Ilustrasi. Foto: Zaharudin Esa/Flickr.

Tahun 2022 ini kayaknya lagi musim banget larang-larangan. Eh, tapi disini tuh maksudnya larangan dagang ya, bukan larangan berpendapat (meski itu juga sih). Berturut-turut Indonesia, India, dan yang paling baru, Malaysia, memberlakukan satu atau lebih larangan impor.

Larangan ekspor ini terutama terkait dengan komoditas-komoditas dasar dan pangan. Indonesia misalnya, pada awal tahun ini memberlakukan larangan ekspor batu bara, kemudian larangan ekspor crude palm oil (CPO). India memberlakukan larangan ekspor gandum dan kemudian tebu. Sementara itu, Malaysia telah memberlakukan larangan ekspor ayam sejak 1 Juni lalu.

Larangan-larangan ekspor baru ini terutama banyak diterapin abis pecah Perang Rusia-Ukraina. Yang sendirinya juga menyebabkan terhambatnya ekspor gandum, yang menjadi pangan utama di semua benua selain Asia.

Dengan suplai yang berkurang, harga gandum dunia pun naik. Banyak negara produsen gandum kemudian mengenakan larangan atau batasan atas ekspor gandum. Selain Ukraina sendiri, tercatat ada Mesir, Turki, Kazakhstan, Kirgizstan, Kuwait, India, dan Belarus yang mengenakan larangan atau batasan ekspor ekspor gandum.

Larangan-larangan ini, selain terjadi dalam konteks perang Rusia-Ukraina, terjadi di tengah fenomena yang disebut ‘de-globalisasi’ yang mulai terjadi di masa pandemi ini. Deglobalisasi secara sederhana adalah kebalikan dari globalisasi, terutama dalam aspek peningkatan interdependensi ekonomi, yang dinyatakan paling nyata dalam volume perdagangan dunia. Dengan deglobalisasi, negara-negara  mulai meninggalkan kecenderungannya untuk membuka pasarnya kepada dunia, dan justru mengutamakan pengamanan barang dan sumber daya strategis untuk dirinya sendiri.

Inilah kemudian yang kita sebut sebagai ‘proteksionisme’, yakni ketika negara ‘memproteksi’ pasar domestiknya dari impor maupun ekspor berlebih.

Proteksionisme terkadang memang dibutuhkan, tapi apa iya dibutuhkan sekarang? Kenapa?

Resep Proteksionisme

Mekanisme proteksionis itu ibarat varian Indomie. Ada yang klasik kayak Indomie Goreng, seperi pemberian tarif atau kuota, ada juga yang lebih ‘pedes’ rasanya kayak Indomie Ayam Geprek, seperti larangan ekspor atau impor. Tapi tujuannya sama, buat dimakan, alias buat memproteksi pasar domestik negara terkait.

Secara resep, proteksionisme bisa dirancang berupa mekanisme terhadap ekspor atau impor. Resep berbeda ini dibuat dengan alasan yang berbeda-beda juga.

Kalo larangan impor, biasanya karena ada ancaman dari pasar internasional terhadap produk domestiknya, misalnya dumping atau harga dunia yang lagi murah banget. Sementara kalo larangan ekspor, biasanya karena ada keterbatasan stok atau kebutuhan domestik yang harus diutamakan.

Nah, yang sekarang banyak kejadian kan larangan ekspor ini, dan alasan yang banyak dikutip emang mengamankan stok domestik atau untuk menurunkan harga.

Masalahnya, apa benar masalah yang terjadi di dalam negeri membutuhkan solusi kayak gitu?

Fenomena de-globalisasi dan proteksionisme ini sebenernya pada awalnya terjadi bukan ke komoditas dasar atau pangan, melainkan ke produk-produk kompleks yang berteknologi tinggi, seperti prosesor dan vaksin.

Dalam hal ini, prosesor dan vaksin kan adalah produk penting yang melalui global supply chain yang tidak sederhana. Pembuatan prosesor misalnya, bisa menggunakan bahan dasar dari Chile, dimanufaktur di Taiwan, di satukan dengan smartphone di Tiongkok, sebelum kemudian diskepor ke Indonesia. Supply chain inilah yang kemudian terdisrupsi oleh pandemi, jadi cukup jelas lah kalo kita mau cari masalahnya dimana.

Tapi kalau kita bicara produk yang sederhana, komoditas yang mendasar, maka masalahnya dimana? Gak mungkin dong alasannya disrupsi supply chain. Masalah yang make sense dalam hal ini adalah kalo produksi domestik turun atau permintaan domestik naik yang tidak bisa disamai oleh produksi.

Di Indonesia, larangan ekspor CPO dibuat dengan mengutip perihal suplai domestik, khususnya harga minyak goreng yang terus naik sejak awal tahun. Padahal, minyak goreng adalah kebutuhan pokok rakyat luas.

Dalam hal ini, pernyataan tersebut harus diinvestigasi dalam aspek permintaan dan penawaran.

Perlu ditelisik, apakah kenaikan harga tersebut karena masalah demand, yakni permintaan yang naik? Enggak. Permintaan mungkin naik sedikit ketika lebaran, tetapi tidak signifikan.

Kalau begitu, apa kenaikan harga tersebut karena masalah supply, yakni produksi CPO atau minyak goreng yang kurang? Enggak juga. Produksi CPO tahun 2021 naik dari tahun sebelumnya, stok dalam negeri juga disebut mencukupi.

Lalu kenapa harganya naik? Dan lebih dari itu, kenapa perlu larangan ekspor segala?

Latah Proteksionisme: Antara Intrik Dagang Global dan Domestik

Dalam hal ini, berkembang dua pandangan yang lebih melihat bahwa proteksionisme ini merupakan intrik dagang dari aktor-aktor di dalam pemerintahan.

Di satu sisi, ada kemungkinan bahwa larangan ekspor ini dibuat untuk menaikkan harga komoditas terkait di pasar global. Apalagi kalau suatu negara punya dominasi yang besar di pasar tersebut.

Balik lagi ke kasus larangan ekspor CPO. Indonesia dan Malaysia adalah de facto duopoli yang mendominasi 80% ekspor CPO dunia. Jika salah satunya melakukan larangan ekspor, maka dampaknya sudah dapat diprediksi, yakni kenaikan harga CPO global.

Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, tapi hal tersebut adalah dugaan yang cukup kuat, mengingat kedekatan industri kelapa sawit dengan pemerintah.

Di sisi lain, larangan ekspor ini juga dapat memiliki tujuan domestik, yakni ‘memberikan pelajaran’ bagi kartel dari suatu industri.

Terkait dengan larangan ekspor CPO, salah satu menteri Presiden Jokowi menyatakan bahwa larangan tersebut dibuat karena pengusaha ‘tidak tertib’ dalam memenuhi Domestic Market Obligation (DMO) dan terlalu berfokus pada ekspor, sehingga harga dalam negeri naik. Perihal ketidaktertiban ini terkait dengan industri sawit di Indonesia yang dikuasai oleh 5-6 perusahaan yang beroperasi sebagai kartel dalam perdagangan sawit.

Dalam kasus larangan ekspor ayam di Malaysia juga ditemukan alasan serupa. PM Ismail Sabri Yaakob menyebutkan bahwa bersamaan dengan larangan ekspor, sedang dilakukan investigasi terhadap kartel yang mendominasi industri ayam. Dia juga berjanji akan menindak kartel apabila terbukti menyabotasi suplai ayam.

Dari kasus-kasus tersebut, terlihat bahwa larangan ekspor yang dibuat juga memiliki tujuan domestik, khususnya untuk mengondisikan kartel. Tapi kebijakan yang demikian tampaknya juga akan sulit dikeluarkan apabila tidak dalam konteks deglobalisasi yang kini terjadi.

Dengan kondisi dan motif tersebut, beberapa pemerintah yang menganggap dirinya mempunyai suatu leverage kemudian tiba-tiba mengeluarkan kebijakan proteksionis.

Pada akhirnya, kebijakan proteksionis yang dikeluarkan bukan merupakan bagian dari kebijakan ekonomi yang komprehensif, melainkan hanya latah semata. Apalagi kebanyakan larangan ekspornya tidak bertahan lama, hanya satu bulan atau bahkan kurang.

Padahal, perlu diingat bahwa larangan ekspor, apalagi komoditas yang menjadi bahan pokok seperti gandum, ayam, dan minyak memiliki dampak negatif riil di belahan dunia lainnya. Lain kali, pemerintah harus berpikir dua kali sebelum mengeluarkan kebijakan proteksionis seperti itu.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *