Mengulas Pemikiran Politik Luar Negeri Bung Hatta

0

Ilustrasi Mohammad Hatta. Foto: Domain publik

Pada masa awal kemerdekaannya, bangsa Indonesia bagaikan sebuah perahu kecil yang berhadapan dengan dua karang besar, sebuah bangsa yang baru merdeka di tengah persaingan ideologis dua negara adidaya. Kemerdekaan yang telah lama diimpikannya berhasil direbut, tetapi kini terancam kembali terenggut. Maka dari itu, agar dapat terus berlayar dan tidak tenggelam, perahu tersebut harus berhati-hati mendayung di antara dua karang. Logika inilah yang digunakan wakil presiden pertama Indonesia, Mohammad Hatta, ketika mengemukakan gagasannya mengenai doktrin politik luar negeri Indonesia di hadapan sidang Komite Nasional Indonesia Pusat pada September 1948.

Kala itu, ia tengah menjabat sebagai perdana menteri dan dihadapkan langsung pada dampak dari persaingan global Perang Dingin. Bangsanya yang besar dan beraneka ragam itu tampak semakin terpecah belah akibat pertentangan ideologis antara berbagai kekuatan sosial-politik yang berusaha mewujudkan visinya masing-masing bagi masa depan Indonesia. Gagasan Bung Hatta yang kemudian dikenal sebagai ‘Bebas-Aktif’ merupakan buah pemikiran pragmatis sekaligus idealistisnya bagi Indonesia untuk menghadapi berbagai tantangan domestik dan dinamika politik internasional. Terbukti hingga saat ini, Bebas-Aktif masih lestari dan konsisten digunakan sebagai landasan kebijakan luar negeri Indonesia.

Prinsip ini tidak jarang diinterpretasikan sebagai keharusan Indonesia berkedudukan “netral”—bahkan sampai hari ini. Netralitas dalam politik internasional secara harfiah berarti ketidakberpihakan terhadap negara-negara yang berselisih atau stance “antisosial” di tengah komunitas internasional; jelas Indonesia tidak ingin menjauhkan diri dan justru ingin berperan aktif dalam tatanan global. Kesalahpahaman ini diluruskan oleh Hatta dengan menyatakan bahwa keberpihakan Indonesia terletak pada solidaritas internasional atau “international solidarity” untuk menegakkan dan mempertahankan perdamaian dunia, terlebih di tengah Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Maka dari itu, Indonesia berusaha menjalin hubungan berlandaskan equal footing dengan semua bangsa.

Situasi tersebut mengancam upaya negara pascakolonial seperti Indonesia untuk berkonsentrasi membangun tatanan politik dan ekonominya sendiri setelah berjuang merebut kemerdekaan. Sebab, kedua negara adidaya berusaha mengintervensi urusan domestik negara-negara baru untuk menarik mereka masuk ke dalam blok masing-masing. Keduanya juga cenderung mendiskreditkan siapapun yang menolak “ajakan” mereka, khususnya AS yang kerap memberi label “komunis” pada gerakan-gerakan antikolonial yang menentang hegemoni Barat. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa AS tidak menghargai eksistensi ideologi lain selain daripada yang mereka sendiri anut, suatu tindakan munafik menurut Bung Hatta bagi AS yang (seharusnya) menjunjung dan menghargai kebebasan berpendapat.

But I think the American people, with their high democratic ideals, will agree with me that other peoples can hold different views and still be democratic. A democracy which is intolerant of other viewpoints is no longer democracy but strays into totalitarian ways of thinking.

Bung Hatta juga membantah anggapan bahwa dengan melawan kolonialisme, Indonesia berupaya membangun sebuah “blok ketiga” bersama bangsa-bangsa Asia-Afrika. Kepentingan Indonesia sebenarnya hanyalah mengkoordinasikan upaya negara Dunia Ketiga untuk mendorong kedua blok yang bertikai agar dapat hidup berdampingan dalam damai. Bangsa Indonesia secara alamiah mencita-citakan persaudaraan umat manusia yang setara, tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, di bawah payung perdamaian dunia. Jika Indonesia bergabung dengan salah satu blok atau berupaya membuat blok ketiga sebagai tandingan, cita-cita tersebut akan buyar seketika karena akan memunculkan perselisihan dengan anggota blok lain. Atas dasar inilah di kemudian hari, selain Konferensi Asia-Afrika, Indonesia juga menginisiasi Gerakan Non-Blok.

Selain itu, Hatta meyakini kemerdekaan dari belenggu kolonialisme bagi bangsa jajahan merupakan kunci bagi perdamaian dunia di tengah hangatnya Perang Dingin. Hatta berargumen dengan membandingkan upaya dekolonisasi Britania di India dan tindakan agresi Belanda di Indonesia. Menurutnya, kemerdekaan yang diberikan secara sukarela dapat menjadi jalan bagi terjalinnya hubungan yang positif antara negara penjajah dan bekas jajahannya, seperti Britania dan India. Sebaliknya, kemerdekaan yang direbut dengan kekuatan bersenjata cenderung menimbulkan “luka mendalam” di kedua belah pihak, seperti halnya yang terjadi pada Belanda dan Indonesia. Jelas, kolonialisme menjerumuskan bangsa-bangsa ke dalam permusuhan dan dendam yang berkepanjangan. Bahkan, menurut Hatta, ada kemungkinan sentimen tersebut memicu konflik bersenjata dalam skala besar yang bisa berkembang menjadi Perang Dunia Ketiga.

Perjuangan Indonesia melawan kolonialisme diilhami oleh semangat nasionalisme, yang kerap diinterpretasikan secara keliru oleh bangsa Barat sebagai sentimen eksklusif, ekspansionis, dan agresif—wajar, karena Eropa baru saja menyaksikan Perang Dunia II yang dimotori oleh nasionalisme berlebihan. Namun nyatanya, tidak seperti nasionalisme di belahan bumi Barat yang cenderung eksklusif dan ditentukan oleh identitas primordial, nasionalisme Indonesia menurut Bung Hatta bersifat inklusif dan dilandaskan atas kesadaran kolektif mengenai kesamaan pengalaman sejarah dan cita-cita masa depan. Di tengah tuduhan asing bahwa sikap pemerintah Indonesia di bawah Soekarno cenderung ekspansionis, Bung Hatta menegaskan bahwa Indonesia tidak memiliki klaim terhadap wilayah manapun di luar teritori eks-Hindia Belanda. Alasannya, kesadaran kolektif yang mendasari nasionalisme Indonesia hanya dapat dikatakan tumbuh di dalam tubuh masyarakat yang tinggal di wilayah bekas Hindia Belanda. Oleh karena itu, daerah Kalimantan Utara ataupun Timor Portugis tidak dituntut untuk menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Indonesia.

Salah satu wilayah bekas Hindia Belanda yang menjadi sumber perselisihan dengan Belanda adalah Papua Barat, atau “West New Guinea” menurut kamus kolonial. Meskipun pernah menentang penyertaan Papua Barat sebagai bagian dari wilayah negara Indonesia merdeka atas dasar perbedaan rasial dan kultural, Hatta kemudian mendukung upaya membebaskan Papua Barat dari penjajahan Belanda atas dasar antikolonialisme. Ia memandang kegigihan Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya di Papua Barat sebagai bentuk keinginan menjaga prestise kolonialnya di mata dunia, dengan dalih “mempersiapkan penduduk untuk self-government”. Namun sebenarnya, tidak ada niat baik untuk mengedepankan kesejahteraan masyarakat lokal di balik sikap tersebut. Tanpa penyerahan Papua Barat dari Belanda ke tangan Indonesia—yang sudah dijanjikan sejak Konferensi Meja Bundar pada 1949—Hatta meyakini perjuangan kemerdekaan Indonesia belum kunjung selesai.

Sementara itu, di seberang Selat Malaka, gejolak politik melanda Semenanjung Malaya. Rencana Britania untuk memerdekakan wilayah jajahannya di Asia Tenggara menjadi suatu “Federasi Malaysia” menimbulkan kekhawatiran bagi Dwitunggal bapak bangsa Indonesia, tetapi karena alasan yang berbeda. Di satu sisi, Soekarno meyakini pembentukan Malaysia hanyalah kontinuasi dari penjajahan Britania di kawasan Asia Tenggara dalam bentuk baru, alih-alih mendirikan negara yang benar-benar merdeka dari pengaruh kolonialisme-imperialisme. Menurutnya, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menghapuskan penjajahan di atas dunia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Didasari semangat perlawanan terhadap segala wujud penjajahan asing inilah Bung Karno mengumumkan “dwi komando rakyat” (Dwikora) yang berujung pada konfrontasi bersenjata terhadap Malaysia pada 1963 untuk menggagalkan upaya pembentukan federasi tersebut.

Di sisi lain, concern utama Bung Hatta terletak pada ketimpangan antaretnis di dalam wilayah tersebut. Secara resmi Malaya merupakan negara bagi warga Melayu dan sebagian besar jabatan tinggi dikuasai Melayu yang merupakan etnis mayoritas. Akan tetapi, lebih dari 70% penduduk urban di sana terdiri dari etnis Tionghoa, sedangkan warga Melayu bergantung pada mata pencaharian di wilayah pedesaan yang bernilai rendah. Dengan demikian, Bung Hatta khawatir bahwa warga Melayu akan kehilangan kepemilikan atas negara mereka sendiri. Tionghoa di Malaya memiliki koneksi yang relatif kuat dengan tanah kelahiran mereka dan akan cenderung menjadikan Malaysia sebagai “Tiongkok kedua” bagi mereka dan keturunannya. Bahkan, Hatta prihatin akan potensi penyebaran komunisme dari Republik Rakyat Tiongkok ke Malaysia di kemudian hari.

Sebagai penjelas, Hatta membandingkan identitas sosial-budaya etnis Tionghoa di Malaya dan Indonesia berdasarkan pengalamannya saat mengunjungi Malaya pada 1962. Warga Tionghoa peranakan di Indonesia lebih memilih mengidentifikasi diri mereka utamanya sebagai “warga Indonesia” (yang kebetulan) keturunan Tionghoa. Dalam kesehariannya, mereka menuturkan bahasa daerah tempat tinggal mereka masing-masing di samping bahasa Indonesia sebagai lingua franca, terutama ketika berinteraksi dengan warga Bumiputera. Yang terpenting, mereka menjunjung tinggi nilai-nilai dan idealisme kebangsaan Indonesia yang terbentuk sedari masa kebangkitan nasional, sehingga tidak sedikit warga Tionghoa-Indonesia yang aktif berkontribusi bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Sementara itu, pembentukan identitas nasional ini tidak terjadi pada warga Tionghoa di Malaya. Secara historis, warga Tionghoa-Malaya menganggap Melayu sebagai bahasa yang inferior, sehingga tidak terdorong untuk mempelajari dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam diskusi intelektual, bahasa Inggris-lah yang mereka gunakan. Tatanan sosial era kolonial Britania yang menempatkan warga kulit putih sebagai kelas atas, Tionghoa sebagai kelas menengah, dan Melayu sebagai kelas bawah turut mempengaruhi sikap ini. Menurut Hatta, hal ini mengakibatkan mereka cenderung lebih memilih mempertahankan status dominan mereka dalam masyarakat sebagai “warga Tionghoa”, dibandingkan menurunkan kedudukannya dan membaur dengan kaum Bumiputera untuk menjadi “warga Malaya”.

Menariknya, solusi yang dicanangkan Bung Hatta sebagai resolusi dilema ini adalah pendirian tiga negara terpisah: negara Malaya bagi bangsa Melayu, negara Singapura untuk etnis Tionghoa, serta negara Kalimantan Utara bagi gabungan warga Melayu-Indonesia dan keturunan Tionghoa. Ketika bertandang ke Singapura pasca-Konferensi Meja Bundar pada 1949, Hatta menyampaikan gagasan ini pada Malcolm MacDonald, high commissioner Britania di Asia Tenggara. Namun, jawaban MacDonald menyiratkan bahwa keputusan pemerintah Britania untuk memerdekakan Malaysia sebagai satu negara sudah bulat.

Tentu, seorang Hatta tidak memaksakan pembenaran pendapatnya dan menerima bahwa keputusan atas nasib Malaya tidak terletak di tangan Indonesia. Sekitar 13 tahun kemudian pada 1963, Federasi Malaysia pun dibentuk dari gabungan Malaya, Sabah, Sarawak, dan Singapura, meskipun nantinya pada 1965 pulau tersebut “didepak” keluar dari Malaysia dan menjadi negara merdeka.

Akhir kata, sebagai tokoh intelektual yang berpengaruh sejak masa pergerakan nasional, Bung Hatta telah aktif menuliskan pemikirannya mengenai politik luar negeri Indonesia dan isu-isu internasional, baik selagi masih menjabat dalam pemerintahan maupun setelah meletakkan jabatannya. Pemikiran Bung Hatta mengenai politik luar negeri dan isu-isu internasional pada masanya tertuang dalam tulisan-tulisannya dan tidak semuanya dapat dirangkum dalam artikel singkat ini. Yang pasti, berpuluh tahun setelah kepergiannya, pemikiran Sang Proklamator masih relevan untuk digunakan sebagai dasar sikap Indonesia di panggung politik internasional.

Selamat ulang tahun, Bung!

Referensi:

Hatta, M. (1953). Indonesia’s Foreign Policy. Foreign Affairs, 31(3), 441–452. https://doi.org/10.2307/20030977

Hatta, M. (1958). Indonesia between the Power Blocs. Foreign Affairs, 36(3), 480–490. https://doi.org/10.2307/20029302

Hatta, M. (1961). Colonialism and the Danger of War. Asian Survey, 1(9), 10–14. https://doi.org/10.2307/3023504

Hatta, M. (1965). One Indonesian View of the Malaysia Issue. Asian Survey, 5(3), 139–143. https://doi.org/10.2307/2642403

Kenzie Ryvantya adalah mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia. Dapat ditemukan di Instagram dan Twitter dengan nama pengguna @kenzie_sr

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *