Kerja Sama RI-UNICEF 2021-2025: Optimalisasi Perlindungan Hak Anak Indonesia

0

Ilustrasi anak-anak Indonesia. Foto: UNICEF Indonesia

Pemerintah Republik Indonesia bersama United Nations Children Fund (UNICEF) resmi menggelar Peluncuran Program Kerja Sama Pemerintah Indonesia dan UNICEF Periode 2021-2025 pada Kamis, 28 Januari 2021 lalu. Dalam pelaksanaan programnya ke depan, terdapat 15 kementerian/lembaga yang akan terlibat, termasuk Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas). Rencana Aksi Program Kerja Sama (Country Programme Action Plan/CPAP) 2021-2025 senilai US$ 150 juta atau setara Rp 2 triliun lebih tersebut akan disalurkan untuk berbagai program pembangunan sumber daya manusia, khususnya terkait peningkatan kesejahteraan ibu dan anak. Perhatian pada peningkatan sumber daya manusia itu sendiri menjadi salah satu prioritas nasional yang sejalan dengan visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. 

Beberapa komponen yang menjadi bidang utama, antara lain menuruni angka penderita stunting, meningkatkan penggunaan air minum bersih, mengurangi angka kematian bayi, meningkatkan akses terhadap imunisasi, meratakan partisipasi pendidikan anak, meningkatkan cakupan layanan kesehatan, menegakan hukum atas kasus kekerasan anak, dan mengurangi persentase anak yang hidup dalam kemiskinan (Kompas, 2020). Program kerja sama yang merupakan siklus ke-10 yang dilakukan Pemerintah RI dan UNICEF ini menciptakan harapan besar akan percepatan pemenuhan hak anak Indonesia. Sebab, meskipun Indonesia–UNICEF telah mengukir kerja sama selama 50 tahun terakhir dengan siklus pembaharuan program kerja sama per 5 tahun, Indonesia nyatanya masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan terkait komitmen realisasi hak-hak anak. Apalagi di tengah pandemi global COVID-19, yang mana pencegahan dan penanggulangan terhadap berbagai isu menemui banyak tantangan baru yang tentu tidak mudah untuk dihadapi.

Sebagai informasi, pada bidang pendidikan yang juga menjadi bahasan utama dalam kerja sama ini, UNICEF masih menemukan 938 anak di Indonesia yang putus sekolah akibat pandemi. Dalam angkat tersebut, 75 persen diantaranya tidak bisa melanjutkan pendidikan karena orang tua yang kehilangan pendapatan dan pekerjaan (CNN Indonesia, 2020). Selain itu, berdasarkan pantauan UNICEF, sudah ada lebih dari 13.500 anak di Indonesia yang putus sekolah bahkan sebelum pandemi. Angka ini menambah daftar panjang jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS) di Indonesia yang telah mencapai 4,34 juta jiwa berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019.

Bagi mereka yang masih melanjutkan sekolah, melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) juga bukanlah metode belajar yang mampu diadaptasi oleh semua orang. Hal yang perlu menjadi perhatian bersama adalah masih adanya kesenjangan pembelajaran yang luar biasa, terutama bagi masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Kekhawatiran putus sekolah juga masih menghantui mereka yang memiliki keterbatasan fasilitas, terutama terkait akses terhadap listrik dan internet. Pada Agustus 2020 saja, masih tercatat ada sekitar 40.000 lebih sekolah di Indonesia yang belum memiliki koneksi internet (Kompas, 2020). Hal ini menimbulkan kendala tersendiri bagi mereka yang berada di daerah tersebut. Tak hanya itu, tantangan lain juga datang dari perbedaan sanitasi yang signifikan di antara lingkungan sekolah atau tempat tinggal.

Merebaknya pandemi COVID-19 juga mendorong peningkatan signifikan terhadap kasus perkawinan anak. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan bahwa sejak Januari sampai Juni 2020, terdapat 34 ribu permohonan dispensasi kawin yang diajukan calon mempelai berusia di bawah 19 tahun dan hal ini harus menjadi keprihatinan bagi kita semua (Republika, 2020). Kini, Indonesia menempati posisi nomor delapan sebagai negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi di dunia (VOA Indonesia, 2020). Selain itu, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan (KPPA) Leny Rosalin juga mengungkapkan bahwa angka perkawinan anak Indonesia menduduki peringkat kedua tertinggi dari seluruh negara anggota ASEAN. Secara akumulasi, satu dari sembilan anak perempuan usia kurang dari 18 tahun memutuskan untuk menikah muda (Lokadata, 2020). Padahal, perkawinan anak menempatkan setiap anak pada posisi rentan terhadap putus sekolah, pelecehan, kekerasan, eksploitasi, hingga resiko kematian ibu dan bayi.

Country Programme Action Plan (CPAP) yang digarap ini juga dinilai potensial untuk berjalan beriringan dan saling mendukung tujuan strategis Indonesia dalam ragam projek lainnya berkenaan dengan hak-hak anak. Beberapa diantaranya adalah terwujudnya konsep perlindungan anak di Indonesia bertajuk Indonesia Layak Anak (Idola) di tahun 2030. Di tahun yang sama, Indonesia juga memiliki tugas penting untuk bersama-sama mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) yang isinya juga mencakup segmen anak dalam pembangunan yang bercorak inklusif. Ada pula aspek bonus demografi yang diperkirakan akan mencapai puncaknya pada 2030 yang mana ledakan penduduk usia kerja harus diimbangi dengan peningkatan kualitas SDM yang mumpuni, produktif, dan berdaya saing tinggi.

Dengan demikian, program kerja sama RI–UNICEF periode 2021-2025 menjadi jelas sekali urgensinya. Kini adalah saat yang tepat untuk semakin mempertegas bahwa pemenuhan dan perlindungan hak anak, baik itu terhadap kesehatan, pendidikan, perlindungan, air bersih, sanitasi, serta gizi adalah hal yang krusial. Penekanan terhadap misi ini juga sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang baru bagi Indonesia karena Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention on the Rights of the Child atau Konvensi Hak Anak sejak tidak kurang dari 30 tahun yang lalu. Setiap anak sudah seharusnya dilindungi dari segala bentuk diskriminasi karena mereka berhak atas kesempatan mengembangkan diri dalam rangka memaksimalkan kapasitas yang mereka miliki secara optimal. Mengutip perwakilan UNICEF Debora Comini, meskipun Indonesia memiliki semua potensi untuk mengatasi tantangan pembangunan bagi anak, tetapi kita akan menjadi lebih kuat jika melakukannya bersama. 

Referensi:

CNN Indonesia. (2020, Desember 24). UNICEF Sebut 938 Anak RI Putus Sekolah karena Corona. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20201223125954-532-585616/unicef-sebut-938-anak-ri-putus-sekolah-karena-corona 

Karunia, A. M. (2020, Desember 31). Indonesia-UNICEF Teken Kerjasama Senilai Rp 2 Triliun. Kompas. https://money.kompas.com/read/2020/12/31/110000826/indonesia-unicef-teken-kerjasama-senilai-rp-2-triliun 

Purnamasari, D. M. (2020, Agustus 16). KPAI Khawatir Kesenjangan Pendidikan di Masa Pandemi Bikin Anak Putus Sekolah. Kompas. https://nasional.kompas.com/read/2020/08/16/14555301/kpai-khawatir-kesenjangan-pendidikan-di-masa-pandemi-bikin-anak-putus 

Rahmawati, D. (2020, Februari 5). Pernikahan anak di Indonesia peringkat dua ASEAN. Lokadata. https://lokadata.id/artikel/pernikahan-anak-di-indonesia-peringkat-dua-asean 

Widyanuratikah, I. (2020, Desember 1). Perkawinan Anak Selama Pandemi Justru Meningkat Tajam. Republika. https://republika.co.id/berita/qkmqpy320/perkawinan-anak-selama-pandemi-justru-meningkat-tajam 

Litha, Y. (2020, Juli 11). UNFPA: Indonesia di Peringkat 8 Perkawinan Anak Terbesar di Dunia. VOA Indonesia. https://www.voaindonesia.com/a/unfpa-indonesia-di-peringkat-8-perkawinan-anak-terbesar-di-dunia-/5497616.html 

Priscilla Dewi Kirana merupakan mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta yang memiliki ketertarikan terhadap isu pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Dapat ditemukan di Instagram melalui nama pengguna @prisccil.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *