Ketika Aktivis Hijau Melawan Partai Hijau

0

Greta Thunberg dalam aksi demonstrasi di Desa Lützerath, Jerman. Foto: Sky News

Di banyak belahan dunia, pertentangan aktivis dari berbagai isu dan partai politik penguasa atau establishment, yang biasanya berseberangan, merupakan pemandangan yang umum. Tapi pernahkah kalian melihat aktivis dan parpol yang memperjuangkan isu yang sama, justru berada dalam posisi yang berseberangan?

Hal yang tidak terbayangkan ini sedang terjadi di Jerman. Die Grünen atau Partai Hijau, yang kini menjadi bagian dari pemerintahan di Jerman, sedang dimusuhi oleh aktivis-aktivis lingkungan Jerman, bahkan Eropa. Kantor Partai Hijau di Düsseldorf, Aachen, dan penjuru Jerman lainnya kini sedang menjadi sasaran protes dan perusakan. Kantor Wakil Kanselir sekaligus Menteri Perekonomian dan Perubahan Iklim Robert Habeck di Flensburg, yang menjadi sasaran amarah utama, bahkan diterobos dan diduduki oleh para aktivis yang membentangkan poster “Solidaritas bersama Lützerath!”.

Lützerath, desa kecil yang telah ditinggalkan penduduknya di negara bagian Rhine Utara-Westphalia, sedang menjadi titik panas kontroversi. Sebelumnya, Pemerintah Federal Jerman—yang terdiri dari koalisi Partai Hijau, Freie Demokratische Partei (FDP), dan Sozialdemokratische Partei Deutschlands (SPD)—telah mencapai kesepakatan dengan RWE yang merupakan perusahaan energi terbesar di Jerman untuk menggusur Lützerath untuk tambang batu bara. Sebagai gantinya, RWE tidak menggusur lima desa lainnya dan memajukan waktu penutupan tambang dari 2038 ke 2030.

Sebagai respon, aktivis hijau di Jerman dan penjuru Eropa lainnya, memutuskan untuk menduduki Lützerath, termasuk Greta Thunberg. Polisi kemudian diterjunkan untuk mengosongkan desa tersebut. Hingga waktu penulisan artikel ini (18/01), bentrokan antara polisi dan aktivis dilaporkan masih berlangsung di Lützerath.

Di tengah kenaikan Partai Hijau di Jerman, fenomena ini menunjukkan suatu dilema fundamental dalam politik hijau di Eropa.

Antara Aktivisme dan Kenyataan Pemerintahan

Partai Hijau adalah partai yang lahir dari aktivisme. Berdiri pada 1980 oleh para aktivis lingkungan, Partai Hijau didirikan dengan empat pilar utama, yakni (1) keadilan sosial, (2) filosofi ekologis, (3) demokrasi akar rumput, dan (4) anti-kekerasan. Para pendirinya berkutat banyak dalam pembangkangan sipil, demonstrasi, dan kegiatan counter-culture.

Sebagai partai ‘ekstrim’—dalam pemaknaan spektrum politik secara oposisional dengan partai mainstream, seperti halnya partai ekstrim kanan—Partai Hijau pada awalnya mewakili kelompok yang kecil dan berfokus secara intens dalam dua isu yang spesifik, yakni perubahan iklim dan anti-perang. Dalam posisi ini, mereka bebas menyuarakan posisi ideal mereka yang radikal terkait perubahan iklim dan berbagai isu lainnya. Hal ini terus berlanjut hingga 1998, ketika Partai Hijau berkoalisi dengan SPD membentuk pemerintahan. 

Bagaimanapun juga, tujuan partai politik adalah untuk memerintah, kan?

Namun, segera setelah koalisi terbentuk, Partai Hijau dihadapkan pada pada krisis pertamanya dengan prospek partisipasi Jerman dalam misi NATO di Kosovo. Dengan ideologinya sebagai partai pasifis dan portofolio Menlu yang dipegang oleh Joschka Fischer dari Partai Hijau, permasalahan ini menjadi krisis eksistensial di internal partai. Fischer, mewakili mayoritas Partai Hijau, akhirnya menjustifikasi partisipasi Jerman dengan kata-kata terkenalnya, “Never again Auschwitz!”.  Keputusan serupa juga diambil dalam menjustifikasi partisipasi Jerman dalam membantu Perang Afghanistan pada 2001. Kedua keputusan ini membuat sebagian pendukungnya menuduh Partai Hijau telah mengkhianati prinsip-prinsipnya.

Di sisi lain, juga terdapat keberhasilan Partai Hijau, seperti disahkannya Nuclear Exit Law pada tahun 2000. Tapi, keberhasilan ini pun masih dicibir oleh sebagian anggota Partai Hijau karena penghentian nuklir yang lambat, yakni pada 2020.

Dalam pengalaman pertamanya memerintah, Partai Hijau telah mengalami ketegangan intra- dan inter-partai. Sebagai rekan koalisi junior, Partai Hijau mendapat tekanan yang besar dari SPD dan belajar untuk berkompromi dalam banyak aspek. Partai Hijau juga melihat adanya perpecahan di dalam tubuh partai antara mereka yang bersedia berkompromi dan tidak, yang diistilahkan sebagai faksi realis dan fundamentalis.

Dalam perkembangan selanjutnya, faksi realis, atau setidaknya mereka yang lebih berpandangan demikian, semakin mendominasi partai secara struktural. Paling baru, hal ini terefleksikan dalam terpilihnya co-leaders Partai Hijau baru pada 2018, yakni Robert Habeck dan Annalena Baerbock. Keduanya dianggap sebagai realis yang mengemban kepemimpinan dengan misi untuk membuat Partai Hijau lebih electable.

Benar saja. Pada 2021, Partai Hijau mendapatkan perolehan suara terbaiknya, yakni 14.8% total suara atau 118 kursi di Bundestag, menjadikannya partai terbesar ketiga untuk yang pertama kalinya dalam perpolitikan Jerman.

Klimaks: Episode Perang Rusia-Ukraina

Ibarat episode yang terulang, Partai Hijau yang baru kembali memerintah setelah 16 tahun menjadi oposisi, kembali dihadapkan kepada krisis eksistensial, barangkali yang paling serius dalam sejarahnya. Akibat Perang Rusia-Ukraina, Partai Hijau harus mengirimkan senjata ke Ukraina, menunda penutupan tiga reaktor nuklir, dan kini membuat kesepakatan dengan RWE. Dalam masa pemerintahan yang sama, Partai Hijau dianggap telah mengkhianati semua prinsipnya—pasifisme, anti-nuklir, dan anti-batu bara.

Lützerath secara khusus menjadi permasalahan yang memiliki nilai simbolik yang intens. Lützerath hits closer to home. Aktivis hijau Jerman dapat langsung datang ke Lützerath. Cuplikan pendudukan aktivis dan bentrokan dengan polisi juga terus beredar dunia maya. Dalam hal ini, Habeck telah menegaskan bahwa Lützerath adalah “simbol yang salah” dalam perjuangan melawan perubahan iklim.

Memang, terdapat kritisisme yang valid dari para aktivis, seperti bagaimana jumlah batu bara yang bisa ditambang tidak dibatasi meski batas penutupan dimajukan ke 2030. Akan tetapi, narasi besar yang dibawa adalah bahwa para aktivis tidak bisa memercayai Partai Hijau lagi karena telah berkompromi dengan perusahaan batu bara. Pendudukan Lützerath sebagai simbol tidak begitu disruptif, tetapi sangat performatif dalam menyuarakan penolakan populer—setidaknya dari para aktivis—terhadap Partai Hijau yang tidak lagi merefleksikan idealisme mereka.

Pernyataan dan anggapan ini tidak sepenuhnya berdasarkan pada realita. By far, Partai Hijau tetap menjadi partai yang paling progresif dalam melawan perubahan iklim di Jerman. Di tengah kompromi yang dibuat, Partai Hijau masih menjadi suara yang mencegah melencengnya terlalu jauh dari rencana transisi yang pada awalnya dibuat. Dalam politik, terlebih lagi dalam krisis energi, inflasi tinggi, dan kondisi perang, trade off sangat prevalen dan keamanan jangka pendek diutamakan. Tindakan yang moral bukan hanya mengurangi emisi, tetapi juga memastikan keterjangkauan energi.

Dalam pergerakan single-issue seperti perubahan iklim, hal ini terdengar seperti retorika ‘lesser evils yang tentu saja tidak dapat mereka terima. Menjunjung idealisme memang menjadi tugas para aktivis yang mereka senang lakukan, tetapi hal ini kerap menjauhkan mereka dari kenyataan moderasi dalam pemerintahan. Akibatnya, Partai Hijau yang ikut menyetujui kompromi dengan RWE dianggap complicit alias terlibat di dalamnya, bukan sebagai pihak yang telah memitigasi efek-efek terburuknya.

Bagi Partai Hijau, penulis menduga bahwa perpecahan simbolik antara aktivis dan partai ini pada akhirnya akan lebih menguntungkan, ketimbang merugikan. Secara basis pemilih, Partai Hijau telah melakukan ekspansi jauh dari original voters-nya, yakni kelompok counter-culture. Meskipun tidak ada data pasti, tetapi sulit rasanya membayangkan pluralitas dari 6,8 juta pemilih Partai Hijau pada 2021 merupakan mereka dengan aktivisme lingkungan tinggi. Budaya counter-culture sendiri mendorong banyak aktivis lingkungan untuk skeptis terhadap sistem politik dan tidak memilih dalam Pemilu.

Sebagai loud minority, tentu dapat diduga sedikit efek pengurangan pemilih Partai Hijau dalam Pemilu selanjutnya. Akan tetapi, hal ini semakin membebaskan Partai Hijau untuk mengambil pemilih yang lebih sentris tetapi peduli pada lingkungan, terutama pemilih SPD, agar Partai Hijau dapat menjadi partai center-left utama—yang merupakan misi Habeck.

Bagi para aktivis hijau, perpecahan ini menandakan akan semakin termarginalisasinya suara mereka dalam sistem politik Jerman. Akibatnya, mereka akan semakin memiliki insentif untuk meningkatkan aktivisme ekstraparlementer. Besar kemungkinan para aktivis akan semakin mengambil cara yang lebih berani dan lebih keras, tetapi belum tentu lebih efektif dalam memajukan tuntutan mereka.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *