Mendudukkan Jokowi, Mengembalikan Demokrasi

0

Ilustrasi Partai Politik di Indonesia. Foto: RMOL ID

Saya ingin memulai tulisan ini dengan catatan personal. Cukup pesimis dan sinis bahkan. Pada tempat pertama saya ingin menertawakan perayaan dan pemujaan berlebihan terhadap suatu posisi analisis, penjelasan, atau bahkan kepercayaan naif terhadap mungkinnya suatu individu untuk mengubah suatu sistem secara keseluruhan. Realitas politik yang belakangan mengemuka untuk saya sudah cukup untuk menonjok berikut mematahkan segala macam pernyataan yang menekankan argumen atau analisis individual semacam ini. 

Meski begitu, dalam pengamatan sekilas saya, melalui komen atau pernyataan nyeleneh yang belakangan berseliweran di berbagai sosial media atau tongkrongan, kepercayaan individualis semacam ini tidak juga hilang. Bahkan masih dipertahankan. Argumen-argumen individualis ini misalnya mengemuka dalam keluhan-keluhan remeh terhadap pentingnya tidak memilih salah satu paslon yang otoritarian atau mengkritik langkah presiden saat ini sebagai kemunduran demokrasi tanpa analisis struktural. Hal ini punya beberapa konsekuensi menjengkelkan. Pertama, memunculkan ilusi bahwa salah satu paslon saat ini, selain paslon yang dianggap merusak demokrasi, bisa mengembalikan demokrasi ke jalan yang sebenarnya. Kedua, mengabaikan sama sekali kondisi-kondisi struktural macam apa yang memungkinkan gestur anti-demokrasi ini terjadi. 

Tulisan saya kali ingin berangkat lebih jauh dari hiruk pikuk pernyataan yang kerap beredar ini. Tujuan utamanya sederhana, menempatkan Jokowi pada tempatnya. Dengan kata lain, kondisi struktural yang memungkinkan Jokowi untuk melakukan manuvernya belakangan mesti dieksplisitkan. Argumentasi utamanya sederhana, fenomena politik Jokowi belakangan adalah produk asli, meski tentu tak direncanakan, dari demokrasi paska reformasi Indonesia. Dengan argumen semacam ini, problematisasi lebih lanjut juga mulai bisa mengemuka. Seruan-seruan yang belakangan lantang disuarakan terkait penyelamatan demokrasi boleh jadi mulai dilihat secara lebih problematis. Apabila ditelaah secara lebih lanjut, demokrasi macam apa yang ingin diselamatkan dari seruan-seruan ini?

Kompetisi Tanpa Kontestasi dan Personalisasi Partai Paska Reformasi

Saya ingat di suatu kelas Pengantar Ilmu Politik Indonesia, dosen saya menyatakan pernyataan yang mengundang tanya waktu itu. Bunyinya kurang lebih begini, “Yang (membuat) gagal kita reformasi di tahun 99 itu partai politik kita.” Pernyataan ini akan menjadi titik tolak saya dalam menjelaskan lanskap politik berikut demokrasi Indonesia. Hal ini juga semakin diperkuat dengan fakta bahwa aktor politik paling dominan yang membentuk lanskap politik Indonesia adalah partai politik itu sendiri; salah satu yang paling signifikan sampai sekarang misalnya adalah pembentukan electoral threshold yang tidak memungkinkan calon independen untuk maju sebagai presiden.

Meski dapat dibenarkan bahwa partai politik Indonesia itu tidak direformasi secara utuh, penting pula untuk menggarisbawahi keberlanjutan maupun kebaruan macam apa yang terjadi pada partai politik Indonesia paska reformasi. Pada tempat pertama, mengenai kebaruan, relasi di antara partai memang secara drastis berubah. Bahkan boleh dikatakan sebagai produk asli dari reformasi. Hal ini utamanya mengarah pada relasi kompetitif di antara partai politik di Indonesia. Jika di Orba partai begitu didominasi oleh Golkar, dan karenanya kental dengan sentralisasi, reformasi mengubah sama sekali keadaan sentralisasi. Kompetisi di antara partai mulai terlihat dan memberi kesan munculnya demokrasi. Meski begitu, kompetisi di antara partai ini pada dasarnya tidak pula lepas dari beberapa warisan struktural Orba, di antaranya adalah keberadaan oligarki dari zaman Orba dan minimalnya pelibatan masyarakat sipil dalam proses internal partai (Robison dan Hadiz, 2004).

Konsekuensi dari kenyataan semacam punya pengaruh besar pada lanskap politik Indonesia berikut relasi antar partai politiknya. Eksistensi oligarki dalam politik Indonesia misalnya, alih-alih mengalami demokratisasi total, pada praktiknya sangatlah selektif. Hadiz dkk misalnya mencatat bahwa area-area seperti pengelolaan sumber daya alam, desentralisasi, keterlibatan militer, dan pemberantasan korupsi mengalami tren penurunan signifikan (lihat Hadiz, V. dkk, 2019). Di samping itu pada tataran internal partai, hal ini memunculkan realitas politik yang cenderung mempunyai sifat transaksional tanpa suatu kontestasi berarti (lihat Lane, Max, 2019). Hal tersebut benar saja, sejak pemilu 2004 sampai 2019, kita melihat betapa kompetisi antar partai politik ini bersifat sementara dan begitu transaksional. Kita tidak bisa membedakan sama sekali perbedaan politis maupun ideologis partai dalam pemilu maupun berjalannya pemerintahan. Keadaan yang memungkinkan ini tidak lain karena di balik keseluruhan partai ini, oligarkilah yang berada di belakang mereka. Pemilu kali ini tidak ada bedanya (Hadiz, 2024).

Sementara itu, kondisi di muka juga diperparah dengan minimnya proses regenerasi internal partai. Partai politik paska reformasi sama sekali tidak melakukan gestur progresif untuk menghilangkan warisan politik massa mengambang Orba. Tidak ada proses kaderisasi internal atau transformasi nilai untuk kader partai; (wong memang tidak punya visi yang jelas). Proses perekrutan dilakukan secara pragmatis dan mengecilkan kadar loyalitas kader. Alih-alih demikian, partai mengambil jalan pintas dengan merekrut figur-figur lokal terkenal, seperti artis, politisi independensi lokal yang punya elektabilitas tinggi, dan seterusnya. Walhasil, kita jarang melihat regenerasi partai. Partai menjadi begitu terpersonalisasi (Ulla, 2019); suatu produk asli dan langsung dari demokrasi paska reformasi. Mungkinkah kita membayangkan, misalnya, Demokrat tanpa SBY, PDIP tanpa Megawati, Gerindra tanpa Prabowo, atau Nasdem tanpa Surya Paloh? Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika nature dari kompetisi partai sampai saat ini tidak substanstif dan sangat diwarnai oleh ambisi personal masing-masing ketua partai (lihat Lane, 2024). Keseluruhan lanskap politik ini ada sebelum Jokowi dan karenanya, berikut argumen utama tulisan saya ini, mesti menjadi catatan penting untuk memahami manuver Jokowi belakangan ini.

Jokowi dan Gestur Iliberal Demokrasi Indonesia

Ketika pertama kali muncul dalam kontestasi politik nasional, Jokowi dielu-elukan sebagai suatu hasil langsung dari demokrasi paska reformasi. Hal ini diikuti dengan argumen-argumen yang menekankan latar belakangnya yang tidak terlibat dalam sistem politik Orba. Dia dianggap orang baru dalam politik. Citranya yang ‘merakyat’ dan pentas politik yang mengoposisikannya dengan kompetitor utamanya, Prabowo, membuat elektabilitasnya meroket. Dengan mudah dia menjadi salah satu figur politik yang elektabilitasnya meroket hingga 80-an persen lebih dan mengerek namanya di kancah nasional. Hal ini membuat parpol menggandengnya dan mendorongnya untuk menjadi presiden. Meski begitu, dia dengan segera berhadapan dengan realitas politik Indonesia. Oligarki dan parpol ada di hadapannya untuk menunggu jatah. 

Pada kenyataan semacam ini, apa yang Jokowi perbuat? Sejarah mencatat beliau dengan semangat memilih untuk mengikuti aturan main ini dengan sedikit pembaharuan (lihat Anugrah, 2020). Ia merangkul oposisi, bahkan kompetitor utamanya dijadikan menteri, demi memuluskan kebijakannya di DPR. Dia juga memberikan tidak sedikit jabatan menteri untuk banyak oposisinya. Meski ia tetap mempertahankan beberapa posisi strategis pada orang-orang kepercayaannya, yang secara umum justru punya latar militer, ini tidak mengubah fakta bahwa dia mengikuti aturan main dominan dalam lanskap politik Indonesia ini. Tindakan ini merupakan pilihan sadar sebab beliau punya pilihan lain dengan mengandalkan banyak jumlah relawan non-partai yang mendukungnya. Tindakannya yang belakangan juga meneruskan politik dinasti, baik dari sisi pilpres maupun parpol/PSI, merupakan keberlanjutan dari sikapnya selama memimpin. Di samping itu, sikap semacam ini juga bukan anomali dalam lanskap politik berikut demokrasi Indonesia (Kuddus, 2021). Setiap partai mengandalkan figur kuat dan punya popularitas. Soal penerobosan hukum, bukankah hal ini juga sudah lumrah sebelum dan selama Jokowi menjabat? Sewaktu UU Omnibus Cipta Kerja atau UU KPK disahkan, bukankah parpol-parpol yang lain justru dengan senang hati mendukung ini?

Selamatkan Demokrasi Indonesia: Demokrasi Macam Apa yang Mau Diselamatkan?

Tentu saja, orang mungkin akan berargumen bahwa Jokowi kali ini terlalu brutal. “Terlalu kasat mata”. “Merusak demokrasi”. Begitu kira-kira pernyataan ini diajukan ke saya ketika mengajukan perbandingan paslon-paslon lain yang tidak kalah buruknya. Saya pernah iseng bertanya ke orang dekat saya yang getol mengkritik pemerintah saat ini dan menjagokan paslon lain. “Sekiranya manuver Jokowi ini menguntungkan paslon yang Anda pilih, apakah Anda akan bersikap sekritis ini juga?” Orang dekat saya itu terdiam. Diamnya dia ini entah melambangkan apa. Mungkin dia sedang menghitung-hitung kemungkinan kemenangan dari paslonnya itu jika hal tersebut terjadi. 

Untuk saya, tipikal argumen individualis terhadap manuver Jokowi ini terlalu naif. Hal ini juga sama naifnya dengan seruan-seruan yang belakangan beredar. “Selamatkan demokrasi”.Ada kemunduran demokrasi”. Saya tidak anti terhadap seruan semacam ini. Tentu saja saya senang melihat gerakan sipil semacam ini. Hanya saja, dengan menargetkan sasaran kritik hanya pada satu sosok atau paslon tertentu dan dengannya merasa proyeksi dan alur demokrasi Indonesia akan kembali ke jalan yang benar agaknya mustahil sekali untuk dipikirkan. Dalam kepala orang-orang yang menyerukan seruan ini, saya ingin iseng bertanya. Demokrasi macam apa yang ada dalam imajinasi mereka? Demokrasi sebelum Jokowi? Tipe demokrasi yang justru melahirkan sosok bernama Jokowi itu sendiri? Naif, bukan?

Kalaupun ingin menyelamatkan demokrasi, untuk saya, tidak ada jalan lain selain mengubah struktur berikut lanskap politik Indonesia yang telah saya sebutkan di muka. Bagaimana caranya? Dengan mengorganisasikan kekuatan progresif masyarakat secara keseluruhan dan menyatukannya dalam suatu organisasi politik terpadu. Apa persisnya organisasi ini? Saya hanya bisa membayangkan partai politik. Selain menjadi aktor politik dominan dalam lanskap politik Indonesia, model pengorganisiran yang tidak padu, sporadis, dan tidak jangka panjang semacam NGO, relawan, atau gerakan mahasiswa terbukti tidak menghasilkan apa-apa (lihat Mudoffir, 2021). Untuk saya, sejauh ini, cara ini yang setidaknya punya prospek ke depannya. Yang lain skip dulu. 

Referensi

Anugrah, Iqra. “The Illiberal Turn in Indonesia Democracy,” The Asia Pacific Journal, Vol. 18 (8), No.1, p.1-17. 2020

Hadiz, V. dkk. “Two Decades of Reformasi in Indonesia: Its Illiberal Turn.” Journal of Contemporary Asia, Vol. 49, No.5, p. 691-712. 2019

Hadiz, Vedi. The Past is Present in Indonesia’s Presidential Election. Melbourne Asia Review. 2024. Acessed in 1st February 2024

Kuddus, Rohana. Explaining Jokowi. New Left Review. 2021.Accessed in 1st February 2024

Lane, Max. “Indonesia’s New Politic: Transaction Without Contestation,”in Continuity and Change After Indonesia’s Reforms. Singapore: ISEAS. 2019

Lane, Max. The Twin Axis in Indonesian Politics: Elite Personal Ambitions and the Alienation of Civil Society. Fulcrum.sg. 2024. Acessed in 1st February 2024

Mudofir, Mughis. Aktivisme Borjuis:Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi. Project Multatuli. 2021. Acessed in 1st February 2024

Robison, R. dan Hadiz, Vedi.  Reorganizing Power in Indonesia, The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. Routledge. 2004

Ulloa, Fiona. “Indonesian Parties Twenty Years On: Personalism and Professionalization amidst Dealignment,” in Continuity and Change After Indonesia’s Reforms. Singapore: ISEAS. 2019

Nandito Oktaviano adalah lulusan sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Hasanuddin. Nandito dapat dikontak melalui ditoguntur10@gmail.com

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *