Ilustrasi. Foto: Rafi Alif

Tahun baru, instrumen politik baru.

Sudah bukan berita mengejutkan kalau media sosial adalah instrumen yang efektif dalam sebuah kampanye politik demi memenangkan seorang calon. Coba kita ke negara percontohan yang maha agung, Amerika Serikat. Pada pemilihan presiden tahun 2016 dan 2020, sebuah penelitian menyebutkan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi suara Partai Republik adalah percakapan di media sosial Twitter—dalam kasus ini, suara partai tersebut terpangkas. Sementara itu, setidaknya semenjak pemilu 2008 para calon presiden AS sudah memanfaatkan Facebook sebagai salah satu arena di mana mereka melakukan kampanye bertarung branding.

Sebagai negara yang tidak ingin ketinggalan tren, kita juga bisa melihat fenomena ini terjadi di Indonesia. Siapa, sih, yang tidak merasakan sendiri sengitnya twitwar antarakun influencer yang setidaknya telah mengisi linimasa Twitter kita semenjak Pilkada Jakarta 2012. Bahkan, sebuah industri lukratif yang “dengungannya” begitu berisik muncul dari sini. Industri buzzer sudah bukan barang baru dalam perpolitikan kita, bahkan lama-kelamaan kita sudah paham siapa yang buzzer, siapa yang bukan. Penggunaan media sosial dalam kontestasi politik elektoral juga menjadi lahan subur pertumbuhan “nasionalisme tribal” yang memecah belah karena tidak hanya mengekspresikan opini, tapi pengguna juga tidak jarang membungkam opini lain.

Intinya, media sosial dan politik elektoral sudah bukan sekadar di fase berkenalan lagi, melainkan sudah di tahap saling melengkapi. Media sosial dapat jadi arena pencitraan para figur berkepentingan, arena pertarungan diskursus para pendukung dan kritikus, serta sarana membangun jejaring dan kreativitas. 

Tentu saja media sosial juga berkembang. Di awal 2010-an, konten berbentuk tulisan menjadi default berhubung konten dengan bentuk tersebutlah yang mendominasi Twitter dan Facebook. Sebelum dibanjiri reels dan copas-an dari TikTok, Instagram masih berisi foto-foto makanan. Tapi, semua berubah ketika negara api menyerang. Dalam hal ini, negara api itu adalah TikTok.

Kenalan dengan TikTok

Mari kenalan sedikit dengan biang kerok yang satu ini. TikTok adalah platform berbagi video pendek berdurasi 15-60 detik. TikTok diluncurkan di Tiongkok pada 2016 dengan nama Douyin di bawah perusahaan rintisan ByteDance. Bak roket, popularitas TikTok mulai mengangkasa pada tahun 2017 ketika mereka mengambil alih Musica.ly, dan memungkinkan mereka untuk ekspansi secara global. 

Teknologi algoritma dan kecerdasan buatan (AI) TikTok yang membuat mereka berekspansi begitu cepat. Kenapa kamu bisa berjam-jam scrolling di halaman “For You”? Karena kecanggihan algoritma TikTok secara terus menerus memberikan konten terpersonalisasi berdasarkan interaksimu di platform tersebut. Selain itu, sebuah konten dapat dengan mudah go viral, bahkan jika kamu adalah pengguna baru hal ini bukan mustahil didapat.

Kalau kita merujuk kepada laporan yang dirilis We Are Social pada awal tahun 2022, TikTok adalah platform media sosial ke-6 dengan pengguna terbanyak secara global (sebanyak 1 miliar pengguna). Iya, masih di bawah antek-antek Meta (Facebook, WhatsApp, Instagram), YouTube, bahkan WeChat. Akan tetapi, pengguna TikTok naik dua kali lipat semenjak September 2021 dan diperkirakan akan terus bertambah.

Meskipun saya pribadi agak pusing melihat konten TikTok dengan lagu-lagu bersuara chipmunk-nya itu, ternyata pengguna TikTok (selain saya) rata-rata menghabiskan 19,6 jam per bulan di dalam aplikasi doomscrolling tersebut—ke-5 terbanyak secara global.

Tetangga Aja Udah Pake!

Begitu besar ukuran TikTok, konsultan politik pun tidak bisa membiarkannya hanya diisi konten joget dan konten challenge atau, lebih parah lagi, kompilasi fail Harry Maguire. Coba kita refleksikan setahun ke belakang. Dahsyatnya TikTok sebagai arena kontestasi elektoral sudah mulai terlihat, bahkan tidak jauh dari perbatasan Indonesia.

Di Filipina, terpilihnya Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. tidak bisa dilepaskan dari peran TikTok sebagai arena berbagi konten. Ayahnya, Ferdinand Marcos Sr. merupakan diktator Filipina yang menjabat dari tahun 1965 sampai 1986—dan rezimnya dipenuhi pelanggaran HAM dan korupsi. Tapi, melalui potongan video yang diunggah ke TikTok, citra Marcos Sr. menjadi disucikan. Sebuah video dengan 92 ribu lebih views berisi obrolan Bongong dengan Menhan era Marcos Sr. yang menceritakan betapa amannya Filipina di bawah sang diktator. Wawancara salah satu kreator konten tersebut dengan Majalah TIME ini menarik untuk disimak.

Di Malaysia, perubahan konstitusi yang menurunkan usia pemilih menjadi minimal 18 tahun dan sistem registrasi otomatis menambah jumlah pemilih di pemilu tahun 2022 lalu setidaknya sebesar 30 persen. Biasanya, pemilih baru ini sifatnya tidak terafiliasi koalisi tertentu dan umurnya masih muda. Koalisi Pakatan Harapan (PH) diketahui memanfaatkan TikTok untuk menyasar demografi pemilih tersebut. 

Cause We Need a Little Controversy…

Seperti kata Eminem dalam lagu Without Me yang tengah viral di TikTok itu, tidak seru kalau tidak ada kontroversi. Begitu besarnya audiens TikTok dan kelindannya dengan politik elektoral, berbagai bentuk misinformasi dan disinformasi jadi tak terhindarkan.

Di Jerman, sebuah penelitian menyebutkan bahwa muncul banyak akun palsu yang mengatasnamakan politisi (dan bahkan institusi parlemen) yang tidak jarang menyebar propaganda dan berita bohong. Jelang pemilu midterm di AS lalu, sebuah eksperimen menunjukkan bahwa 90 persen konten iklan berbau misinformasi pemilu gagal difilter oleh TikTok. Bahkan, semua perangkat pemerintah federal AS dilarang meng-install TikTok atas dasar kekhawatiran kemungkinan kebocoran data pribadi pengguna yang dapat digunakan oleh Partai Komunis Tiongkok untuk menginfiltrasi pemilu. Mungkin mereka belajar dari kasus Cambridge Analytica, ya.

Indeed, memoderasi konten TikTok lebih sulit dibandingkan Facebook atau Twitter. Sekali lagi, konten TikTok berbasis audiovisual alih-alih teks. Jadi, semua konten harus betul-betul ditonton oleh si moderator untuk mengidentifikasi misinformasi dan disinformasi. Selain itu, keragaman bahasa yang digunakan juga menambah kompleksitas moderasi konten TikTok.

TikTok-kan Politik Indonesia Jelang 2024

TikTok jadi too big to ignore buat para politisi di tahun 2023 ke atas ini. Kita bisa berekspektasi untuk melihat konten-konten video pendek bermunculan dari tokoh-tokoh yang kerap masuk jajaran calon pejabat. Untuk Indonesia yang setahun lagi akan menyambut pemilu, saya sendiri tidak sabar melihat bagaimana para politisi mencoba mendongkrak elektabilitas mereka dengan konten-konten video pendek—apalagi untuk mereka yang elektabilitasnya tidak tinggi-tinggi amat, tapi tetap ngotot maju, TikTok bisa jadi jalanmu. Jenis kontennya pun saya rasa tidak akan jauh dari dua sifat ini: kalau tidak bagus sekali, ya cringe sekali.

Di tahun politik ini, kita akan menyaksikan tarung sengit banyak figur tidak hanya di lapangan, tapi juga di jagat maya. TikTok akan jadi arena penting yang patut kita perhatikan gerak-geriknya. Semenjak 2017, TikTok telah bergerak dari Bowo Alpenliebe, lalu joget koplo, dan kini bersiap memenangkan antara Anies Baswedan, Prabowo Subianto, atau Ganjar Pranowo.

Rafi Alif adalah podcaster Podcast Bebas Aktif dan merupakan mahasiswa tingkat akhir jurusan Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Indonesia. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @rafialifma

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *