Serangan Senja, Perempuan, dan Politik Rabun Ayam

0

Ilustrasi Rabun Ayam. Foto: Peshkov/Depositphotos

Tulisan ini ditulis selepas maghrib, setelah saya menyaksikan praktik politik uang (money politics) pada sore hari tangal 13 Februari 2024, beberapa jam sebelum pemilu di keesokan paginya. Mungkin sekarang bukan lagi jamannya serangan fajar, tapi “serangan senja”. Terdengar lebih edgy dan kekinian bukan.

Sore itu saya dan ibu saya sedang menghampiri sekumpulan ibu-ibu tetangga yang sedang santai sore. Masing-masing dari mereka terlihat membawa selembar amplop di tangan. Rupanya mereka baru saja mendapat jatah serangan fajar serangan senja dari Pak RT. Jika ada yang bertanya kenapa saya menyebut “mereka,” itu karena saya dan keluarga tidak pernah mendapat amplop semacam itu meskipun berada di wilayah yang sama. Mungkin karena ayah saya merupakan seorang aparatur negara. Kembali ke amplop, amplop tersebut berisi selembar uang pecahan lima puluh ribu rupiah yang dilipat menjadi dua dan secarik kertas berisi gambar dan nama salah satu calon legislatif. Tentu kita tahu sama tahu maksudnya, yakni agar masyarakat yang mendapatkan amplop tersebut mencoblos orang yang ada di gambar itu.

Peritiwa semacam ini memang sudah lazim terjadi di saat-saat mendekati pemilu. Seakan dinormalisasi, masyarakat bahkan menunggu-nunggu pembagian sembako atau amplop berisi uang. Hal ini menjadi bukti bahwa politik uang masih menjadi metode pendulangan suara yang populer dan mujarab, terutama di desa-desa. Bahkan, tak jarang perangkat desa menjadi koordinator pembagian amplop tersebut, sebagaimana di desa saya yang didistribukan oleh RT setempat. Sasarannya sebagian besar adalah para ibu rumah tangga. Alasannya karena mereka lah yang lebih banyak berada di rumah daripada bapak-bapak yang biasanya baru pulang bekerja pada sore hingga malam hari. 

Alasan lain dipaparkan oleh Neni Nur Hayati dalam penelitiannya pada tahun 2021 yang berjudul “Money Politics and Regression of Democracy: Women Voters Vulnerability in Transactional Politics” (Democracy and Electoral Empowerment Partnership, n.d.). Menurutnya, terdapat dua alasan yang mendasari kerentanan perempuan sebagai target politik uang. Pertama, minimnya edukasi politik dan pengetahuan mengenai regulasi pemilu membuat mereka menerima politik uang meskipun tahu bahwa perbuatan tersebut terlarang. Akibatnya, tidak sedikit perempuan yang harus berurusan dengan hukum dan mengikuti berita acara klarifikasi oleh Bawaslu akibat menerima uang atau materi lainnya dari kandidat politik. Kedua, perihal ekonomi juga menjadi pemicu kerentanan perempuan sebagai objek politik uang. Di mana bagi perempuan di pedesaan, nominal uang sebesar lima puluh ribu hingga seratus ribu rupiah merupakan jumlah yang besar dan bisa digunakan untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. 

Selain alasan di atas, adanya tekanan politik atau sosial dari pihak pemberi juga dapat menjadi dorongan perempuan untuk menerima politik uang. Sebagaimana yang saya sebutkan sebelumnya, politik uang kerap kali dibagikan oleh perangkat desa. Dimana pada umumnya, merupakan orang yang dihormati oleh penduduk desa setempat sehingga terdapat rasa sungkan dalam menolak politik uang tersebut. Di luar itu, faktor lain menurut riset Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah adanya sikap serba membolehkan atau permisif dari perempuan (Pusat Edukasi Antikorupsi, 2023). Perempuan pada akhirnya menerima pemberian politik uang karena menganggap hukuman atas tindakan tersebut relatif rendah dan tidak akan menyulitkan mereka. 

Di kasus yang terjadi pada ibu-ibu tetangga saya, mereka mantap memilih kandidat politik yang memberikan uang kepada mereka, meskipun tidak mengenal orang tersebut, apalagi tahu visi dan misinya. Prinsipnya: “Yang penting dapat uang atau sembako, coblos!”. Sangat transaksional.

Hal ini mengingatkan saya pada konsep “political myopia” atau bias rabun jauh dalam politik (juga populer disebut sebagai “politik rabun ayam”) di mana kita cenderung memilih reward yang bisa didapatkan instan saat ini, walaupun nilainya lebih kecil dibandingkan hadiah yang lebih besar tapi hanya bisa diperoleh di masa depan. Dalam artian, masyarakat lebih memilih politik uang yang bisa didapatkan saat itu juga daripada realisasi janji kebijakan yang bisa menyejahterakan di masa depan. Dengan begitu, masyarakat menjadi “rabun jauh dalam politik”, gagal memiliki visibilitas yang lebih jauh ke depan dan cenderung mengambil keputusan politik dengan pola pikir jangka pendek. Secara lebih lanjut, hal ini menjadikan demokrasi pasca reformasi diwarnai dengan kapitalisasi politik. Dimana logika politik kemudian diubah menjadi logika ekonomi. Kolektivitas rakyat diibaratkan sebagai trade-off yang berbasis rasio supply and demand, sehingga suara rakyat tidak lebih dari sekedar goods atau komoditas yang bisa diperjualbelikan dan ditawar.

Meskipun begitu, keputusan masyarakat secara umum atau wabil khusus ibu-ibu tetangga saya untuk menerima politik uang tersebut tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Sikap mereka lahir sebagai imbas dari kecurangan para kandidat politik yang kemudian mengkhianati janjinya kepada rakyat ketika sudah terpilih. Memang betul bahwa ketika ada permintaan, maka ada penawaran. Akan tetapi, jika para pejabat terpilih yang menduduki kursi pemerintahan tersebut mampu memenuhi kebutuhan rakyat dan bukannya mengecewakannya, tentu suara rakyat tidak akan semudah itu dibeli. Pada akhirnya, tidak heran jika politisi yang terpilih pun menjadi pemimpin hanya karena uangnya, bukan karena rekam jejak kinerja, gagasan, atau jasanya kepada rakyat.

Pada saat artikel ini diterbitkan, mungkin Indonesia sudah memilih presiden barunya. Siapa pun itu, semoga merupakan sosok pemimpin yang dapat mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kemaslahatan bagi rakyat. Wallahu’alam.

Devi Yuni Ekasari merupakan mahasiswa di Universitas Airlangga. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @deviekasari_

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *