Seandainya Yesus Naik ke Surga Hari Ini

0

Kenaikan Yesus ke Surga/ Pinterest

Latar tulisan ini berangkat, selain karena momen hari raya tentunya, dari dua momen politik krusial belakangan. Momen politik tersebut adalah serangan Israel ke Palestina dan momen pemilu Indonesia yang memunculkan Romo Franz Magnis sebagai saksi dalam sidang di MK. Sekurang-kurangnya saya menangkap ada satu respon yang mengandung satu substansi yang sama, yaitu keengganan orang-orang Kristen Indonesia untuk terlibat dalam isu politik yang pelik. Isu Israel-Palestina yang memunculkan boycot terhadap produk yang terafiliasi dengan Israel (McDonald misalnya) ditanggapi dengan senda gurau oleh beberapa rekan kristen saya. “Pusing urus negara lain, di negara sendiri malah larang beribadah,” ungkap teman yang sedang ketus. Bahkan, ada demo mendukung Israel di suatu wilayah Sulawesi Utara. Berlanjut dari sana, ketika Rm. Magnis menyampaikan pendapat di MK, tidak sedikit orang Katolik berkomentar dengan nada curiga, Romo kok terjun ke politik. Saya kecewa dengan Romo yang sudah main ke politik praktis.

         Kejadian-kejadian semacam itu, menariknya, justru berangkat dari tafsir-tafsir Kitab Suci yang sering berseliweran di mimbar-mimbar gereja. Tafsir tersebut kerap dibarengi dengan mantra paling keramat dari umat Kristiani bernama cinta kasih. Biasanya hal ini dibarengi dengan penjelasan soal sosok Yesus yang selalu mengampuni orang-orang yang berbuat jahat pada-Nya dan bagaimana Yesus adalah sosok yang datang dari kerajaan sorga dan karenanya apolitis. Untuk itu, dari sini, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa boleh jadi sikap-sikap umat Kristen yang apolitis ini justru berangkat dari rasa percaya mereka soal sosok Yesus itu sendiri. Persis di titik inilah tujuan tulisan ini dibuat. Dengan memanfaatkan momentum Hari Raya Kenaikan Yesus, tulisan ini ingin mengajukan suatu tafsir ulang terhadap sosok Yesus dominan di Indonesia yang beredar selama ini.

Yang Hilang dari Tafsir terhadap Sosok Yesus: Sosok Politis dengan Maria di Belakang-Nya

         Sebagai catatan awal, narasi-narasi ringkas yang sudah diangkat sebelumnya pada dasarnya berangkat sepenuhnya dari pewartaan injil yang ada dalam kitab-kitab suci Kristiani. Selaiknya setiap kitab beragama, substansi dasar dari penulisan ini adalah teologis. Membawa pengharapan, menyebarkan ajaran, dan meningkatkan keimanan. Melayani substansi semacam ini, konsekuensi lain juga mengemuka. Yesus kerap diglorifikasi sebagai sosok individu yang lepas dari konteks sosial politik dan ini juga sekaligus menghilangkan peran krusial orang-orang yang ada di sekitarnya dalam membentuk seluruh kepribadian-Nya.

         Konteks sosial politik kelahiran Yesus adalah penjajahan orang-orang Roma terhadap bangsa Israel yang telah cukup lama terjadi. Jauh sebelum orang Roma menjajah orang-orang Israel, pascakematian Salomo dan kebangkrutan dinasti kerajaan Israel, orang-orang Israel luntang-lantung dijajah sana-sini. Persis pada titik ini, nubuat-nubuat mesianis tentang kedatangan ‘Yesus’ lahir. Nubuat semacam ini dapat ditemukan dalam kisah-kisah masyarakat yang telah lama terjajah dan tertindas (ratu adil, ratu sima, dst).

         Pada masanya, nubuat ‘mesianik’ ini, tidak seperti yang digambarkan injil, punya visi revolusioner dan militer yang cukup kental. Sampai ketika Yesus lahir dan juga besar, situasi sosial masyarakat masih sama. Beberapa perjuangan melawan penjajahan Roma penuh dengan visi militeristik. Dalam khotbah-khotbah yang sedikit lebih progresif, fakta ini biasanya dijadikan sebagai suatu kehebatan Yesus yang membawa visi kasih yang jauh berbeda dengan situasi sosial di masanya.

         Meski demikian, catatan antropologis dan hipotesis Marvin Harris menarik untuk disimak di sini. Dalam bukunya Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir, ia dengan jelas menunjukkan beberapa kontradiksi dalam khotbah-khotbah Yesus dan situasi sosial-politik yang menunjukkan bahwa Yesus sepertinya tidak se’damai’ yang dibayangkan.

         Dalam salah satu kutipan injil, Yesus berkata,” Berbahagialah orang yang membawa damai,” (Matius 5:9). Sementara itu, pada konteks yang lain, Yesus mengucapkan, “Jangan kamu menyangka bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.”

         Di sisi lain, hukuman Yesus yang digantung pada salib adalah praktik hukuman pemerintah Roma terhadap para pemberontak. Sama seperti setiap pemerintah kolonial, orang-orang yang digadang sebagai penyelamat dalam suatu masyarakat tidak pernah dihukum murni karena alasan religius suatu masyarakat. Selalu ada alasan politik-religius yang jelas-jelas bisa menganggu stabilitas pemerintah kolonial.

         Pada masanya, seiring semakin terkenal dan banyaknya pengikut Yesus, figur Yesus tentu semakin mengancam. Belum lagi khotbah-khotbahnya yang cukup revolusioner seperti deposuit potentes de sede et exaltavit humiles (Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah hati). Beberapa muridnya bahkan terbiasa menggunakan pedang dan Yesus bersama murid-muridnya juga terhitung satu kali melakukan konfrontasi keras di halaman kuil ibadah dan secara fisik menggunakan cambuk menyerang seorang pengusaha resmi yang menyediakan jasa penukaran uang agar para peziarah asing dapat membeli hewan kurban (Yohanes 2:15)

         Konsekuensi dari pengajuan narasi semacam bisa saja menggoyangkan kebanggaan iman umat Kristiani secara keseluruhan terkait visi cinta kasih yang disematkan pada Yesus. Jika tidak goyah, mengutip Kierkegaard, loncatan iman dilakukan dan menjadi relevan.

         Secara personal, saya tidak ingin buru-buru melakukan loncatan iman. Masih ada narasi yang belum diajukan terkait Paskah ini. Narasi yang lebih dalam. Lebih reflektif. Kontradiksi-kontradiksi Yesus dan kondisi sosial politiknya untuk saya bisa dijelaskan dengan mengajukan peran signifikan Maria dalam hidupnya.

         Dalam catatan antropologis yang diajukan Lesley Hazleton, saya pikir menarik untuk menyimak bagaimana Maria, yang dalam narasi teologi dominan digambarkan sebagai sosok pasif—fiat voluntas tua, jadilah padaku menurut perkataan-Mu—dalam kehidupan Yesus, dikisahkan ulang sebagai sosok yang punya peran besar dalam kehidupan Yesus.

         Lesley menjelaskan konteks antropologis di mana Maria dibesarkan. Ibunya (nenek Yesus) adalah seorang tabib perempuan dan sering membantu proses kelahiran seorang anak. Maria sendiri sering membantu dan pada akhirnya fasih dalam dunia pengobatan. Kenyataan ini lantas memberi pendasaran rasional mengenai mukjizat-mukjizat yang dilakukan oleh Yesus. Dari ilmu pengobatan Marialah kemampuan itu berasal.

         Di sisi lain, misteri ‘keperawanan’ Maria juga dibongkar. Lesley mengajukan narasi bahwa Maria mengandung dan itu adalah hasil pemerkosaan. Sesuatu yang sangat mungkin terjadi mengingat penjajahan pada umumnya memosisikan perempuan dalam kondisi paling rentan.

         Maria, yang dibekali dengan pengetahuan soal proses persalinan, bisa saja memilih untuk menggugurkan kandungannya. Alih-alih melakukan itu, ia memutuskan untuk mempertahankannya dan bahkan memberinya nama Iesu (Yunani). Dalam bahasa Ibrani, nama ini mempunyai kedekatan makna dengan Yahweh yang berarti menyelamatkan.

         Tindakan dan gestur Maria adalah simbol dari pemutarbalikkan dari hal-hal yang saling berlawanan. Aib menjadi kebanggaan, kekerasan menjadi kelembutan, kehinaan menjadi kasih sayang, ketidakpercayaan pada takdir menjadi kesetiaan. Hal-hal semacam ini kemudian muncul dalam diri Yesus dan setiap khotbah-khotbah-Nya. Sesuatu yang Ia pelajari baik-baik dari kehidupan Ibu-Nya. Dengan ini, Yesus, untuk saya, adalah tetap Juru Damai dan pengkhotbah cinta kasih yang kuat. Dan di belakang-Nya, ada Maria, Ibu-Nya yang mengajarkan hal semacam itu.

Seandainya Yesus Naik ke Surga Hari Ini

         Pengungkapan narasi-narasi ini mengajukan—jika dibarengi dengan keterbukaan iman—suatu cara pandang yang sama sekali baru terhadap Yesus.  Pertama, sosok-Nya sama sekali tidak sesederhana gambaran cinta kasih yang dijelaskan narasi dominan. Pada poin tertentu, Ia dengan keras menghardik para penjajah Roma, mengejek orang Farisi sebagai orang munafik, dan bahkan ia juga menerima konsekuensi atas tindakan politiknya alias disalib!!! Kedua, sosok Maria punya peran krusial dalam perkembangan karakter Yesus. Dialah yang pada tempat pertama mengajarkan Yesus untuk menggunakan jalan nonkekerasan untuk memperjuangkan kebenaran.

         Pemaknaan semacam ini, jika dimaknai pada peristiwa politik penting belakangan, tentu akan memberi suatu langkah politik yang lebih progresif bagi umat Kristiani. Berdiri bersama para korban di Palestina dan berani menyuarakan ketidakadilan yang terjadi di depan mata adalah persis hal-hal yang dilakukan Yesus. Jika Yesus naik ke surga di zaman ini, dengan momen politik yang sama, saya kira pesan-Nya sebelum naik ke surga mungkin akan sama seperti yang disarankan dalam tulisan ini. Salve!!!

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *