Istana Papota merupakan tempat kediaman utama Dalai Lama hingga masa ke-14 mengungsi di India. Foto: China Highlights

Baru-baru ini kabar soal Dalai Lama kembali masuk ke headline berita. Sayangnya, setelah sekian lama jarang datang berita dari Tibet, berita yang datang justru adalah berita yang kurang mengenakkan. Diberitakan bahwa pemimpin spiritual Buddha Tibet tersebut memerintahkan seorang anak laki-laki untuk menghisap lidahnya. 

Beberapa komentar yang nyeleneh bilang, “Bentar lagi bakal diganti Dalai Baru.” Hadeh. Sebagai warganet pada umumnya, saya hanya bisa tepok jidat. Sembari merefleksikan, rasanya memang belum banyak masyarakat yang mengenal Tibet dan kedudukan Dalai Lama, setidaknya secara garis besar.

Tibet adalah sebutan untuk kawasan di barat daya Tiongkok modern yang berbatasan langsung dengan Nepal, Bhutan, serta sejumlah negara lain. Negaranya dipimpin oleh raja, yakni Dalai Lama, yang berperan sekaligus sebagai otoritas politik dan keagamaan. Kini, kawasan tersebut sudah dianeksasi oleh Tiongkok dan menjadi daerah otonomi tersendiri. Salah satu isu menarik dari Tibet adalah jejak sejarahnya. 

Tibet dulunya berada dalam kekuasaan dinasti Qing. Hingga sebelum dianeksasi oleh komunis Tiongkok, ia dianggap sebagai kerajaan yang spiritually-oriented, alias sebas dari gaya hidup egoistis dan materialis, berbeda mayoritas negara-bangsa. Akan tetapi, wajah Tibet yang jarang diterangkan pada masa kini adalah catatan sejarah yang menggambarkan konflik keagamaan yang brutal. Rasanya, imaji ini akan (sangat) berbeda dibandingkan Buddha Tibet modern yang menggalakkan sikap kasih bagi sesama.

Dukungan Barat dan Kampanye Anti-Komunisme

Pada tahun 1950-an, Tibet melakukan perlawanan terhadap kekuatan Tiongkok yang perlahan menduduki daerah tersebut dengan alasan sejarah. Bukan kebetulan waktu itu Tibet menerima dukungan dan bantuan dari Amerika Serikat (AS), mengingat dunia sedang berada dalam konteks Perang Dingin. Meskipun tidak berpengaruh secara signifikan, kita patut mempertanyakan (lagi dan lagi): bagaimana bisa AS, “polisi moral” yang menyebarkan demokrasi ke seluruh penjuru dunia, mendukung rezim otoriter dan cenderung tidak sejalan dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) universal?

Dari sini, kita setidaknya bisa melihat bahwa kepentingan geopolitik menjadi faktor yang didahulukan AS. Persaingan kekuatan dan ideologi politik antara AS-Uni Soviet masa itu menjadi latar utama. Tibet, pada masa itu, dipandang sebagai buffer yang cocok menjadi tameng bagi persebaran komunisme di kawasan Asia Selatan. Meskipun kemudian Tibet akhirnya dianeksasi oleh Tiongkok, the Tibet Question tetap menjadi isu yang tidak terselesaikan dalam hubungan AS-Tiongkok hingga kini.

Dalam kampanye mendukung Tibet tersebut, AS turut menyebarkan, bahkan menjadi penyebar utama, dari citra baik Tibet di dunia internasional. Kala Tibet masih merdeka, atau setidaknya memerintah diri sendiri, Tibet merupakan bangsa pecinta damai, saling mengasihi sesama, dan tidak menyibukkan diri dengan persaingan duniawi, seperti perseteruan antar bangsa. Dalam menghadapi aneksasi Tiongkok, meski terdapat pemberontakan bersenjata, tetapi unsur yang ditonjolkan adalah kampanye antikekerasan oleh Dalai Lama. Tidak tanggung-tanggung, perjuangan Dalai Lama ini membuatnya dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada 1989.

Sisi Lain Tibet

Gambaran mainstream di dunia internasional ini tidak sepenuhnya menggambarkan apa yang terjadi di Tibet. Bahkan, bisa dibilang gambaran yang populer hanya menunjukkan sisi Tibet secara sangat selektif. Banyak aspek dari Tibet, yang secara de facto merupakan sebuah teokrasi, yang justru akan memacu kecaman dari dunia internasional. 

Kondisi Tibet sejatinya sangat timpang secara ekonomi. Hal ini terjadi akibat sistem feodal yang diterapkan dibawah payung teokrasi Buddha. Tanah subur di Tibet dikuasai dua kelompok besar, terutama para tuan tanah serta para Lama, pemimpin spiritual Buddha. Adapun pengelola tanah tersebut adalah para pelayan yang berasal dari pedesaan, sebagian besar terikat seumur hidup dengan para tuan tanah maupun kuil. Agak terlalu jauh jika bicara soal konsep upah di Tibet, sebab para pelayan tersebut hanya hidup secara subsisten dengan memanfaatkan apa yang ada di tanah yang dikelolanya, dengan sedikit pemberian tuannya apabila ada.

Teokrasi Buddhisme Tibet juga menutupi aspek kekerasan dan kekejaman yang marak di Tibet. Rakyat kelas bawah Tibet, seperti para pelayan, merupakan korban dari perlakuan kekejaman fisik dan seksual secara luas. Dengan konteks teokrasi Tibet yang tidak seperti pemerintahan modern dengan hukum tertulis dan sistem kehakiman, kekejaman ini berlangsung tanpa ada yang menghalangi, terlebih jika kekerasan tersebut dilakukan atas persetujuan Dalai Lama. Salah satu kasus yang menjadi contoh utama adalah Penjara Langzixia di Lhasa, ibu kota Tibet. Di penjara Langzixia, dilakukan praktik penyiksaan seperti mutilasi bagian tubuh, dikuliti hidup-hidup, dan penyiksaan menggunakan hewan seperti kalajengking, semua dengan pengetahuan Dalai Lama.

Direfleksikan dengan standar modern saat ini, tidak mungkin perlakuan tidak manusiawi tersebut tidak mendapat kecaman dari dunia internasional. Di sisi lain, fakta eksistensi Tibet sebagai teokrasi yang feodal saja seharusnya mengusik para pemimpin dunia. Kondisi tersebut ibarat mundur berabad-abad dalam perjalanan dunia, ke feodalisme abad pertengahan di Eropa. Pihak yang kaya–para lama, dinilai berhak menjalani hidup nyaman, sedangkan kaum miskin dianggap pantas menerima keadaan yang hina mereka, mengingat ajaran bahwa yang mereka dapatkan kini semata merupakan karma turunan dari kehidupan lampau. Hal ini juga menjadi kontradiktif dengan pemahaman terhadap implementasi Buddhisme yang damai dan penuh kasih sayang.

Dibawah Tiongkok Lebih Baik?

Pemaparan sebelumnya tidak diberikan untuk menjadi bridging argumen bahwa Tibet lebih baik berada dibawah kuasa Tiongkok. Tentu artikel ini bukanlah corong propaganda Partai Komunis Cina. 

Di satu sisi, perlu diakui bahwa berdasarkan standar internasional, Tibet kini lebih termodernisasi. Warga Tibet kini dapat menikmati akses terhadap teknologi modern dan pertumbuhan ekonomi hingga 10 persen dalam dua dekade terakhir. Struktur feodal dan kekerasan di bawah teokrasi Dalai Lama juga mulai berganti. Meskipun begitu, tidak berarti bahwa rakyat Tibet tidak mendapat represi dan kekerasan lainnya di bawah kuasa Tiongkok. Seperti di Xinjiang, Tiongkok dikritisi atas pendekatan asimilasi paksanya terhadap penduduk Tibet.

Akan tetapi, hal utama yang perlu diketahui adalah bagaimana untuk menilai Tibet as it is. Selama ini dunia cenderung melihat Tibet dari presentasi AS, yang menggambarkan Tibet sebagai “surga dunia”. Padahal, Tibet hanya merupakan kepanjangan dari persaingan Perang Dingin, sehingga gambaran asli Tibet terburamkan oleh semangat anti-komunisme. Dalam konteks Perang Dingin, hal ini bukanlah anomali mengingat AS juga mendukung banyak rezim otoriter di belahan dunia lainnya. Akan tetapi, keberlanjutan dukungan terhadap Tibet sampai sekarang dan buramnya gambaran dunia terhadapnya menjadi sesuatu yang exceptional.

Fakta-fakta di lapangan baru kembali terkuak setelah Dalai Lama kedapatan menyuruh seorang anak laki-laki untuk menghisap lidahnya, yang hanya merupakan suatu tip of the iceberg. Kedepannya, masyarakat dunia harus dapat melihat Tibet dengan jernih, tidak terbutakan oleh semangat partisan dari manapun juga.

Jalaluddin Rizqi Mulia merupakan mahasiswa di Universitas Islam Indonesia. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @jalaluddinrizqi

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *