Daripada Bingung, Mending Menpora Dukung Pemain Naturalisasi

0

Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Indonesia Dito Ariotedjo. Foto: Kemenpora RI

Dalam perhelatan SEA Games 2023 di Phnom Penh terjadi banyak hal nyeleneh yang terjadi, khususnya dari sisi Kamboja sebagai tuan rumah. Salah satu diantaranya adalah penggunaan pemain-pemain naturalisasi secara ekstensif oleh tim Kamboja, seperti yang terjadi dalam pertandingan tim basket.

Tim Kamboja yang diperkuat oleh delapan pemain naturalisasi memenangi pertandingan melawan jagoan basket ASEAN, seperti Singapura dan Filipina. Alhasil, Kamboja memuncaki klasemen sementara di grup B. Dalam satu pertandingan yang tersisa di grup B, yakni melawan Malaysia, Kamboja juga diprediksi akan menang.

Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) baru Indonesia, Dito Ariotedjo, mengaku bingung dan kehilangan kata-kata melihat tim Kamboja yang kekuatannya seperti tim Amerika. “Ya namanya juga tuan rumah, saya juga bingung mau berkata apa,” tandasnya.

Penggunaan ekstensif pemain naturalisasi ini, bersama dengan berbagai hal nyeleneh lainnya, memancing respon yang menuduh Kamboja curang dan berlaku tidak adil.

Indonesia dan Pemain Naturalisasi

“Bingung” sebagai respon pertama Menpora Dito sepertinya wajar saja, saya juga akan cukup kaget menyaksikan fenomena tersebut. Akan tetapi, tampaknya tidak elok apabila beliau bingung terus-terusan. Padahal, Dito memiliki wewenang sebagai Menpora yang dapat memengaruhi pembentukan kebijakan, termasuk dalam kebijakan pemain naturalisasi.

Praktik naturalisasi untuk kepentingan olahraga menjadi praktik yang lazim dilakukan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia. Indonesia terbilang cukup baru dalam menggunakan pemain naturalisasi, yakni sejak 2010 ketika Indonesia menerima Cristian Gonzalez sebagai pemain naturalisasi bergabung dengan Timnas Indonesia dalam ajang AFF 2010.

Sejak AFF 2010, Indonesia tercatat terus menggunakan pemain naturalisasi dalam perhelatan AFF selanjutnya. Akan tetapi, pemain naturalisasi yang digunakan hanya 1-3 orang saja. Dalam perhelatan AFF terakhir pada 2022, Indonesia menggunakan 3 pemain naturalisasi.

Sumber: DataIndonesia.id

Dibandingkan dengan negara lain, jumlah ini masih terbilang wajar. Filipina misalnya, menggunakan hingga 12 pemain naturalisasi.

Bahkan dengan jumlah yang standar ini, pemain naturalisasi tidak jarang dicibir masyarakat hingga para pembuat kebijakan itu sendiri. Menko PMK Muhadjir Effendi misalnya menyebut penggunaan pemain naturalisasi bisa menutup talenta lokal Indonesia. Menpora sebelumnya, Zainuddin Amali juga menyebut pemain naturalisasi hanya “solusi jangka pendek” bagi persepakbolaan Indonesia.

Itu kalau ngomong di tataran internasional, beda lagi kalau di dalam negeri Indonesia. Pemain naturalisasi yang bermain di klub-klub lokal disebut mendapat lebih banyak tantangan dibanding yang hanya bermain di timnas.

Baru-baru ini PSSI dibawah pimpinan Erick Tohir ngide menggulirkan peraturan bahwa setiap klub Liga 1 hanya boleh diperkuat oleh maksimal dua pemain naturalisasi pada musim 2023/2024. Peraturan yang belum jelas penerapannya ini sontak memicu kontroversi.

Para pesepakbola naturalisasi, yang secara sah telah menjadi WNI, mengkritik peraturan ini sebagai diskriminatif karena memberikan dikotomi antara WNI dan pemain naturalisasi. Ibarat giliran di timnas WNI, tapi kalau di klub pemain naturalisasi. Beberapa pihak bahkan menganggap ini melanggar HAM karena mengompromikan kewarganegaraan seseorang.Selain sepak bola, tercatat hanya sedikit cabor lainnya yang menggunakan pemain naturalisasi. Basket termasuk dalam cabor baru yang mendapat tambahan tenaga pemain naturalisasi dari tiga pemain asal Senegal, yang telah disumpah menjadi WNI pada 2021 lalu.

Mencari Keseimbangan Dengan Pemain Naturalisasi

Olahraga memang kerap kali berkaitan erat dengan nasionalisme dan imajinasi kebangsaan, termasuk isu kewarganegaraan, yang membuatnya menjadi pelik. Akan tetapi, hal ini tidak berarti persoalan ini tidak bisa kita urai dan pahami secara rasional. Terdapat setidaknya dua poin yang harus diperhatikan dalam perihal ini.

Pertama, pemain naturalisasi sebagai modal peningkatan daya saing timnas Indonesia. Tidak jarang penggunaan pemain naturalisasi di-frame sebagai kegagalan pembinaan terhadap talenta lokal atau bahkan mengorbankan pemain lokal. Tentunya, orang-orang yang berkomentar demikian tidak paham bahwa olahraga kini menjadi semakin global dan semakin kompetitif.

Ketika kita berbicara tentang talent pool suatu olahraga, terlebih dari perspektif klub yang pada dasarnya merupakan sebuah bisnis, tentu mereka ingin merekrut para pemain terbaik dari seluruh dunia. Klub-klub di Eropa yang menjadi kiblat sepak bola dunia tidak mewajibkan naturalisasi untuk berpindah klub, itu mengapa transfer musiman dapat terjadi dengan mudah tanpa perlu gonta-ganti kewarganegaraan.

Persoalannya menjadi sedikit berbeda dalam kasus timnas, sebab tim nasional tentu berkaitan erat dengan national pride suatu negara. Akan tetapi, bahkan dalam hal ini pemain naturalisasi terbukti berguna untuk membawa kemenangan. Pemain naturalisasi juga dapat menjadi jembatan untuk transfer knowledge dan mengakselerasi peningkatan kemampuan talenta lokal. Kalau mau 100% lokal, berarti ya kita akan mulai dari 0 banget. Sementara itu, negara lain yang paham sifat global dari olahraga sudah melesat jauh di depan.

Namun, bisa dibilang tidak ada klub maupun negara yang pemainnya 100% naturalisasi. Sebaliknya, ada keseimbangan tertentu dalam kombinasi pemainnya. Ini membawa kita ke poin kedua.

Kedua, pemain naturalisasi, kewarganegaraan, dan imajinasi kebangsaan. Naturalisasi pemain umumnya tidak dilakukan secara asal-asalan, melainkan berkaitan dengan ketentuan keturunan (ancestry) atau minimum residency sekian tahun di negara yang berkaitan. Banyak diantara pemain naturalisasi Kamboja memiliki keturunan Kamboja, demikian juga pemain naturalisasi Indonesia.

Klub dan timnas juga cenderung menjaga proporsi pemain lokalnya. Suatu tim akan terasa asing apabila semuanya tidak “terlihat” seperti orang di kota atau negaranya. Sementara itu, menjaga pride lokal atau nasional itu penting dalam olahraga.

Akan tetapi, pertanyaan lebih lanjut bisa kita ajukan jika melihat tim dan olahragawan asal Amerika misalnya, yang tidak hanya terdiri dari orang kaukasian berkulit putih, tetapi juga orang Afro-American, Chinese-American, hingga Indian-American. Imajinasi kebangsaan Amerika tidak mengaitkan suatu ras atau etnis sebagai identitas ke-Amerika-an, melainkan komitmennya kepada Amerika dan, tentu saja, kontribusinya di cabor masing-masing.

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah pemain timnas Indonesia harus berkulit sawo matang dan memiliki nama yang terdengar lokal? Hemat saya, ke-Indonesia-an seorang pemain, dan idealnya siapapun yang ingin menjadi WNI, seharusnya dinilai dari komitmen dan kontribusi mereka terhadap Indonesia. Sayangnya, sepertinya imaji bangsa Indonesia masih lekat dengan nativisme yang sekali-kali meletus. Indonesia memang beragam, tetapi masih aneh kalau orang yang berkulit terlalu putih atau terlalu hitam menjadi orang Indonesia.

Sebagai tambahan dari perspektif pemain, pada dasarnya pemain mengutamakan kepentingannya sendiri sebagai pemain untuk sukses. Jadi ini bukan selalu masalah negara, tetapi negara mana yang mau menerima dan berproses bersama seorang pemain menuju kesuksesan. Negara butuh pemain karena nilainya, tetapi pemain juga butuh negara untuk bernaung.

Oleh karena itu, keseluruhan fenomena pemain naturalisasi yang melibatkan negara, klub, pemain, dan nasionalisme ini bijaknya dilihat sebagai suatu proses untuk mencari sebuah keseimbangan. Tidak ada ekses yang baik, baik itu dari sisi pemain naturalisasi maupun nasionalisme yang berlebihan.

Akan tetapi, olahraga di Indonesia tampak masih belum mengoptimalkan peran pemain naturalisasi. Pemain naturalisasi masih mendapat banyak tantangan dan diskriminasi. Daripada bingung berkepanjangan, seharusnya kita—terutama Menpora—berusaha mencari keseimbangan baru dengan mendukung para pemain naturalisasi di Indonesia.

Ikhlas Tawazun merupakan lulusan dari Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan Editor-in-Chief Kontekstual. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @tawazunikhlas 

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *