Tata Kelola Energi Indonesia: Hanya Untuk Oligarki?

0

Ilustrasi kilang minyak. Foto: pixabay.com.

Ketika saya bergabung dengan gerakan ribuan mahasiswa dan rakyat Indonesia untuk menyuarakan aspirasi ke Senayan September silam, saya sempat berpikir bahwa momen itu merupakan titik nadir pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Betapa tidak? Berbagai RUU bermasalah sedang kencang-kencangnya dikerjakan, sementara aspirasi dari rakyat terus dipinggirkan. 

Ironinya, setelah delapan bulan berlalu, pemerintah seperti tak kunjung kehabisan akal untuk mengecewakan ekspektasi rakyatnya sendiri. Tengoklah bagaimana mereka bertindak akhir-akhir ini. Pemerintah lebih sering menyakiti perasaan rakyatnya, alih-alih fokus menangani pandemi. Hal ini tercermin melalui berbagai kebijakan tak terkoordinasi, carut-marut birokrasi, buruknya komunikasi, dan yang tak kalah penting, disahkannya RUU Minerba yang sarat kontroversi. 

Saya tak akan berpendapat mengenai bagaimana pemerintah merespon pandemi. Bagi saya, pejuang kesehatan, yang berjuang di garda terdepan dengan nyawa sebagai taruhan, lebih berhak menyuarakan pendapatnya akan hal ini. Namun, saya akan menyuarakan pendapat terkait hal yang menyakitkan hati: Bahwa ketika dihadapkan dengan masalah yang mempertaruhkan masa depan bangsa ini, pemerintah justru memilih untuk memihak kepada oligarki. Keberpihakan itu, antara lain, terlihat dari bagaimana negara membentuk tata kelola energi di bumi pertiwi. 

Ada Apa Dengan Tata Kelola Energi? 

Baru-baru ini, DPR RI (yang dalam kesempatan ini didukung penuh oleh pemerintah) mengesahkan RUU Minerba sebagai pengganti atas UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009. Terlihat jelas, bahwa kebijakan yang akan berperan penting dalam membentuk tata kelola energi ini bukan untuk kepentingan khalayak. Padahal, dunia sedang menghadapi permasalahan di bidang energi yang membutuhkan solusi kolektif sedini mungkin. 

Kita semua tahu, bahwa energi berbahan bakar fosil, yang menjadi sumber energi utama peradaban manusia sejak revolusi industri, merupakan objek yang tidak dapat memperbarui dirinya sendiri. Artinya, cepat atau lambat energi berbahan bakar fossil akan habis persediannya. 

Dari sudut pandang ekonomi, harga komoditas energi fosil (seperti minyak bumi dan batu bara) juga tak pasti. Hal ini tak lepas dari stabilitas perekonomian dan politik global yang tidak dapat diprediksi. Ketidakpastian ini bahkan memaksa berbagai negara yang sebelumnya menggantungkan pendapatan pada komoditas energi fosil untuk melakukan diversifikasi. Tak mengherankan jika berbagai pakar berpendapat bahwa komoditas energi fosil merupakan komoditas yang tak dapat diandalkan lagi. 

Terakhir dan mungkin yang paling penting, energi berbahan bakar fosil jelas-jelas membawa dampak buruk bagi lingkungan. Dalam proses pembakarannya, bahan bakar fossil menghasilkan emisi yang merusak tatanan iklim. Belum lagi, eksploitasi komoditasnya menghadirkan bencana ekologi yang mengacaukan keseimbangan ekosistem di muka bumi. Ibarat bom waktu, penggunaan bahan bakar fosil akan menjadi penyebab kehancuran apabila tidak ada upaya untuk segera menghentikannya. 

Dalam menjawab masalah-masalah diatas, berbagai ilmuwan dan pengampu kebijakan menyodorkan energi terbarukan sebagai solusi teknokratis. Energi terbarukan dipandang sebagai jawaban atas aspek ketersediaan, kestabilan harga, dan keramahan lingkungan dari sumber energi yang tidak dimiliki oleh energi berbahan bakar fossil. Hal ini mendorong hampir seluruh negara di dunia untuk memulai transisi energi dalam beberapa tahun terakhir. Berbekal pengetahuan, negara-negara mulai berlomba untuk menciptakan tata kelola energi yang berkelanjutan, dengan menanggalkan energi fosil dan menggalakkan penggunaan energi terbarukan. 

Celaka bagi Indonesia, pemerintah seperti tak peduli dengan masalah yang mereka hadapi. Alih- alih mengikuti tren global, Indonesia justru menjadi antagonis dengan berbagai upayanya mempertahankan penggunaan energi berbahan bakar fosil. Pada tahun 2018, proporsi energi yang bersumber dari batu bara dan minyak bumi di Indonesia adalah sebesar 73,8% dari total bauran energi nasional. Jumlah tersebut sangat jauh dibanding dengan proporsi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang hanya sebesar 6,2% di periode yang sama. 

Indonesia, Energi Terbarukan, dan Keberpihakan 

Harapan untuk transisi energi di Indonesia sebenarnya sempat muncul ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Dalam PP RUEN tersebut, pemerintah menargetkan pengurangan proporsi energi berbahan bakar fosil dan meningkatkan proporsi EBT. Dengan penuh optimisme, pemerintah memproyeksikan bahwa EBT akan memasok sekitar 23% dari total bauran energi nasional pada tahun 2025. 

Pada kenyataannya, pemerintah tak pernah menunjukkan keseriusan dalam memenuhi target yang mereka canangkan sendiri. Ibarat jauh panggang dari api, pemerintah justru memberikan insentif kepada industri energi berbahan bakar fosil (terutama industri batu bara), serta memelihara diskriminasi terhadap energi terbarukan. 

Dalam UU Minerba yang baru, disebutkan bahwa izin usaha tambang (dalam bentuk PKB2B) yang akan habis durasi kontraknya dapat memperbarui izin tanpa melalui mekanisme lelang. Padahal, PKB2B merupakan produk hukum era orde baru yang digunakan oleh pelaku lama di industri batu bara dengan hasil produksi lebih dari 70% dari total produksi nasional. Atas nama investasi dan debirokrasi, pemerintah melanggengkan sumber kekayaan segelintir orang, dan mengesampingkan kepentingan orang banyak atas kebutuhan sumber energi yang berkelanjutan. 

Lebih dari itu, pemerintah juga mempertahankan mekanisme Domestic Market Obligation (DMO) untuk industri batu bara di Indonesia. Melalui mekanisme yang sudah berlaku sejak tahun 2009 ini, pemerintah akan membeli hasil produksi batu bara dalam negeri untuk dijadikan sebagai sumber energi listrik. Kebijakan ini tentu menstimulus industri batu bara agar produknya terserap di pasar domestik. Sialnya, stimulus tersebut justru dilakukan dengan mengorbankan triliyunan anggaran negara untuk komoditas yang bahkan sudah usang di pasar energi internasional. 

Akibat tindakan pemerintah diatas, proses transisi energi di Indonesia berjalan begitu lamban. Beberapa NGO dan akademisi bahkan telah memberikan penilaian dini bahwa Indonesia tidak akan mencapai target bauran energi sesuai proyeksi. Padahal, Indonesia memiliki sumber EBT yang melimpah, mulai dari energi surya hingga bioenergi. Jumlah potensinya pun tak main-main, yakni sebesar 422 GW, jumlah yang cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan energi dalam negeri. Sayang, hingga tahun 2020 Indonesia baru memanfaatkan 2,4% dari total potensi tersebut. 

Pemerintah selalu berkilah bahwa ketidaksiapan teknologi dan tingginya harga komparatif energi terbarukan menjadi penyebab kelambanan transisi energi. Padahal, teknologi energi terbarukan sudah tersedia di pasar bebas dengan harga yang relatif terjangkau. Kalaupun pemerintah enggan mengimpor dengan berbagai retorikanya, mengapa pemerintah tidak memberikan bantuan untuk temuan-temuan dan karya anak bangsa? Disaat keberpihakan terhadap pengetahuan sangat dibutuhkan, pemerintah justru meneruskan insentif untuk kepentingan oligarki batu bara. 

Adapun pendapat bahwa energi fosil lebih murah dari energi terbarukan, ternyata merupakan sesuatu yang sangat manipulatif. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa listrik yang diproduksi dari batu bara di Indonesia lebih murah bukan karena nilai riil semata, melainkan karena “subsidi” yang diberikan oleh pemerintah. Bentuk “subsidi” tersebut sangat beragam, mulai dari bantuan resmi yang diatur undang-undang, hingga dukungan tidak resmi oleh perangkat negara di keseluruh rantai industri batu bara. Itu artinya, masyarakat sebenarnya dapat memperoleh listrik dengan harga lebih murah, apabila energi terbarukan mendapatkan perlakuan serupa. Tak mengherankan jika energi terbarukan menjadi sulit berkembang karena kebijakan-kebijakan yang menganakemaskan komoditas substitusinya. 

Menatap Kedepan 

Realitas diatas menunjukkan bahwa masalah tata kelola energi di Indonesia bukan terletak pada dimensi teknis, melainkan dimensi politis. Pemerintah sadar bahwa bahan bakar fosil bukanlah objek yang dapat memperbarui dirinya sendiri, dan mereka tetap menggunakannya sebagai komoditas utama sumber energi. Pemerintah tahu bahwa batu bara bukanlah komoditas yang laku di pasar internasional, namun tetap memaksakan industrinya beroperasi, dengan insentif yang mengorbankan uang rakyat. Pemerintah paham bahwa Indonesia sedang menuju bencana ekologi, dan meskipun mereka mengetahuinya, mereka memilih untuk tidak peduli. 

Bagi saya, tata kelola energi yang berkelanjutan akan menjadi kunci untuk menatap masa depan. Apabila tak segera berbenah, entah sampai kapan kita terjerumus kedalam kehancuran. Lebih dari kapanpun, pemerintah harus mulai menunjukkan keberpihakan kepada energi terbarukan, demi membentuk tata kelola energi yang berkelanjutan. 

Aji Said Muhammad Iqbal Fajri adalah mahasiswa tingkat akhir Program Studi Sarjana Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Dapat ditemui di Instagram dan Twitter dengan username @ajisaidiqbal.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *