga negara di Papua.

Pertama, kurangnya sinergi antara TNI dan Polri. Meskipun TNI telah merubah terminologinya, Polri sampai saat ini masih menggunakan istilah KKB dan mengedepankan pendekatan hukum. Jelas bahwa terdapat perebutan antara kedua lembaga ini siapa yang akan memimpin operasi di Papua. Konflik antarlembaga ini juga ditunjukkan dengan bentrokan antara TNI-Polri akhir-akhir ini di Sorong.

Kedua, lemahnya transparansi yang dilakukan TNI. Perubahan mendadak ini mengejutkan berbagai pihak dan mempertanyakan prosedur pengambil kebijakan. Mengapa tidak dikonsultasikan dengan DPR, tetapi langsung diputuskan oleh Panglima mengingat perubahan ini dapat memiliki dampak luar biasa terhadap situasi keamanan di Papua? Selain itu, minimnya akuntabilitas terhadap kekerasan yang dilakukan oleh anggota TNI dapat malah mengurangi profesionalitas serta kepercayaan warga Papua terhadap aparat keamanan.

Terakhir, perubahan sepihak ini menunjukan tidak adanya strategi besar pemerintah dalam mengatasi konflik di Papua. Seperti artikel yang penulis tulis setahun yang lalu, tampaknya tidak ada perubahan yang berarti dalam menghentikan konflik di wilayah paling timur tersebut. Ketidakefektifan pendekatan militer, gelontoran ekonomi yang tidak ada korelasinya dengan penghentian kekerasan di Papua, serta Otsus yang turut gagal menyelesaikan masalah di Papua menunjukan pemerintah gagal memahami kompleksitas permasalahan di Papua.

Kesimpulan

Pada akhirnya penulis berargumen seperti pada artikel yang penulis tulis setahun yang lalu, bahwa dalam rangka menghentikan konflik di Papua, perlindungan warga sipil perlu menjadi prioritas. Pendekatan humanis dan politik perlu dikedepankan ketimbang militer. 

Melindungi warga sipil serta menambahkan kepercayaan mereka kepada aparat keamanan dapat memutus rantai dukungan terhadap OPM/KKB dari masyarakat sipil. Tanpa dukungan masyarakat sipil, keberadaan OPM/KKB tidak akan berlanjut.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *